Bahu Laweyan #52
Menjadi Tamu
Oleh: Noviyanto Aji
Malam semakin larut. Hawa di Gunung Muria sangat dingin. Sepanjang malam itu Nunuk tak bisa tidur. Sementara para pedagang sudah pulang ke rumah masing-masing. Pun peziarah sudah meninggalkan lokasi makam. Pulang. Yang kemalaman atau peziarah yang melakukan perjalanan jauh seperti berziarah ke Walisanga memilih menginap di tempat yang disediakan.
Bagi Nunuk hawa dingin bukan masalah. Sebab dia sudah 6 tahun tinggal di Gunung Penanggungan, sehingga terbiasa merasakan hawa dingin pegunungan. Yang membuat dia tak bisa tidur karena jari jemarinya tak kunjung selesai bertasbih. Sementara mulutnya tak henti-henti menyebut Asma Allah.
Saat rasa kantuk mulai menyergap, Nunuk kembali mengeraskan ucapannya yang hanya dia sendiri dapat mendengarnya. Memang tak seperti biasanya Nunuk menghabiskan waktu berjam-jam di tempat duduknya. Malam itu, seperti ada yang menggugah perasaannya. Perempuan bahu laweyan itu seperti sedang bermesraan dengan Sang Kekasih.
Hingga menjelang Subuh, Nunuk tetap tak beranjak dari tempat duduknya. Dia terus-terusnya berdzikir, seolah-olah tak ada hari esok, seolah-seolah malam itu adalah hari terakhirnya hidup di dunia. Nunuk tak lagi merasakan khawatir akan hidupnya. Betapa pun susah perjalanan yang bakal menanti, dia tak lagi resah. Tak ada lagi kekhawatiran dia harus apa dan bagaimana. Tak lagi membayangkan susahnya perjalanan. Semua dipasrahkan pada Kekasih. Itu sudah menjadi kebutuhan melekat, dan sebagai pengingat tentang apa-apa yang terselubung. Nunuk yakin, dengan penyempurnaan seorang hampa pada Kekasih akan mendekatkannya menjadi Insan Kamil, mengetahui tujuan untuk apa dia diciptakan.
Dengan diturunkan takdir-takdir, di situlah muncul kebutuhan-kebutuhan hamba. Takdir inilah yang kemudian mengeluarkan berbagai hal yang Allah letakkan dalam diri hamba yang sebelumnya terselubung. Dan jalan takdir setiap insan berbeda. Ada hal-hal, peristiwa-peristiwa dan perangkat-perangkat yang akan membuka rahasia diri setiap hamba.
Ya, nampak dari raut wajah Nunuk terpancar bahagia. Tanpa ada lagi perasaan tercabik-cabik. Semua tenang. Damai. Seperti air tanpa getaran. Seperti sinar rembulan tanpa tertutupi awan.
Nunuk merasakan sebuah kenikmatan. Tubuhnya seperti mengenakan jubah kebesaran. Sehingga nampak perasaan jiwanya yang suci dan bersih. Bukan lagi menggunakan kata hati, melainkan menyatu dengan rahsa. Menangkap hakekat tersembunyi dari irama cinta Sang Kekasih.
Di saat Nunuk mulai tenggelam dalam pelukan Sang Kekasih, di saat itulah dia limbung. Hilang kesadaran. Luruh dalam ruang fana. Rasa itu pernah sekali dialaminya, yakni saat bersama Sahid. Nunuk pingsan dalam kesadaran tingkat tinggi. Dimana Nunuk. Tidak ada. Menghilang. Mati.
Hingga kemudian terdengar suara adzan Subuh memulihkan kesadarannya. Saat itu Nunuk merasakan tubuhnya menggigil hebat. Tak pernah dia merasakan kekuatan sedahsyat itu sebelumnya. Lambat laun tubuhnya menghujam ke bumi. Kepalanya menyentuh lantai. Bersujudlah dia. Dari bibirnya keluar kata-kata “Allahuakbar”.
***
Esoknya, Nunuk kembali meneruskan perjalanan. Dari Gunung Muria, Nunuk menuruni anak tangga dengan langkah pasti. Tanpa keragu-raguan. Perasaannya telah bercampur dengan kebahagiaan. Sekiranya ada orang bahagia, mungkin kebahagiaan ini hanya miliki Nunuk.
