Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Makam Pangeran Pekik atau Kiai Sedo Masjid?

Jika ada Pangeran Pekik yang makamnya ada di Imogiri, Jogjakarta, lantas bagaimana dengan makam Pangeran Pekik yang ada di jalan Tembaan Surabaya? Siapakah Pangeran Pekik yang dimakamkan di jalan Tembaan Surabaya itu?

REKAYOREK.ID Tidak jauh dari Tugu Pahlawan terdapat komplek pemakaman kuno. Lokasinya berada di sebelah selatannya. Tepatnya di Jalan Tembaan. Komplek makam kuno ini dikenal dengan nama Kiai Sedo Masjid dan karena kekunoan itu, komplek makam Kiai Sedo Masjid telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pencatatan sebagai cagar budaya tidak hanya karena kekunoan komplek ini, tapi di komplek ini juga terdapat makam tokoh Surabaya. Menurut keterangan sebuah prasasti yang tertempel pada makam yang dianggap tokoh Surabaya itu, bahwa sang tokoh ini adalah Pangeran Pekik. Isi prasasti itu berbunyi: “Pangeran Pekik, memegang tampuk pimpinan pemerintahan di Surabaya. 1614-1672”.

Makam Kiai Sedo Masjid yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Foto: nanang

 

Dari keterangan angka tahun ini, dimengerti bahwa Pangeran Pekik lahir pada 1614, wafat pada 1672, dalam usia 58 tahun. Sayang prasasti itu sudah tidak ada tapi keberadaannya sempat terabadikan pada foto foto yang diambil pada 1970-an.

Sementara menurut babat babat, ada nama Pangeran Pekik yang pernah menjabat sebagai adipati Surabaya dan merupakan anak dari Joyolengkoro, seorang adipati Surabaya sebelum Pangeran Pekik. Diberitakan bahwa Pangeran Pekik meninggal dihukum mati oleh Amangkurat I pada 1659, karena melarikan Rara Oyi yang merupakan calon selir Amangkurat I. Pangeran Pekik dimakamkan di Banyusumurup, Imogiri.

Jika ada Pangeran Pekik yang makamnya ada di Imogiri, Jogjakarta, lantas bagaimana dengan makam Pangeran Pekik yang ada di jalan Tembaan Surabaya? Siapakah Pangeran Pekik yang dimakamkan di jalan Tembaan Surabaya itu?

Menurut pengkaji manaqib Asrul, yang mengutip catatan moyangnya berupa sumber Manaqib bahwa Pangeran Pekik yang dimakamkan di komplek makam kuno di jalan Tembaan ini adalah putera Pangeran Pekik yang meninggal karena dibunuh Amangkurat I pada 1659. Jadi Pangeran Pekik yang makamnya di jalan Tembaan Surabaya bisa disebut Pangeran Pekik enom (1614-1672). Sedangkan Pangeran Pekik yang makamnya di Sumursumurup, Imogiri, Jogjakarta adalah Pangeran Sepuh ( … – 1659).

Masih dari catatan Manaqib bahwa Pangeran Pekik Enom ini juga disebut Pangeran Pekik Pengampon karena semasa hidupnya berkedudukan di Pengampon yang letaknya di timur dari komplek makam kuno Tembaan.

Makam Pangeran Pekik. Foto: repro

 

Menurut GH von Faber dalam bukunya “Er Werd Eenstad Geboren”, dikisahkan bahwa Pengampon adalah bagian wilayah dari sebuah kawasan (desa) yang dikelilingi oleh air (1275 M). Pada batas Timur ada sungai Pegirian. Di sisi Barat ada sungai Kalimas. Di selatan ada kanal yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian, yang kini menjadi jalan Jagalan. Sedangkan di batas utara pernah ada kanal yang juga menghubungkan Pegirian -Kalimas yang kini menjadi jadi jalan Stasiun Kota. Di kawasan desa yang oleh von Faber disebut “Surabaya” ini terdiri dari dusun Pengampon, dusun Jagalan, dusun Bunguran dan dusun Semut.

Kawasan yang dibuka oleh Raja Singasari, Prabu Kartanegara, pada 1275 M, menjadi kawasan permukiman baru setelah Glagah Arum (Peneleh dan Pandean) yang lokasinya di selatan dari desa Surabaya. Jika keterangan Asrul bahwa Pangeran Pekik Enom atau Pangeran Pekik Pengampon yang berasal dari atau pernah berkedudukan di Pengampon, maka keterangan itu masuk akal.

Jadi, Pangeran Pekik Enom pernah berkedudukan di daerah Pengampon, kemudian ketika wafat ia dimakamkan di komplek baru yang menjadi bagian dari pusat pemerintahan Surabaya yang ditandai dengan adanya alun alun. Kawasan komplek pemerintahan baru ini berada di barat dari kawasan Pengampon.

Makam kuno Tembaan. Foto: repro

 

Makam kuno Tembaan ini adalah makam barat (dari desa Surabaya), yang berada di luar batas sungai kuno Kalimas. Sementara di luar batas kanal kuno di utara desa Surabaya juga terdapat komplek pemakaman kuno yang menjadi peristirahatan terakhir para bupati Surabaya. Yaitu di komplek pemakaman kuno Bibis. Lalu di luar batas sungai Pegirian, di bagian Timur, juga terdapat pemakaman kuno Boto Putih yang juga merupakan pemakaman para Bupati Surabaya. Kekunoan ketiga komplek makam ini terlihat pada konsep tata ruang yang mengadopsi filosofi Hindu dengan tata tiga berundak nya: Jaba, Tengah, Jero.

