Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Tukang Masak dan Rahasianya #6

Berita Pagi

Oleh: Noviyanto Aji

Dari kejauhan perempuan itu melihat seorang lelaki tua tengah duduk di kursi kayu panjang yang diperuntukkan untuk lima orang. Di bangku panjang itu Mus pernah duduk menikmati bubur kacang ijo. Dan lelaki tua itu tak lain Mbah Wito.

Ah, ternyata warung itu masih buka. Mus mempercepat langkahnya.

“Moenasan? Moenasan?” Degup jantung Mus memburu dengan kencang.

Ia tolah-toleh seperti orang kebingungan.

Emosi Mus tak terkontrol.

Nada bicaranya menggelegar bak ombak yang kemudian meninggalkan desiran air di pantai.

Nada bicaranya semakin lama kian membingungkan lawan bicara. Kedua tangannya nampak gemeteran.

Maklum, ini perjuangan pertamanya.

“Tenang, tenang Cah Ayu. Ada apa, sini duduk dulu ceritakan sama Mbah?”

“Aku nggak bisa lama-lama Mbah, sebab aku harus buru-buru kembali ke rumah sebelum penjaga bangun!”

“Baiklah, ada apa?” Mbah Wito memegangi tangan Mus, mencoba menenangkan gadis muda itu.

“Malam ini di rumah tertinggal satu serdadu Belanda. Kelihatannya dia sedang mabuk berat. Aku yakin tidak lama setelah ini dia akan keluar dan kembali ke Hoobiro-nya (sebutan markas besar polisi)!”

Hoobiro…malam ini…kamu yakin Cah Ayu?” Mbah Wito memastikan.

Mus mengangguk tanpa bersuara. Tingkahnya seperti orang gila, antara ketakutan dan keberanian campur aduk. Ia kebingungan setengah mati. Sebentar-sebentar menoleh ke belakang, takut penjaga rumah terbangun dan mencarinya.

“Sudah ya mbah aku pulang dulu. Sampaikan saja ke Moenasan!” Sebelum pamitan Mus sempat menguncang-guncang tangan Mbah Wito.

“Baiklah nanti aku sampaikan ke teman-teman. Kamu hati-hati ya!” Pesan Mbah Wito.

Mus pergi dan menghilang di kegelapan malam. Perempuan itu mempercepat langkahnya. Seandainya malam itu ada seseorang yang melihatnya, bisa kacau semuanya.

Mus sendiri tidak tahu apakah yang dilakukannya sudah tepat atau malah sebaliknya menjadi bumerang bagi dirinya. Kini, ia hanya bisa berdoa semoga sekembalinya ke rumah sang penjaga belum bangun.

“Malam itu aku benar-benar ketakutan setengah mati. Tubuhku menggigil ketakutan. Sepanjang perjalanan pulang, jantungku tiada henti-hentinya berdebar. Namun demikian, aku berharap apa yang kulakukan ini tidak sia-sia. Aku berdoa semoga pesanku kepada Mbah Wito bisa sampai ke teman-teman. Dan Alhamdulillah, setiba di rumah, penjaga masih terlelap. Aku pun menyelinap masuk. Ah, syukurlah! Hhhh, pusing kepalaku. Kulihat sebuah bangku yang kosong, segera aku merebahkan tubuh sejenak untuk mengatur nafas yang ngos-ngosan. Aku seperti dikejar-kejar orang dan hendak dibunuh. Perasaanku kacau, antara kenyataan dan mimpi. Di bangku kosong itu aku melamun sendiri, memikirkan kira-kira apa yang sedang dan hendak dilakukan Moenasan dan teman-temannya. Ah, malam ini benar-benar hari yang melelahkan. Rupanya semua kelelahan telah menghimpitku dalam-dalam. Tanpa menghiraukan serdadu Belanda yang tertinggal, aku lantas memutuskan pergi ke kamar dan tidur!”

***

Matahari sepenuhnya condong dari Timur. Langit menyala-nyala menjadi terang. Terdengar suara tetembangan Jawa mengiang di telinga.

“Bik Inah…!” Sambut Mus membuka mata.

Nyanyiannya lirih, membuat semangat orang tergantikan dengan manjaan yang nakal. Bagi orang frustasi, nyanyian itu akan membuat mereka bosan hidup. Bila sudah begitu mereka harus dibantu menuju kematian agar terlepas dari kekonyolan hidup. Harus dibantu. Itulah, Belanda.

Namun bagi Mus, nyanyian Bik Inah justru semakin menenggelamkannya ke alam mimpi. Betapa menggiurkan jiwa-jiwa yang merana. Badan perempuan itu masih terlalu pegal untuk digerakkan. Ia berusaha bangkit, tapi susah. Kelopak matanya nampak bengap-bengap. Rupanya “kegiatan malam” kemarin membuat tubuhnya tumpang tindih.

Segera ia bangun. Pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, dan kembali menjalankan tugas pokoknya: Memasak.

Mus menyiapkan pisau. Mengasah sebentar. Lalu memotong-motong bumbu dengan perasaan campur aduk. Apa yang terjadi semalam? Mengapa belum ada kabar?

Saat itu Nasrowi, penjaga rumah, masuk dapur, mengambil makanan, mengunyah pelan-pelan, dan dengan tidak sabarnya melontarkan sebuah cerita. Sebuah kabar yang baru diterimanya pagi ini.

“Tadi pagi telah ditemukan mayat serdadu Belanda. Mati. Tubuhnya ditemukan di got di Jalan KH Mansyur. Tepatnya di gudang kosong tak jauh dari sini,” ceritanya.

Seketika Mus menghentikan potongan sayur mayur. Kekagetannya membuat Nasrowi menoleh ke arahnya. Namun mata Nasrowi tidak sampai mengarah pada sebuah dugaan, bahwa Mus terlibat atau dalang di balik peristiwa itu. Mata Nasrowi sebentar saja melihat Mus, kemudian kembali memalingkannya ke Bik Inah.

“Tahu nggak Bik, serdadu itu kalau tidak salah pernah main ke sini!” Nasrowi menduga-duga.

“Ah, yang benar kamu Wi, kok bibi tidak pernah lihat!”

“Yang bener, Kang, kapan ke sininya?” Mus pura-pura bertanya.[bersambung]

Komentar
Loading...