Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kota Brem 1965 #4

Propaganda

Oleh: Jendra Wiswara

Tahun 1963, Inem, lewat suara radio yang diperdengarkannya setiap malam sering mendengar himbauan Bung Karno dalam rangkaian “kuliahnya” berulang kali yang menjelaskan sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar Negara.

“Tak henti-hentinya Bung Karno memberi kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme, beliau menekankan bahwa Pancasila bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa. Kuliahnya disiarkan langsung melalui radio RRI ke seluruh penjuru Tanah Air. Bung Karno selalu mengedepankan petani miskin Marhaen. Perhatiannya terhadap wong cilik, menjadikannya sebagai sosok teladan dan guru bangsa. Itulah yang aku suka dari Bung Karno. Cara dia menyampaikannya langsung menusuk kalbu.”

Inem mencatat semua memen-momen tersebut dalam sebuah jurnal untuk selanjutnya dijadikan bahan diskusi bersama Kadiran.

“Kalian harus tahu apa itu bangsa?” Kadiran memberi wejangan kepada anak-anaknya.

“Apa bangsa itu paklik?” Tanya Inem.

“Bangsa adalah sebuah negara yang memiliki kedaulatan. Dan kedaulatan itu diperoleh dari hasil perjuangan.”

“Terus bagaimana perkembangan bangsa ini ke depannya?”

BACA JUGA:

Kota Brem 1965

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori

“Tergantung pemimpinnya. Dalam pidatonya Bung Karno sedang mengajak negara-negara sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi seperti ini sudah seyogyanya menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI yang selama ini sudah dalam genggaman.” Kadiran menjelaskan secara terperinci.

“Aku memang melihat tokoh yang satu ini memiliki slogan kuat dalam menggantungkan cita-cita setinggi langit dan membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil dan makmur. Untuk membangun suatu negeri, dia tak mau mengemis pada Barat. Haram juga hukumnya meminta-minta bantuan pada asing. Dia berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri, walaupun belum sempat membawa rakyatnya dalam kehidupan sejahtera. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan.”

“Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.”

Yah, Inem masih ingat kata-kata Bung Karno yang berapi-api. Bagi Inem kata-kata itu persinya menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai Macan Asia. Tapi sayang, kepopuleran Macan Asia itu mulai redup tatkala menginjak tahun 1963.

“Aku tahu pada waktu itu Bung Karno diangkat dan menyatakan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Kata paklik, sejak itu kejayaan partai komunis akan berkibar dan mendominasi segala sektor perekonomian dan perdagangan.”

Dan memang benar, Inem pada saat itu melihat kejayaan partai berlambang Palu dan Arit ini kian berkibar. Nama Bung Karno semakin dikenal bangsa-bangsa lain. Inem gembira karena bangsanya akan menjadi bangsa hebat. Bangsa maju. Bangsa yang tak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa yang mengusung jiwa-jiwa patriotisme para leluhur. Bangsa yang mengedepankan kemakmuran rakytanya.

Akan tetapi Kebahagiaan Inem bertahan seumur jagung. Sebab kejayaan partai komunis dinilai justru semakin menyengsarakan kalangan bawah yang tidak tahu menahu urusan orang-orang atasan.

Harga minyak tanah kian melambung tinggi. Beberapa agen dan pengecer mulai giat melancarkan propagandanya. Mereka menjadi raja minyak.

“Kebanyakan pelaku-pelaku dagang berasal dari golongan bentukan PKI. Ini sudah direncana. Pemerintah sengaja mempermainkan rakyat untuk mendapat dukungan luar negeri setelah Indonesia keluar dari PBB.”

***

Sewaktu semua harga melambung tinggi, Inem dan Bambang terpaksa harus antri minyak tanah selama berjam-jam. Panjang antrian mencapai 100 hingga 200 meter. Dari mulai pukul tujuh pagi hingga tiga sore, Inem baru bisa mendapatkan minyak tanah. Sebuah perjalanan panjang yang akan selalu dikenangnya dari hari ke hari, yang suatu hari ceritanya akan diturunkan kepada anak dan cucunya.

Kesulitan demi kesulitan inilah yang kemudian memicu ketegangan. Beberapa orang lantas menceburkan diri sebagai anggota PKI agar mudah mendapatkan beras murah, minyak tanah gratis, dan sembako gratis asal mereka bersedia menggoreskan namanya dalam sebuah daftar keanggotaan.

“Paklik dan bulik sempat akan bergabung dengan mereka tapi kemudian urung karena paklik paham akan propaganda PKI. Paklik lebih memilih hidup berkekurangan ketimbang membudak ke PKI. Paklik justru menyayangkan mereka-mereka yang bergabung dengan PKI sebab mereka hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik belaka. Kata paklik, PKI memang pandai mengadu-domba rakyat. Mereka awalnya membantu, tapi itu semua dilakukan demi mendapatkan dukungan rakyat. Itulah propaganda PKI.” [bersambung]

Komentar
Loading...