Misbach Dijuluki Haji Merah
Mas Marco Kartodikromo pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
REKAYOREK.ID Doktrin Marxisme dilandaskan filsafat materialisme. Sedangkan Islam berdasarkan spiritualisme dan kepercayaan secara empiris. Meski keduanya sama-sama mengandung unsur antikapitalisme, namun susah dipertemukan.
Hampir semua pendiri bangsa mengadopsi pemikiran Karl Marx, tentunya dengan kadar berbeda-beda.
Soekarno menerapkan ideologi kirinya dengan mencocokkan kondisi masyarakat Indonesia dan menamainya Marhaenisme. Demikian pula Hatta, Syahrir, Tan Malaka juga merupakan sosialis atau komunis.
Namun berbeda dengan Haji Misbach. Dia justru menggabungkan dua unsur tersebut, Marxisme dan Islam.
Dunia perjuangan kemerdekaan geger.
Sayang, namanya kini seolah dihapuskan dalam sejarah bangsa. Mungkin karena dia dikenal sebagai ‘Haji Merah’.
Saat itu, awal Maret 1923, adalah Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Islam (SI) di Bandung. Kongres itu dihadiri dua komunis dari Sumatera Barat, yaitu Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin.
Seorang haji menaiki podium. Dia memperkenalkan diri. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Madinah,” terangnya.
Dalam kongres itu, Misbcah jadi bintang. Dia tampil memukau di kalangan cabang-cabang PKI dan SI merah, terutama mereka yang bercorak agamis. Ketika baru memulai uraiannya, Haji Misbach langsung menusuk ke jantung persoalan. Ia berusaha menguraikan kesamaan-kesamaan prinsip antara Qur’an dan Komunisme.
“Quran, misalnya, menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak azasi manusia, dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip program komunis.”
Berjuang melawan penindasan dan penghisapan, menurut Misbach, merupakan perintah Tuhan. “Ini juga salah satu sasaran komunisme,” kata Misbach. Gagasan inilah kemudian yang disebut Islam-Komunis.
“Orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa mereka bukan Islam sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam,” sebutnya.
Misbach juga menganggap saat itu SI di bawah pimpinan Tjokro telah memecah-belah gerakan rakyat dengan memberlakukan disiplin partai.
Meskipun bergelar haji dan sudah pernah ke Tanah Suci, tapi Misbach tidak pernah mengenakan sorban ala Arab ataupun peci ala Turki. Dia hanya mengenakan tutup kepala dan bergaul dengan rakyat apa saja.
Misbach dikenal mubaligh ulung. Dia fasih ayat-ayat Alquran. Maklum, dia sudah lama mengeyam pendidikan di pesantren.
Haji Misbach dilahirkan di Kauman, Surakarta, tahun 1876, dan dibesarkan sebagai anak seorang pedagang batik yang kaya raya.
Mas Marco Kartodikromo, teman seperjuangannya, menggambarkan Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran Islam.
Keduanya memang sempat berkhidmat dalam lapang pergerakan Sarekat Rakjat/PKI. Namun Misbach dan Marco Kartodikromo tak pernah lagi disebut-sebut dalam sejarah resmi yang disusun Orde Baru. Tak mengherankan bila Haji Misbach baru diangkat kembali peran dan sosoknya oleh seorang peneliti asing.
Sejarawan dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Soewarsono menceritakan, Haji Misbach dikenal sebelum 1965-1966. Salah satu buku yang ditulis almarhum profesor Harsa Bachtiar dari UI menyebut, Haji Misbach sebagai orang di antara pemimpin pergerakan kebangsaan di Indonesia, atau tepatnya dikenal dengan pemimpin komunis keagamaan yang mempropagandakan ideologis komunis dengan kutipan-kutipan dari Alquran.
Haji Misbach, juga dikenal sebagai orang yang dibuang di Manokwari, dan meninggal dua tahun kemudian. Sebuah jalan di Solo pernah dinamai dengan Jalan Haji Misbach, tapi setelah peristiwa 1965/1966, jalan itu dihapus.
Dihilangkan Dari Sejarah
Politik sejarah telah menyembunyikan tiap-tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya, yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam tumpukan arsip-arsip tua.