Dari jalan raya, Nunuk kemudian mengambil langkah ke arah Barat. Perjalanan kali ini sangat jauh. Dia menuju ke makam Sunan Gunungjati, Cirebon. Dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Butuh waktu berhari-hari bagi Nunuk berjalan kaki. Beberapa kali dia harus mampir ke masjid untuk beristirahat total. Memulihkan keadaan. Lain hari dia kembali melanjutkan perjalanan.
Karena tidak membawa bekal apapun, sepanjang perjalanan itu Nunuk lebih banyak melakukan tirakat. Tidak takut menderita. Dari situ, Nunuk mempunyai kebiasaan baru, yakni sehari berpuasa sehari tidak berpuasa.
Namun lama-lama, modal tirakatnya kembali meningkat. Berpuasa pun dilakoni Nunuk setiap hari di setiap perjalanannya. Dan selama perjalanan itu, Nunuk tidak meminta-minta pada seseorang. Dia hanya menerima tawaran bermalam di masjid atau rumah warga. Termasuk menerima makanan. Hanya saja itu tadi, dilarang meminta-minta. Begitu pula dia tidak menerima tawaran menumpang motor atau mobil. Sebab pesan Sahid sudah jelas. Berjalan kaki. Sehingga tiada hari tanpa berjalan kaki.
Mungkinkah Nunuk telah menjadi seorang yang arif, selalu merasa malu meminta sesuatu yang ia butuhkan kepada Rabbnya, karena telah merasa puas mengikuti kehendakNya. Sehingga Nunuk merasa malu meminta sesuatu kepada makhlukNya. Bisa jadi.
Lapar dan dahaga memang pada akhirnya menjadi kebiasaan bagi Nunuk. Dia tak lagi menjadi khawatir akan kelaparan di tengah perjalanan. Sebaliknya, tirakat yang dilakoninya justru semakin mempertebal keyakinannya pada Kekasih.
Semakin menderita Nunuk, semakin dekat dia pada Kekasih. Dan tentu saja godaannya juga makin besar. Nunuk sadar, sepanjang perjalanannya itu, dia banyak melihat kejadian-kejadian aneh yang di luar nalar, seperti kejadian di Gunung Muria.
Bahkan beberapa kali Nunuk dihadapkan pada godaan jin dan setan agar tidak melanjutkan perjalanan. Godaan ini makin nyata dan jelas. Kerapkali muncul di hadapannya dalam wujud manusia berbeda-beda. Meminta pada Nunuk agar menyudahi tirakatnya. Sebab hal itu hanya akan merugikan dan membawa petaka bagi dirinya.
Berulang kali Nunuk tersadar dari terlelapnya akal. Menjernihkan kondisi spiritualnya dan mengejar kedekatannya pada Kekasih. Sehingga gangguan itu dapat disingkirkannya.
Dengan kedekatannya pada Kekasih, Nunuk dapat membedakan mana wujud manusia asli dan mana wujud manusia jadi-jadian. Di mata Nunuk, setiap godaan itu memang tak bisa dihindari. Sebab sifat setan memang begitu. Sebagai makhluk pembangkang, tugasnya selalu menggoda anak manusia. Seperti yang pernah dilakukan Gendro Swara Pati padanya.
Namun kali ini Nunuk punya cara jitu menjinakkan segala godaan. Setan, iblis, jin, dan sejenisnya, Nunuk mengibaratkan mereka sebagai anak kecil yang kemauannya mesti dituruti. Sifat anak kecil umumnya mau menang sendiri. Bila mereka melihat jajanan atau sesuatu yang menarik, mereka selalu merengek. Sebagai orang tua, maka wajib untuk memberi pemahaman bahwa tidak semua keinginannya itu baik untuk dipenuhi, bahkan kalau perlu berbohong demi kebaikan.
Begitu pula Nunuk saat menghadapi godaan, adalah dengan tidak memenuhi semua kemauan hawa nafsu (iblis) dan setan. Sebab apabila manisnya hawa nafsu yang telah menguasai qalbu, maka penyakit itu sangat sulit untuk disembuhkan.
Dan untuk merayu godaan adalah melalui iman dan ketaqwaan. Caranya memperbanyak tirakat.
