Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kota Brem 1965 #6

Sejarah Bisu

Oleh: Jendra Wiswara

Pada saat bersamaan tersiar kabar mengejutkan gerombolan Warok diduga terlibat PKI. Kabar yang berhembus bervariatif dan terkesan ada unsur mistik dan keanehan. Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu melihat para Warok memang menjadi target pembunuhan.

Beberapa kali mereka dibacok tapi rupanya ilmu kanuragan yang dimiliki para Warok membuat tubuh mereka kebal senjata. Namun sekebal-kebalnya manusia, dia tetap terikat pada bumi dan alam.

Sekebal-kebalnya orang pasti memiliki kelemahan. Kabarnya kelemahan Warok-warok itu adalah bambu (pring). Setelah tubuh mereka dipukul bambu, mereka akan pngsan. Langkah berikutnya adalah memenggal kepala mereka satu persatu.

“Aku melihat banyak sekali jasad-jasad manusia yang mengambang di sungai berasal dari Ponorogo. Tubuh-tubuh kekar dan berpakaian serba hitam tanpa kepala itu menandakan bahwa mereka adalah seorang Warok. Entah di mana kepalanya. Yang pasti sudah terpisah dari tubuhnya. Ada yang menyebut, tubuh Warok-warok itu dibuang ke sungai dan kepalanya dikubur ke tanah agar tidak bisa menyatu kembali ke badan.”

Inem juga mendengar sebuah berita yang tak kalah hebatnya. Berita kemunculan sosok Mbah Suro di Madiun. Sosoknya menyedot perhatian publik. Pria ini tinggal di seberang desa, tepatnya di sebelah Barat sungai.

Yah, sejak peristiwa pembantaian ini, Mbah Suro menjadi satu-satunya orang paling dicari. Dia dianggap sebagai dukun kebal dan dewa penolong.

Beberapa orang sempat meminta bantuannya, termasuk meminta kekebalan. Mereka yang datang ke Mbah Suro diberi pentungan, kolor dan ikat kepala. Dari situ kemudian muncul isu Pentung, Kolor, Ikat, yang apabila disingkat menjadi PKI.

“Isu ini jauh lebih besar dan melibatkan banyak orang. Nama Mbah Suro melejit. Bak seorang artis, Mbah Suro mulai tersohor di sekitar wilayah Mataraman.”

Mbah Suro pun dituding sebagai perusak kedamaian yang saat itu sedang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru. Dia dianggap terlibat dalam gerakan PKI.

Dan ternyata benar, berita-berita yang berhembus menyebutkan Mbah Suro terlibat PKI dan sengaja membuat keonaran di wilayah Madiun, Ngawi, Sragen, Ponorogo, dan Pacitan.

Dia dihukum mati. Yang mengeksekusi adalah Tentara Siliwangi. Mereka datang sepasukan dan langsung mengangkut Mbah Suro.

“Kabarnya Mbah Suro dijemput tentara. Setelah itu dia ditembak mata. Entah dibuang ke mana jasadnya. Atau bisa jadi diamankan dengan dipenjara. Entahlah. Yang jelas sejak itu kabar PKI mulai meredup dan suasana kembali mencair.” 

Pada tahun penuh mengerikan itu tiada berita berkumandang. Semua koran-koran tutup kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama seminggu. Waktu sepekan itu kontan dimanfaatkan pers militer untuk mengampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S.

“Ini jelas pengaruh Orde Baru.”

“Apa itu Orde Baru paklik?” Tanya Inem.

“Perubahan sistem pemerintahan, dari lama ke baru. Dari Soekarno ke Soeharto.”

“Apa bedanya paklik?”

“Orde Lama mengagungkan kekuatan rakyat, Orde Baru mengangungkan gabungan kekuatan, militer, mahasiswa dan rakyat. Tapi kedua-duanya sama-sama bengis.” Kata Kadiran kepada kedua anaknya.

***

Selama sepekan itu sungai tak pernah surut dipenuhi jasad-jasad manusia yang mengambang. Belum lagi jasad yang tersangkut akar pepohonan, beberapa malah lengket pada lumpur.

Masih belum ada orang berani mengebumikan jasad-jasad tersebut. Semua dibiarkan begitu saja.

Hingga akhirnya Tuhan bermurah hati mendatangkan banjir besar seperti halnya peristiwa bahtera Nabi Nuh a.s.

