Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Menggali Cerita Lokal untuk Atraksi Budaya Kota

Jika kabupaten Gresik bisa menciptakan atraksi budaya berupa arak arakan budaya yang diangkat dari situs Giri Kedaton dan Makam Sunan Giri, mestinya Surabaya bisa memanfaatkan cerita klasik menjadi sumber diciptakannya atraksi budaya yang bersumber dari cerita lokal, misal kisah datangnya Raden Rachmad ke Ampel Denta.

REKAYOREK.ID Surabaya dan Gresik bertetangga. Dulu pernah menjadi satu tubuh dengan anatomi yang berbeda. Sekarang secara administratif sudah sangat berbeda, tidak lagi satu tubuh dan beda administrasi.

Dulu Surabaya dan Gresik adalah dalam satu sistim pemerintahan. Yakni satu karesidenan. Karesidenan Surabaya, yang dipimpin oleh seorang Residen (dari orang Belanda). Di bawah karesidenan ada struktur pemerintahan Kabupaten atau afdeling, yang dipimpin bupati, orang lokal.

Ada kabupaten Surabaya, yang dikepalai oleh bupati. Pun demikian dengan Gresik yang juga berbentuk pemerintahan Kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati. Untuk struktur pemerintahan Belanda dengan sistim Karesidenan, di masing masing kabupaten ini dipimpin oleh seorang asisten residen. Jadi untuk skala kabupaten ada pemimpin seorang bupati (orang lokal) dan seorang asisten Residen (orang Belanda).

Fakta menunjukkan bahwa di Surabaya ada komplek pemakaman para bupati Surabaya. Pun demikian dengan di Gresik. Di sana ada makam bupati pertama Gresik Pusponegoro I yang satu areal dengan makam Syech Maulana Malik Ibrahim.

Kedua tempat bersejarah inilah (di Surabaya dan di Gresik) menarik perhatian penulis yang sekaligus pegiat heritage asal Belanda, Emile Leushuis.

Setelah berkunjung ke komplek makam Sunan Ampel dan komplek makam Sentono Agung Botoputih, Surabaya pada Minggu (18/12), Emile bersama Begandring Soerabaia mengunjungi Gresik (19/21).

Bagi Emile, kunjungan ke Gresik adalah kali pertama. Yang ia ketahui tentang Gresik adalah sebuah kota pelabuhan yang sudah ramai sebelum bangsa Eropa menginjakkan kaki di Gresik.

“Pedagang Eropa lebih dahulu datang di Gresik dari pada ke Surabaya.”, kata Emile ketika mengunjungi komplek makam Pusponegoro I.

Emile Leushuis, yang ditemani oleh Berandring Soerabaia, sempat bertemu sejarawan dan pemerhati sejarah Gresik. Mereka adalah Eko Sudjarwanto, Oemar Zainuddin yang akrab dipanggil Pak Nood, dan sesepuh Makam Pusponegoro KRP. Hartono. Dari berdiskusi dengan mereka, pemahaman Emile terhadap Gresik semakin terkontruksi.

Nanang Purwono dari Begandring Soerabaia dan Emile Leushuis, penulis dan pegiat heritage asal Belanda. Foto: Nanang

 

Ketika di dalam komplek makam Pusponegoro saja misalnya, Emile terkagum kagum dan memberi kesan mendalam baginya.

“Sebagai tamu dan dari kaca mata orang asing, saya sangat terkesan. Di komplek makam ini masih tersimpan struktur komplek makam yang utuh. Ada gapura, tembok, cungkup cungkup yang salah satunya adalah tempat dimana bupati pertama Gresik diistirahatkan dan makam makam lainnya dengan bentuk besar dan masih utuh. Tidak ketinggakan benda benda arkeologis berupa lingga yoni, batu tulis dan gentong andesit bertulis aksara kuna”, kesan Emile terhadap komplek makam.

Ini berbeda dengan komplek makam yang ada di Surabaya yang terkesan kurang diperhatikan dan apa adanya.

“Saya kaget melihat komplek makam di Sunan Ampel yang kondisinya sudah berubah jika saya bandingkan ketika saya datang ke tempat itu sebelumnya”, ujar Emile ketika membandingkan antara komplek makam Pusponegoro Gresik dan komplek makam Sunan Ampel Surabaya.

Emile khawatir komplek pemakaman di Sunan Ampel akan mengalami perubahan terus menerus yang berdampak pada hilangnya beberapa makam di komplek Sunan Ampel. Bilangnya beberapa makam di sana sudah ia buktikan dengan kunjungannya terkini (18/12/21).