Dalam hal ini, Nunuk tak pernah sedetikpun berputus asa. Setiap godaan berhasil disingkirkan menjauh. Sebab yang namanya putus asa hanya akan menghilangkan suatu amalan seseorang. Tanpa putus asa, seorang hamba bisa jadi akan menerima suatu amalan, meskipun buahnya tidak dapat dipetik (merasakan) ketika itu juga.
Di situlah semangat juang Nunuk tak pernah kendur. Semangat itu menguatkan tekadnya untuk menerjang segala rintangan yang menghadang di depan. Jika rasa takut telah hilang, pada saat itulah kalbu akan dipenuhi cahaya maka nafsu pun akan terbakar. Amal paling afdhal adalah melawan hawa nafsu dan ridha atas apa yang ditakdirkan.
“Saya pikir memang tiada satu pun makhluk ciptaan Allah di dunia ini yang patut ditakuti, kecuali Allah sendiri. Tidak ada yang bisa mengusir ajakan syahwat (yang menyesatkan) dari hati, kecuali rasa takut (kepada Allah) yang menggetarkan atau rasa rindu (kepada Allah) yang menggelisahkan.”
Karena itu, perjalanan berat Nunuk itu dilalui tanpa suatu kepayahan apapun. Sebab semua dilakukan atas dasar keikhlasan. Hidup manusia menjadi beban karena pikiran yang dibuatnya sendiri. Sebaliknya, kedekatan hamba denganNya justru dapat mengangkat beban yang menghimpitnya. Merenungkan kedekatan hamba padaNya, membuat hamba tahu wujud kedekatan padaNya. Sehingga memunculkan hakikat batin dalam kondisi tajalli (ditampakkan) secara singkat. Ada cahaya yang datang tetapi karena hati masih dipenuhi hal-hal keduniawian, maka cahaya-cahaya itu kembali ketempat semula.
Sekiranya Nunuk telah melaluinya.
***
Entah berapa banyak tempat telah disinggahi Nunuk. Tidak pernah dihitung maupun dicatat. Apalagi menghafal satu persatu. Sebaliknya, Nunuk malah mengingat orang-orang baik yang selalu membantunya di sepanjang perjalanan.
Saat lelah, Nunuk berhenti. Saat ingin berjalan, dia berjalan lagi. Saat kantuk mendera, dia berhenti dan tidur. Semua dilakukan atas kemauannya sendiri. Tak perlu tergesa-gesa untuk sampai di Cirebon.
Dan dalam perjalanan penuh liku itu, tanpa sadar Nunuk tiba di sebuah pedesaan.
Di desa itu Nunuk menghentikan langkahnya. Seperti ada sesuatu yang membuat pendalamannya untuk berhenti. Dilihatnya sebuah pondok pesantren. Nunuk duduk di tepi jalan. Dipandanginya pesantren tersebut. Tidak banyak santri. Yang membuat hati Nunuk berbunga-bunga karena pemandangan pesantren tersebut. Melihat santriwati lalu lalang menjinjing sebuah tas berisi kitab di dalamnya, seketika dia teringat anak-anaknya. Aisyah, Fatimah, dan Muhammad.
Nunuk membayangkan satu persatu wajah anak-anaknya. Tawa riang mereka. Senyum manis mereka. Suara-suara indah mereka terngiang di telinga. Menangislah dia. Airmatanya tak terbendung.
“Apa kabarnya kamu, Nak. Ibu kangen sama kamu. Baik-baiklah di Kediri,” Nunuk berbicara pada diri sendiri. Nada bicaranya seperti orang gila. Kadang tersenyum sendiri memikirkan anak-anaknya nun jauh di sana.
Buru-buru Nunuk mengesampingkan perasaannya. Sekarang bukan saatnya bermesra-mesraan dengan keadaan. Waktunya meneruskan perjalanan. Saat hendak melangkah, tiba-tiba Nunuk dikejutkan seorang lelaki muda berlarian menghampirinya. Usianya tak beda jauh dengan Aisyah, anaknya.
“Assalamualaikum, Bu,” lelaki itu uluk salam dengan sopan, “Maaf menganggu. Apakah ibu seorang musafir?” Tanya lelaki muda tak lain santri di pesantren tersebut.
Nunuk mengangguk.
“Apakah ibu membutuhkan makanan?”
“Saya sedang berpuasa, Nak!” Jawab Nunuk.
“Apa sekiranya saya diijinkan untuk menawarkan tempat beristirahat bagi ibu. Mungkin ibu mau berbuka puasa di sini?”
