Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Konsep Nusantara (Abad 13) Ada di Surabaya, Kok Bisa?

Sebelum Kerajaan Majapahit dengan Maha Patih Gajah Mada berhasil menyatukan Nusantara, sebenarnya konsep wawasan Nusantara sudah terlebih dahulu diperkenalkan oleh Raja terakhir kerajaan Singasari, Raja Kertanegara pada akhir abad 13, ketika ia menyatukan wilayah Panjalu dan Jenggala di pulau Jawa.

REKAYOREK.ID Nama Nusantara tiba tiba ramai menjadi pembicaraan publik setelah presiden RI, Joko Widodo, memilihnya sebagai nama ibukota Indonesia baru di Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur. Ibukota baru ini segera menggantikan kota Jakarta.

Pemindahan ibukota di suatu negara bukanlah hal yang baru. Di Australia, sebelum Canberra menjadi ibukota, ibukota Australia pernah bertempat di kota Sidney. Pun demikian dengan Ibukota kabupaten di Jawa Timur. Misalnya ibukota Kabupaten Probolinggo, yang awalnya di kota Probolinggo, sekarang sudah pindah ke Kraksaan.

Pemindahan ibukota kabupaten juga terjadi di kabupaten Madiun. Dulu ibukota Kabupaten Madiun di Madiun, sejak 2019 Ibu kotanya adalah Caruban sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2019. Sebagian gedung-gedung pemerintahan sudah berada di wilayah Mejayan yang merupakan bagian dari Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun.

Yang menarik dari nama ibukota Indonesia baru ini adalah pemakaian nama Nusantara. Bahwa Nusantara yang segera menjadi nama ibukota kota negara (IKN) yang baru, sesunguhnya bukanlah nama baru. Nama ini sudah dikenal lewat Sumpah Amukti Palapa yang diikrarkan oleh Maha Patih Gajah Mada pada 1331 M.

Melalui sumpahnya, Patih Gajah Mada menyatukan wilayah Nusantara yang kala itu meliputi: Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik. Kala itu konsep Nusantara yang diwujudkan Majapahit sudah mencakup wilayah kepulauan di Asia Tenggara.

Namun, sebelum Kerajaan Majapahit dengan Maha Patih Gajah Mada berhasil menyatukan Nusantara, sebenarnya konsep wawasan Nusantara sudah terlebih dahulu diperkenalkan oleh Raja terakhir kerajaan Singasari, Raja Kertanegara pada akhir abad 13, ketika ia menyatukan wilayah Panjalu dan Jenggala di pulau Jawa.

Dalam prasasti Wurare atau prasasti Joko Dolog disebutkan kisah penyatuan kembali wilayah Panjalu dan Jenggala yang berbunyi: “Dialah yang menyatukan kembali tanah-air untuk selalu menyenangkan segala orang dan untuk memegang keadilan dan meneguhkan nenek moyangnya dan lain lain”.

Pernyataan itu terdapat di baris ke sembilan Prasasti Wurare dan merupakan hasil transkrip Prof. Kern, diperbaiki oleh Prof Bosch dan ditinjau oleh Prof. Purbocaroko, yang selanjutnya ditulis Prof. M. H. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit: Sapta Parwa”, sebagaimana termuat dalam buku “Hari Jadi Kota Surabaya: 682 Tahun Sura ing Baya” (1975). Sementara kata “Nusantara” sendiri untuk kali pertama ditemukan pada kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca.

Pemilihan nama Nusantara oleh Presiden Joko Widodo ini karena memang Nusantara sudah ada sejak lama dan menjadi representasi Indonesia di mata Internasional. Apalagi di era Kerajaan Majapahit hubungan internasional terjalin semakin erat dengan hadirnya kekuatan armada yang dipimpin oleh Laksamana Nala. Penempatan gugus armadanya mencakup wilayah perairan Nusantara.

