Tukang Masak dan Rahasianya #9
Sebuah Siasat
Oleh: Noviyanto Aji
Akhir tahun 1943, kala itu tamu Tjan Cuk semakin banyak. Urusan pembunuhan sudah dilupakan. Kini, pihak-pihak yang berselisih kembali berkumpul di rumah Tjan Cuk.
Mus, Bik Inah, Ijah dan Warti, melihat pemandangan itu dengan gamang. Betapa tidak, tamu-tamu itu datang sekedar berfoya-foya.
Ujung-ujungnya para tukang masak yang disengsarakan. Dengan keberadaan tamu-tamu tidak punya aturan itu, terpaksa Mus dan teman-temannya harus banting tulang melayani mereka.
“Cecunguk-cecunguk itu semakin kurang ajar. Aku muak dengan sikap mereka. Datang dengan seenaknya, selalu menyusahkan orang.”
Mus merasa muak dengan tawa orang-orang Belanda. Suaranya sama sekali tidak riang. Riuh rancaknya membuat kuping yang mendengar seperti disogok-sogok bantalan rel kereta api.
Sikapnya yang kurang ajar membuat orang-orang pribumi, ingin segera menancapkan roda-roda maut ke tubuh mereka. Kadang yang membuat jengkel Mus, mereka pergi ke dapur dan meminta dibuatkan ini dan itu.
Huh, menjengkelkan!
Siapa yang tidak stres dengan semua itu. Mus dan pembantu lain di rumah sering dihinggapi kekhawatiran.
Apalagi ada seorang komandan polisi yang dengan arogannya memperlakukan pembantu-pembantu itu tidak manusiawi.
Dia menganggap mereka sebagai budak. Komandan polisi menanyai mereka seputar pembunuhan yang terjadi di wilayahnya beberapa waktu lalu.
“Apa kalian tahu mengetahui pembunuhan itu?” Tanya komandan polisi.
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, komandan polisi itu merasa berhak melontarkan pendapatnya. Dia tidak peduli apakah yang dilakukannya itu salah dan melanggar kode etik, yang jelas menurut pengamatannya setiap orang pribumi wajib dicurigai.
“Aku tidak peduli apa yang kalian kerjakan di sini. Jika suatu hari saya tahu kalian terlibat pembunuhan itu, saya sendiri yang akan turun tangan menangkap kalian. Camkan itu!” Ancam komandan polisi dengan angkuhnya.
Tak lama setelah itu komandan polisi berlalu sembari meninggalkan kesan tidak menyenangkan.
“Buatkan aku makanan Eropa yang enak. Awas kalau tidak!”
Kepergian komandan polisi membuat keempat pembantu linglung. Mereka tidak menyangka bahwa seorang pembantu bisa dicurigai dan menjadi target penangkapan.
“Ini tidak masuk akal. Kita tidak berbuat kok malah dituduh yang macam-macam. Saya tidak terima!” Bik Inah membuka obrolan,
“Bibi sudah lelah, Mus. Kalau seperti ini terus bibi tidak kuat. Sebaiknya bibi pulang kampung saja. Mereka terlalu banyak. Bibi sudah tidak sanggup lagi. Bibi sudah tidak sanggup melihat tingkah mereka. Arogan dan angkuh!” Keluh Bik Inah.
“Terus apa Bik Inah mau mengusir mereka semua. Tidak mungkin kan!” Sambut Mus menenangkan.
“Ya, itulah Mus. Kalau menurut bibi sebaiknya mereka dibunuh saja. Warti, Ijah, dan Mus bagaimana menurut kalian?” Usulan Bik Inah membuat Ijah dan Warti kaget.
Sebaliknya, Mus terkesan menyingkapi biasa-biasa saja, karena sebelumnya ia sudah pernah melakukannya bersama teman-temannya di luar sana.
“Aku punya teman bik,” bisik Mus, “mungkin mereka bisa membantu kita. Kita bisa menghalau mereka kalau kita mau?” Mus memberi saran.
“Apa Mus?” Sahut yang lain penasaran.
“Kalian ingat dengan serdadu-serdadu yang mati itu, yang katanya dirampok!”
“Iya, kenapa dengan mereka, Mus?” Tanya Bik Inah.
Mus lalu menceritakan semuanya dari awal hingga keterlibatannya dengan gerombolan pencoleng. Ijah dan Warti mendengarkan dengan seksama. Bik Inah diam-diam menaruh perhatian pada anak didiknya itu. Tak disangka anak didiknya itu memiliki keberanian luar biasa.
Rupanya semua kematian serdadu Belanda itu berasal dari rumah Tjan Cuk. Yang lebih mengagetkan, kematian-kematian itu disebabkan oleh campur tangan gadis desa yang masih bau kencur, yang kerjanya hanya di dapur.
“Jadi itu rencana kamu?” Suara Ijah melengking karena kekagetannya.
“Ssst…jangan keras-keras nanti yang lain bisa dengar.” Mus mencoba menenangkan suasana.
“Sekarang bibi baru tahu kenapa kamu tidak pernah pulang jika liburan. Kamu lebih memilih di Surabaya dan bergaul dengan teman-temanmu itu. Bibi dukung kamu sepenuhnya.” Bik Inah menyahuti.
“Ya begitulah ceritanya. Nah, kira-kira bagaimana kalau kita minta bantuan teman-teman di luar sana?” Kata Mus meyakinkan teman-teman sesama pembantu.
“Boleh. Kamu segera hubungi teman-temanmu. Biar bibi pikirkan caranya. Sepertinya bibi punya ide.”
“Apa itu bik?” Tanya Ijah dan Warti.
“Begini, Warti dan Mus sekarang pergi ke warung. Kebetulan sekarang kan hari Minggu. Dan kamu…Ijah, bantu bibi di dapur. Oh iya, bibi pesan kalau kalian pulang nanti jangan lupa beli oleh-oleh untuk bibi ya…”
“Oleh-oleh apa bik?” Mus membuyarkan lamunannya sendiri.
“Kapur barus dan racun tikus. Yaa…sudah cepat sana pergi!”
“Hah, bibi mau meracuni mereka semua.” Warti kaget, “bagaimana nanti kalau mereka sem…,”
“Sudah sana pergi jangan banyak tanya, nanti tak jelaskan kalau sudah pulang. Yang penting hubungi teman-temanmu!” Seru Bik Inah memotong kata-kata anak didiknya.
“Baik!!!??” Keduanya serempak berangkat dengan semangat menggebu-gebu.
“Aku tidak tahu apa rencana Bik Inah. Sepertinya ia sangat yakin rencana tidak akan meleset. Meracuni semua orang di meja makan, ah, tidak pernah terpikirkan olehku. Bik Inah memang orangnya pendiam. Namun dia memiliki ketegaran hati bak singa. Sekali ngomong kata-katanya langsung menyentuh kalbu. Aku tahu Bik Inah bukan sembarang orang. Sebelumnya ia pasti pernah melakukan tindakan berani itu. Dan ini pasti sudah jauh hari dipikirkannya dengan matang. Kalau tidak bagaimana mungkin ia begitu yakin dengan rencananya sendiri. Yang jelas saat itu aku hanya bisa mendukung dan mengikuti semua saran-saran beliau.” [bersambung]