“Apakah saya tidak menganggu?” Nunuk bertanya balik.
“Justru akan berdosa bila kami tidak menawarkan hal ini pada ibu.”
“Kenapa begitu, Nak!”
“Sebab Kyai Sepuh berpesan, setiap kali ada musafir melintas, wajib bagi kami untuk menghentikan mereka dan menawarkan tempat beristirahat.”
Nunuk diam sesaat. Memandangi lelaki muda tersebut. Wajahnya penuh harap agar tawarannya diterima. Sementara Nunuk masih memikirkan tawaran baik tersebut. Tidak mungkin tawaran baik itu tidak diterimanya. Toh, selama ini Nunuk sering mendapat banyak tawaran dari orang-orang di sepanjang perjalanan.
“Baiklah, Nak. Ibu terima tawarannya atas ijin anak dan Kyai Sepuh,” sahut Nunuk sopan.
Santri muda itu lantas mengantarkan Nunuk masuk ke lingkungan pesantren. Nunuk diajak ke ruangan khusus yang biasa ditempati para musafir singgah. Sebelum meninggalkan Nunuk, santri muda itu mengenalkan dirinya. Namanya Galang.
“Nak Galang sudah lama di sini?” Tanya Nunuk.
“Saya baru tiga tahun, Bu. Maaf saya tidak bisa lama menemani ibu. Saya harus pamit. Nanti saya akan menyuruh santriwati yang melayani ibu. Sebab jika ada musafir wanita yang menginap di sini, sudah menjadi tugas santriwati yang melayani.”
“Silahkan, Nak Galang. Terima kasih atas kebaikannya.”
Galang pergi. Tak lama muncul dua santriwati.
“Assalamualaikum,” keduanya uluk salam.
“Waalaikumsalam.”
“Boleh kami masuk, Bu.”
“Silahkan. Bukankah ini pesantren kalian. Kalian bebas masuk. Saya cuma tamu di sini.”
Kedua santriwati itu mendekati Nunuk dan mencium tangannya. Mereka memperkenalkan diri.
“Nama saya Tyas.”
“Dan saya Kalim.”
“Saya Nunuk,” Nunuk balik mengenalkan namanya.
Dengan sopan Tyas dan Kalim menawarkan makanan pada Nunuk. Namun ditolak karena yang ditawari makanan sedang berpuasa.
“Kalau begitu untuk menu berbuka nanti Bu Nunuk mau dimasaki apa?” Tanya Kalim.
“Terserah kalian saja. Saya cuma tamu di sini,” kata-kata yang sama diulangi Nunuk.
“Kalau begitu ibu istirahat saja dulu. Nanti Magrib kami akan kembali.”
Keduanya berlalu dari hadapan Nunuk.
Saat Magrib, Tyas dan Kalim kembali dengan membawa makanan. Kedua santriwati itu menemani Nunuk menyantap hidangan berbuka. Selepas sholat Magrib, Tyas dan Kalim memberanikan diri bertanya.
“Bu Nunuk,” sapa Tyas, “Jika berkenan, sekiranya dapat datang ke kelas kami selepas ba’da Isya.”
Nunuk kaget bercampur heran. Bola matanya seakan mau copot. Matanya menyelidiki kedua santriwati yang berdiri di hadapannya. Hanya wajah-wajah penuh ketulusan yang didapat. Tetap saja Nunuk bertanya-tanya, ada apa di kelas santri? Mengapa dia diperkenankan untuk masuk ke dalam kelas?
“Ada apa di kelas kalian?” Nunuk bertanya.
“Ibu bisa mengajar di kelas kami.”
“Apa? Mengajar. Apa kalian tidak salah?”
“Kami tidak salah, Bu. Kyai Sepuh berpesan demikian.”
“Bagaimana pesan Kyai Sepuh?”
“Setiap musafir apabila berkenan dapat mengajarkan kami di kelas, meski itu hanya satu jam saja,” kata Tyas.
“Tapi saya bukan pengajar. Saya bukan guru. Bukan pula ulama. Saya tidak punya ilmu seperti pengajar-pengajar di pesantren ini.”
“Ibu tidak perlu mengajar kitab,” sahut Kalim.
“Lalu?”
“Ibu bisa mengajarkan kami soal kehidupan,” tutur Kalim.[bersambung]