Sekarang jadilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat sejak 17 Agustus 1945. Sejarah panjang telah dialami oleh bangsa Indonesia melalui para leluhur yang menginginkan adanya kedaulatan wilayah mulai yang bersifat sporadis hingga akhirnya dapat dipersatukan melalui Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) sebagai embrio kedaulatan nasional. Kini bangsa Indonesia hidup di alam kedaulatan di bawah persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.

Joko Dolog: Simbol Persatuan dan Kesatuan

Arca Joko Dolog (1289), yang merupakan perwujudan Raja Kartanegara bertengger di kota Surabaya, tepatnya di sebuah taman kecil di selatan Taman Apsari jl. Gubernur Suryo.

Dikutip dari tautan Facebook pegiat sejarah Sidoarjo, dr. Sudi Harjanto bahwa ada empat versi asal mula datangnya arca Joko Dolog. Dua diantaranya mengisahkan bahwa Arca Joko Dolog mulanya ditemukan di daerah Kandang Gajah, desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto . Pada tahun 1817, arca dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. De Salis.

Sementara versi lainnya mengisahkan bahwa pada era penjajahan, arca ini diketemukan di area penimbunan kayu di Trowulan, Mojokerto. Karena arca ini berada di tengah timbunan kayu maka ia seolah-olah jaga (menjaga) timbunan kayu. Kata “jaga” ini kemudian berubah menjadi kata “jaka”. Selanjutnya, perpaduan jaka dan dolog menjadi kata “Joko Dolog”.

Ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia Belanda (Jawa) 1811-1816 dan Bencoolen (negeri selat) pada 1818-1824), arca Joko Dolog diangkut dari Trowulan ke Surabaya. Maksud Raffles, arca ini akan dibawa ke negerinya, Inggris, tetapi ternyata arca tersebut “tidak mau” dibawa olehnya. Arca Joko Dolog terlalu berat untuk diangkut Perahu dari Kalimas di Simpang.

Sejak 1817, Arca Kertanegara ini bersemayam di lingkungan Simpang dan sempat menjadi benda arkeologis koleksi Stedelijk Museum van Soerabaia yang didirikan oleh GH vn Faber pada 1933. Stedelijk Museum ini selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Museum Negeri Mpu Tantular.

Secara resmi Stedelijk Historische Museum van Soerabaia diresmikan di Hotel Simpang pada tanggal 25 Juli 1937. Kini lokasi pernah berdirinya Museum sejarah kota Surabaya ini menjadi sekolahan SMA Trimurti.

Meski sudah tidak menjadi Museum, namun beberapa peninggalan museum masih bisa ditemui di sana. Yakni lambang Surabaya tempo dulu yang terbuat dari tembaga, lonceng besi buatan Bayer, patung setengah badan GH Von Faber dan Pangeran Diponegoro serta sepasang batu giling tebu.

Arca Joko Dolog dan beberapa benda arkeologis lainnya, yang saat ini berada di belakang Taman Apsari, adalah bekas koleksi Stedelijk Historische Museum van Soerabaia.

Yang sangat menarik dari Arca Joko Dolog ini adalah inskripsi yang terpahat kan pada lapik Arca. Ada pesan penyatuan kembali wilayah pulau Jawa yang terbelah menjadi wilayah Panjalu dan Jenggala oleh leluhur sebelumnya (Airlangga) pada abad 11.

Kemudian di era Raja Kertanegara, kerajaan Singasari (1268-1292) kedua wilayah yang terbelah itu disatukan kembali dalam kontek persatuan tanah dan air (wawasan nusantara). Namun secara geografis masih tersimbolkan dengan penyatuan Panjalu dan Jenggala yang berada di pulau Jawa.

Inilah konsep wawasan Nusantara yang pada akhirnya dapat terwujud secara luas meliputi wilayah tanah dan air pada era kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Tribhuwanattunggadewi Jayawishnuwardhana (1328-1350M) dengan maha patih Gajah Mada pada 1331 M. Jadi sesungguhnya Arca Joko Dolog tidak semata simbol kebudayaan tapi juga simbol kenegaraan dan wawasan nusantara. [Bersambung/Nanang]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...