Ia sebelumnya pernah berkunjung ke Sunan Ampel sekitar 10-15 tahun yang lalu. Pun demikian dengan kondisi di makam Sentono Agung Boto Putih, yang terkesan berserakan di klaster klaster makam tuanya. Selain ada makam yang rusak, juga terdapat batu lingga yang menurutnya perlu dilakukan kajian dan penyelamatan agar menjadi media edukasi sejarah bagi kota Surabaya.

Berbeda dengan yang ada di komplek makam Pusponegoro. Selain makam makamnya yang masih utuh, terjaga dan terpelihara, temuan temuan kekunoan juga diselamatkan. Misalnya penemuan sebuah lingga dari dalam tanah yang kini ditempatkan pada sebuah bidang yang serasi dengan lingkungan makam.

“Belajar sejarah itu tidak harus melalui buku buku. Dengan berkunjung ke lokasi dan situs bersejarah, akan banyak hal yang bisa dipelajari. Ada benda benda bersejarah yang bisa dilihat, diamati, disentuh wujud dimensinya, berbicara dengan warga dan petugas, mencium bau bauan setempat baik bau lumut, bunga dan bahkan dupa yang dibakar”. Kata Emile yang sebetulnya berharap kondisi komplek makam makam penting di Surabaya bisa dijaga dan dimanfaatkan sebagai sumber sumber sejarah yang menyenangkan untuk dipelajari. Selain untuk tujuan ziarah kubur.

Ia masih menggambarkan betapa Gresik ini masih memiliki bukti bukti otentik dari masa keemasan, Magical time, yakni sebelum bangsa Eropa datang. Antara tahun 1400 hingga 1600 Masehi.

Gapura Pusponegoro. Foto: nanang

 

“Masa ini adalah masa asli peradaban lokal dan peninggalannya masih bisa dilihat hingga sekarang. Ini penting sekali bagi warga setempat dan bagi bangsa Indonesia. Itulah potret jati diri Gresik. Surabaya sebenarnya masih memiliki itu. Yaitu peninggalan dari masa Majapahit”, jelas Emile dengan antusias dalam komparasinya antara Surabaya dan Gresik.

“Sekarang bagaimana pihak pihak di Surabaya mengeksposenya. Bagaimana orang orang di Surabaya mengelola aset sejarahnya, khususnya sejarah dari era era klasik. Misalnya Surabaya punya sumur Jobong di Pandean. Ada komplek makam Sunan Ampel serta Sentono Agung Boto Putih”, tambah Emile.

Cerita Surabaya dari era klasik sebenarnya masih ada, tetapi kalah oleh cerita cerita dari masa kolonial. Menurut Priyo Wijoyo, pegiat sejarah klasik yang juga anggota Begandring Soerabaia, banyak sekali tempat tempat yang perlu digali ceritanya karena masih terdapat bukti bukti meskipun bersifat minor. Tapi itu adalah petunjuk yang masih bisa dijadikan pijakan dan pintu untuk menggali. Tempat dan bukti bukti itu adalah punden punden yang masih ada.

“Jika tidak ada perhatian, maka tempat tempat itu akan hilang ditelan jaman.” Ujar Priyo.

Tentunya masa masa klasik atau sebelum bangsa Eropa masuk yang diawali dengan aktivitas perdagangannya, maka pemerintah harus mulai fokus mensekspose peninggalan di era klasiknya. Karena itulah peradaban asli setempat sebelum pengaruh bangsa lain masuk.

Melalui Undang Undang no 5/2017 tentang Kemajuan Kebudayaan, tentunya dapat dipakai sebagai pijakan dan acuan dalam penyelamatan, pengelolaan dan pemanfaatan obyek obyek kebudayaan demi pembangunan bangsa ke depan. Kebudayaan asli adalah alat yang menjadikan pembeda karakter dari bangsa lain.

Emile beserta Begandring Soerabaia dan sejarawan lokal. Foto: nanang

 

Jika kabupaten Gresik bisa menciptakan atraksi budaya berupa arak arakan budaya yang diangkat dari situs Giri Kedaton dan Makam Sunan Giri, mestinya Surabaya bisa memanfaatkan cerita klasik menjadi sumber diciptakannya atraksi budaya yang bersumber dari cerita lokal, misal kisah datangnya Raden Rachmad ke Ampel Denta.

Atraksi budaya seperti, yang telah dilakukan oleh pemerintah kabupaten Gresik, yang ternyata bisa memacu geliat budaya dan kreativitas serta ekonomi setempat. Surabaya mestinya bisa dengan kolaborasi stakeholder yang ada. Pentahelix, yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, akademisi, komunitas dan media, akan membuat yang mati menjadi hidup. Ketika hidup Surabaya akan terisi dengan ruh aslinya.[nanang]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...