Terjadi Perubahan Isi Prasasti

Sampai tahun 1970-an, keterangan pada makam utama masih tertulis nama “Pangeran Pekik” yang meninggal pada 1672 (1614-1672). Data ini terlihat pada foto foto yang masih disimpan oleh sesepuh kampung yang tinggal di Kampung Kawatan dimana makam kuno itu berlokasi.

Namun sejak dilakukan pemugaran makam Pangeran Pekik pada 1980-an, batu prasasti baru yang dipasang tertulis keterangan lain. Yaitu menjadi makamnya Kiai Sedo Masjid. Jadi, ada perubahan dari makamnya Pangeran Pekik menjadi makam Kiai Sedo Masjid. Siapakah Kiai Sedo Masjid itu?

Batu prasasti di komplek Makam Kiai Sedo Masjid. Foto: nanang

 

Menurut cerita cerita rakyat yang bisa dihimpun bahwa Kiai Sedo Masjid ini adalah seorang takmir Masjid Surapringga yang pernah berdiri di komplek alun alun Surabaya. Karena gigih mempertahankan keberadaan Masjid dari upaya alih fungsi lahan yang di atasnya akan dibangun fasilitas untuk mendukung pemerintahan Hindia Belanda, sang Kiai yang dikenal bernama Badruddin pun tewas di masjid demi mempertahankan Masjid. Karenanya ia disebut Kiai Sedo Masjid, yang artinya sang Kiai yang meninggal di Masjid.

Masjid Pengganti

Masjid Kemayoran di Jalan Indrapura sekarang sebagaimana terdeskripsi pada prasasti yang terpampang di dalam masjid bahwa Masjid Kemayoran ini dibangun pada tahun 1772-1776 Saka (1848-1852 M) untuk menggantikan Majid Jamik di Alun Alun Surapringga.

Pembangunan masjid Kemayoran itu menggunakan dana atas sumbangan orang orang muslim kaya: “there are unavoidable monetary expenditures, which are estimated at f 20,000. This amount has been raised by some well-to-do Muslims”.

Masjid Kemayoran yang dibangun pada tahun 1772-1776 Saka (1848-1852 M) untuk menggantikan Majid Jamik di Alun Alun Surapringga. Foto: repro

 

Sejumlah uang itu sesungguhnya untuk melengkapi pembangunan masjid yang merupakan persembahan dari pemerintah Hindia Belanda dengan segenap jajarannya, mulai dari Jan Jacob Ruchussen (Gubernur Jendral Hindia Belanda), Daniel Franscois Willem Pietermatt (Resident Surabaya) hingga Raden Adipati Kromojoyodirono (Bupati ing Surapringga).

Prasasti itu berbunyi:
“Puniko sih peparinganipun Kanjeng gubernemen Landa dhumateng sarupining bangsa Islam, kala pinaringaken wau duk nalika panjenenganipun Kanjeng Tuwan ingkang wicaksono Jan Jacob Ruchussen, Gubernur Jendral ing tanah Nederlan Hindia; Mister Daniel Franscois Willem Pietermaat, Residen ing Surapringgo; Radyan Tumenggung Kramajoyodirono bupati ing negari Surapringga. Kala kayasa pinutju warsa: 1772-1776 kang sampun ayasa Van Willem Bartulumeus War De Nar”

Tulisan kuno di komplek Makam Kiai Sedo Masjid. Foto: nanang

 

Disebutkan oleh koran Soerabaijasch Handelsblad, terbitan tanggal 18 Juli 1934, bahwa setelah 86 tahun dari tahun 1848, yang berarti tahun 1934, masjid Kemayoran dipugar (diperbesar/ diperluas). Tanda tahun pemugaran (1934) masih terlihat di gavel dalam masjid. Jadi berdasarkan sumber prasasti Masjid Kemayoran dan sumber koran menunjukkan bahwa Masjid di bangun pada 1848 lalu diperluas pada 1934.

Analisa

Jika proses perpindahan Masjid terjadi pada pertengahan abad 19 yang ditunjukkan dengan pembangunan Masjid Kemayoran yang nama aslinya adalah Masjid Raudatul Musyawaroh, berarti peristiwa meninggalnya sang takmir Masjid Kiai Badruddin terjadi pada tahun tahun itu. Tahun tahun itu (1840-an) terhitung waktu yang lebih muda dibandingkan dari masa Pangeran Pekik Enom (Pengampon) yang lahir pada 1614 dan wafat pada 1672 M. Ada perbedaan dua abad antara peristiwa pemindahan Masjid dengan masa hidupnya (dan wafatnya) Pangeran Pekik Enom.

Karenanya, ketika pada prasasti baru di makam kuno tertulis Kiai Sedo Masjid, dan pada prasasti lama sebagaimana terpotret pada 1970-an, tersebut Pangeran Pekik, maka perlu ada sikap terhadap informasi di komplek makam kuno yang sudah berstatus cagar budaya itu.[Nanang]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...