Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori (3)
Menulis di Gua Hira
REKAYOREK.ID Kiai Mahfudz boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman. Seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Dalam menulis, konon Kiai Mahfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi.
Beliau biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi SAW menerima wahyu-Nya yang pertama itu. Kecepatan Mahfudz dalam menulis kitab, juga boleh dibilang istimewa. Kabarnya, kitab Manhaj Dhawi al-Nazhar beliau selesaikan dalam 4 bulan 14 hari. Kiai Mahfudz mengatakan bahwa kitab ini ditulis ketika berada di Mina dan Arafat.
Kiai Mahfuz termasuk salah seorang ulama nusantara yang banyak menghasilkan karangan dalam bahasa Arab seperti halnya ulama-ulama nusantara lainnya yang bermukim di Mekkah, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Abdul Hamid Kudus.
Pioner Ilmu Sanad
Kecerdasan Kiai Mahfudz juga nampak pada bidang fikih dengan tulisan berupa kitab Muhibbah dzi al-Fadl sebanyak 4 jilid besar. Kitab ini berisikan syarh dari kitab yang dikarang oleh Ibnu Hajr al-Haitami.
Dalam bidang ushul fiqh beliau mengarang kitab Nail al-Ma’mul bi Hasyiah Ghayah al-Wushul fii ‘Ilmi Ushul, dan kitab Is’af al-Matholi’bi Syarh Budur al-Lami’ Nadham Jam’ al-Jawami’. Beliau juga menuliskan kitab Fikih yang fokus dalam hal faraid, karena beliau menganggap faroid sangat penting bagi keadilan sosial umat islam, kitab yang belaiu tulis adalah kitab Hasiyah Takmilah al-Manhaj al-Kowin ila al-Faraid.
Dalam bidang tasawuf, tarekat Syadilliyah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam diskursus religious intelektual para ulama Jawa. Dalam bidang tasawuf Kiai Mahfudz mengarang kitab Bughyah al-Adzkiya’i fii al-Bahts an Karomah al-Auliya’ dan kitab Inayah al-Muftakir fiimaa Yata’alaq bi Sayyidina al-Hadhar, begitupun dengan perkembangan thoriqoh Syadiliyah di Nusantara yang tidak lepas dari peran Kiai Mahfudz.
Kiai Mahfudz juga mendalami bidang sejarah, beliau menuliskan kitab Tahayu’ah al-Fikr bi Syarh al-Fiah Asair, Fath al-Khabir bi Syarh Miftah as-Sair, dan kitab Tsikhoyah al-Mardiyyah fil Asma al-Kutb al-Fiqhiyah asy-Syafi’iyah.
Syaikh Mahfudz tidak hanya dikenal sebagai guru hadist yang memberi ijazah hadist dan ilmu hadist, tetapi juga dikenal dengan Maha Guru Qiro’ah Sab’ah, khususnya dari Qiro’at al-Imam al-Asyim. Silsilah sanad dan ijazahnya dapat ditemui pada para huffadz dan Qurro’ di Jawa.
Misalnya, pada mata rantai sanad yang ada di Pondok Pesantren Putri Tahfidz Al-Quran Al-Aziziah, Beringin, Semarang. Dalam mata rantai sanad tersebut, Ibu Nyai Azizah menerima ijazah dari Kiai Tirmidzi Taslim Semarang, dari Kiai Muhammad bin Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dari Syaikh MahfudzAt-Tarmasi, yang bersambung sampai Imam Asyim dari Abdurrohman dari Utsman bin ‘Affan dari Ubai bin Ka’ab dari Rasulullah SAW.
Saat ini sanad ijazah membaca al-Qur’an riwayat Imam Asyim baik pembacaan dengan melihat (bin-nadhar), maupun hafalan (bil-ghaib) yang ada di berbagai pesantren di Jawa, mayoritas melalui dua sanad. Yang pertama, dari Kiai Mahfudz at-Tarmasi yang bersambung kepada Imam Asyim. Yang kedua, dari Syaikh Arwani Kudus, dari Syaikh Muhammad Munawir dari Syaikh Yusuf adh-Dhimyathi bersambung kepada Imam Asyim.
Hasil pemikiran beliau yang ditulis, terdapat kurang lebih 20 kitab dari berbagai disiplin ilmu, dari beberapa kitab yang ia tuliskan terdapat beberapa bagain. Seperti halnya, as-Siqoyah Al-Mardiyah fi Asma Al-Kutb Al-Fiqhiyah Asy-Syafi’iyah dalam 3 bagian, al-Minhah Al-Khoiriyyah fi ‘Arbain Haditsan min Ahadits Khoir Al-Bariyah dalam 2 bagian, Al-kil’ah al Fiqriyah bi Syarh Al-Minhah Al-Khoiriyyah 13 bagian, Al-Is’af Al-Matoli bi Syarh Al-Lami’ Nadhom Jam’ AlJawami’2 jilid, Tahayu’ah Al-Fikr bi Syarh Al-Fiah As-Sair 14 bagian, dan lainnya.
Di samping menjaga tradisi para salaf dalam mencari ilmu, memperoleh ilmu dengan cara mengambil dari guru yang memiliki sanad sampai ke penulis kitab, bisa meminimalkan kesalahan pemahaman mengenai isi kitab tersebut.
Sedangkan Kiai Mahfudz mencatat sanad yang beliau miliki, juga dalam rangka meneladani para ulama sebelumnya. Sebagaimana juga Imam An Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya pengajar ilmu dan para pencarinya memahami sanad, dinilai buruk bagi mereka yang jahil terhadapnya, karena para guru manusia dalam ilmu merupakan bapak-bapak mereka dalam dien, yang menyambungkan antara dia dan Rabb Al Alamin.
Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar secara marfu, “Ilmu adalah dien dan shalat adalah dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu dan bagaimana kalian melaksanakan shalat tersebut. Sesungguhnya kalian ditanya pada hari kiamat.” (Riwayat Ad Dailami)
Dalam tradisi para ulama, buku yang ditulis seorang ulama untuk menjelaskan para guru dan periwayatan dari mereka, disebut sebagai tsabat, dengan bentuk plural atsbat. Yang kemungkinan berasal dari kata at tsabt, yang bermakna hujjah.
Dengan demikian kitab tersebut merupakan hujjah bagi penulisnya, karena disebutkan di dalamnya para guru dan sanadnya. Hal ini berlaku bagi ahlu al masyriq, yakni mereka yang hidup di belahan bumi bagian timur. Sedangkan kalangan ahlu al maghrib (penduduk dunia bagian barat) menyebutnya sebagai fahras.[bersambung]