Selama tiga hari berturut-turut Madiun diguyur hujan. Banjir besar melanda Madiun hingga tiga meter. Esoknya, setelah banjir reda, jasad-jasad tersebut hilang tersapu banjir.

“Tuhan akhirnya membawa mereka pergi. Banjir tidak menyisakan apa-apa. Sungai kembali bersih dan dapat digunakan orang-orang untuk keperluan sehari-hari.” 

Lambat laun peristiwa PKI berangsur-angsur mereda. Sementara di akhir masa kekuasaannya, Bung Karno diberitakan sering merasa kesepian.

Dalam sebuah pemberitaan yang dibaca Inem, Penyambung Lidah Rakyat itu bercerita: Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.

Kedekatan antara Bung Karno dan Subandrio ini memunculkan anggapan miring tentang keterlibatan Subandrio dengan PKI. Ia kemudian dijatuhi hukuman sebagai tahanan politik di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun yang terletak di Jalan Wilis, berdekatan dengan SMP Santa Bernadus, tempat Inem bersekolah.

Secara kebetulan Kadiran bekerja sebagai penjaga lapas RTM. Setiap tiga bulan usai panen raya, Lapas RTM selalu dibanjiri hasil-hasil panen.

Inem dan Bambang disuruh datang mengambil hasil panen tersebut. Di situlah Inem mengaku sering bertatap muka dengan Subandrio. Meski tidak bercakap-cakap dengannya, namun perempuan yang sedang beranjak dewasa itu mengenal sosok Subandrio sebagai lelaki yang cerdas dan santun. Hal ini baru diketahuinya sewaktu Subandrio dijenguk isterinya di Lapas.

Inem sempat berpapasan dengan isteri Subandrio. Ia melihat sang isteri begitu cantik, welas asih, penyabar, pengertian dan royal terhadap sesama.

Hampir setiap kedatangan sang isteri ke Lapas, ia tak pernah lupa membawa segudang oleh-oleh buat para penjaga. Inem pernah didekati isteri tokoh politik tersebut dan menanyakan namanya.

“Siapa namamu Cah Ayu?” Tanya sang isteri.

“Saya Inem, Bu!” Ia menjabat tangan perempuan murah senyum itu dengan ramah.

“Besok gedhe mau jadi apa?” Tanyanya lagi.

“Mau jadi guru, Bu!” Jawab Inem.

“Wah, sungguh mulia sekali cita-citamu. Guru adalah amanah,”

Inem mendengarkan kata-kata isteri Subandrio dengan mata hampir tidak berkedip. Kupingnya dibuka lebar-lebar,

“Jangan kau sia-siakan kesempatanmu. Belajarlah yang giat biar nanti cita-citamu terwujud.” Pesan isteri tokoh besar itu menjadi penghibur batin bagi Inem.

“Aku benar-benar takjub dengan pengorbanan Ibu Soebandrio kala itu. Beliau dengan tabah dan sabar mendampingi suaminya hingga keluar dari tahanan. Bahkan meski sudah bebas, kadang paklik masih sering berkunjung ke rumah Soebandrio di Jakarta. Entah ada urusan apa, yang jelas paklik bilang cuma bertandang sebagai kunjungan teman lama.” 

Pada masa kejatuhan Soekarno dan beralih kekuasaan Soeharto, kehidupan yang dijalani masyarakat Madiun berangsur-angsur pulih. Beberapa orang kembali melanjutkan kegiatan rutinnya.

Bagi para petani, mereka dapat membajak sawahnya lagi. Begitu juga pedagang dapat menjual dagangannya ke pasar tanpa dihantui perasaan takut.

Sementara para pegawai kantoran, mereka tak perlu was-was dianggap anggota komunis karena PKI sudah dibubarkan.

Dan seperti biasa, jam sudah bertabuh sebanyak dua belas kali, menandakan pelajaran Kadiran telah habis diserap Inem dalam coretannya di buku pelajaran. Tidur, cuci kaki terlebih dahulu, dan esok belajar lagi!

Inem minta diri masuk kamar. Siaran RRI cuma meninggalkan suara kresek-kresek. Tak ada lagi suara-suara orang menggema, rakyat bersorak, berteriak, mengutuk pimpinannya, atau sebaliknya pimpinan berkoar-koar menyemangati rakyatnya. Madiun kini, diam dalam pembisuan sejarah.[tamat]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...