Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kota Brem 1965 #3

Radio RRI

Oleh: Jendra Wiswara

Setiap malam, tepat pukul tujuh, Inem dan Bambang diwajibkan pakliknya, Kadiran, belajar di ruang tamu hingga lonceng malam berkumandang.

Khusus soal yang satu ini, keputusan tidak bisa diganggu gugat. Memasuki jam tujuh tet, mereka harus duduk di ruang tamu bersama buku-buku pelajarannya.

Dengan penerangan seadanya alias lampu templek, Inem dan Bambang diwajibkan menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang tadi siang diberikan gurunya.

Sepintas pemandangan ini seperti sebuah hukuman, tapi itulah Kadiran. Cara dia mendidik anak-anaknya sangat ketat dan disiplin. Sampai-sampai terukir dalam dahi mereka larangan bercanda sewaktu jam belajar.

Kalau sudah berhadapan dengan Kadiran, baik Inem dan Bambang, tak bisa berkutik. Jangankan bercanda, ketiduran sewaktu belajar saja hukumnya haram.

Suasana malam di rumah Kadiran memang lebih menyerupai rumah hantu dibanding rumah-rumah penduduk pada umumnya. Sepi dan hening.

Saking heningnya sampai-sampai suara binatang kecil nyaris tak terdengar. Sehingga jadi tempat yang pas bagi Inem dan Bambang untuk belajar.

Sementara kebiasaan Kadiran saat menunggui anak-anaknya belajar selalu membaca koran, merokok, dan ngopi.

Untuk Sumirah, ia bertugas sebagai pengawas di samping suaminya. Sesekali saja dibarengi menyulam kain. Itu dilakukan Sumirah bila suasana hatinya sedang sumringah.

Sumirah kadang terlihat sibuk memperhatikan nyamuk-nyamuk di sekelilingnya yang sewaktu-waktu berbuat nakal.

“Plok…plok…plok…” suara tepukan tangan Sumirah membangkitkan nada tinggi di tengah keheningan malam.

Suaranya seperti sambaran petir, keras, memekakkan telinga, membahana di sudut-sudut ruangan, bumi serasa bergoncang. Pelaku malam akan terusik bila mendengarnya.

Namun bagi Inem dan Bambang, hal itu sudah biasa. Begitu pula sebaliknya, Kadiran nampak cuek dengan pemandangan itu. Dia lebih memilih asyik dengan isi koran yang dibacanya.

Karena suasana yang tegang itu, bahkan melebihi tegangnya di dalam ruangan kelas. Tak jarang Bambang sering ketiduran. Jika sudah tertidur sebelum lonceng berbunyi pukul sembilan malam, sudah menjadi tugas Sumirah untuk mengingatkan. Bila masih tetap membandel, mereka akan dipukul dengan rotan yang disiapkan di balik pintu.

“Sering Mas Bambang kena pukul bulik dan paklik. Kalau belajar Mas Bambang suka menguap. Malah sering tertidur. Biasanya kayu rotan akan melayang di tubuhnya. Auww, sakitnya minta ampun.”

***

Ketika ketegangan belajar sudah usai, dan waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Kadiran lantas mengajak anak-anaknya mendengarkan siaran berita Radio Republik Indonesia (RRI).

Saat itu suasana ruangan mulai dipenuhi keramaian suara orang-orang di dalam sebuah kotak kecil.

Di dalam kotak kecil itu terdapat angka-angka yang menunjukkan gelombang radio. Namun hanya satu angka atau sinyal radio yang dapat diperdengarkan, yakni RRI.

Suasana mendengarkan radio tidak setegang seperti ketika mereka belajar. Dalam keadaan seperti ini, Inem dan Bambang bisa mendengarkan radio sambil bersantai-santai ria. Bahkan mereka bisa hilir mudik keluar masuk dapur sembari membawa makanan ringan dan minuman.

Justru mereka lebih sering ketiduran ketimbang mendengarkan isi radio yang lebih banyak memberitakan mengenai keadaan negara dan tetek bengeknya.

Kalau sudah begitu, esoknya mereka sudah lupa karena sudah berada di tempat tidurnya masing-masing.

Kadiran yang memindahkan.

Setiap malam saat radio berbunyi, Kadiran selalu berpesan kepada anak-anaknya begini: kalian sewaktu-waktu pasti butuh berita-berita mengenai perkembangan negara. Sebab suatu hari nanti kalian bakal mewarisi peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini kepada anak cucu kalian.

Memang berita-berita pada waktu itu banyak memunculkan kejayaan partai-partai besar. Tahun 1950-an, Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan sistem demokrasi terpimpin.

Sistem ini bersifat liberal, dan didominasi partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955 yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah pemilu paling bebas dan bersih sepanjang sejarah Indonesia.

Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri.

Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.

Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, AS dan sekutunya menganggap, kemenangan tersebut meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan “lepas” dari pengaruh Barat.

Lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.

Begitulah keterangan yang disampaikan Kadiran kepada Inem. Inem muda masih belum paham. Tugasnya sekedar merekam omongan pakliknya di memori. Kendati demikian, Inem tetaplah belum paham soal urusan politik.[bersambung]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...