Tidak dikenalnya Marco, bukanlah kejadian yang kebetulan saja, akan tetapi merupakan sebuah politik kolonial yang direncanakan, karena Marco adalah tokoh yang inspiratif dan tokoh-tokoh yang tidak penah mau berkompromi dengan Belanda.
“Nama Haji Misbach dicoba untuk ditiadakan dalam realitas masyarakat Indonesia, maupun sejarah Indonesia. Pembicaraan mengenai Haji Misbach muncul kembali di kalangan akademisi itu, sejauh yang saya tahu sejak 1980an, ketika seorang penulis mengutip nama Haji Misbach sebagai seorang Jawa dan Komunis. Belakangan menjadi terkenal karena studi seorang sarjana dari Jepang, Takashi Siraishi yang menulis tentang pergerakan radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Satu di antara tokoh yang dibahas secara intensif dan mendalam, adalah Haji Misbach. Lewat studi itu pula, nama Haji Merah muncul,” jelas Soemarsono.
Takashi Shiraishi memulai disertasinya pada 1986. Bisa dianggap Takashi orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut “zaman bergerak”.
Meskipun dalam karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini.
Dalam prakata bukunya, misalnya, ia menulis, “Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad Misbach dalam Medan Moeslimin, “Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut. Hal ini membuat saya mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.”
Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Takashi adalah klasifikasi yang diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan.
Dalam historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya.
Karenanya, ia akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dan seterusnya). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut.
Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Apalagi Soewarsono melalui buku yang ditulisnya ‘Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manowari dan Bovendigul’ juga menceritakan, sosok Haji Misbach adalah muslim yang baik, lulusan pesantren, serta pernah berhaji sebelum memulai pergerakan Nasional. Haji Misbach juga seorang pimpinan media.
“Pergerakan Nasional dimulai oleh Haji Misbach ketika menjadi jurnalis. Haji Misbach memiliki dua surat kabar namanya Medan Muslimin yang didirikan 1915, dan Islam Bergerak pada 1917. Ini yang akan menjadi dasar dia berkegiatan dalam politik pergerakan saat itu. Hanya saja, masa pergerakan itu dimulai saat ia bergabung dalam organisasi yang didirikan Cipto Mangunkusumo, Insulinder yang berubah menjadi Sarikat Hindia, atau National Indische Partij,” terangnya.
Seorang Islam sejati seperti Haji Misbach, jelas Soewarsono, mengalami perkembangan politik pada konteks pertamanya adalah pergerakan yang bersifat kebangsaan, atau saat ini dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’ (Cipto, Dowes Dekker, dan Suhardi Suryaningrat) hingga tahun 1923, sebelum kemudian Sarikat Hindia dihancurkan oleh Belanda.
Padahal sosok ini tak bisa bahasa Belanda, karena hanya lulusan pesantren dan sekolah ongko lorho. Karena tidak bisa bahasa Belanda, Haji Misbach tidak bisa mengakses buku-buku tentang komunis terbitan Belanda. Untuk menyiasatinya, ia menggunakan bahasa daerah dan melayu yang dikuasainya untuk mengakses karya-karya komunisme yang ditulis dalam bahasa melayu.
Karya Tan Malaka dan Semaun saat itu memang banyak beredar. Semisal Novel Hikayat Kabirun, karya Semaun. Karya-karya yang dibacanya itu membuat Haji Misbach berpandangan lain tentang Islam dan komunisme. Meskipun ia tahu Islam dan komunisme dua hal yang berbeda.
Tak jelas dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja dari latar belakang apa saja.
Hal-hal ini mungkin yang kemudian memantik kesadarannya dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan, namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.
Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak 1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya adalah Muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam), dengan mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga cerita-cerita perjuangan Nabi, dengan pemahamannya yang juga terbilang cukup baik terhadap konsep ekonomi-politik yang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa itu, seperti “kapitalisme”, “penghisapan”, dan “penindasan” ekonomi.
Akhir Petualangan Haji Merah
Misbach pembela komunis dan pembela Islam. Saat itu Martodharsono yang menerbitkan tulisan Djojodikoro dalam surat kabar yang dikelolanya, Djawi Hisworo.
Umat Islam meradang karena Djojodikoro menulis begini dalam artikel yang terbit pada Januari 1918 itu: “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka mengisap opium.”
Atas tulisan tak senonoh itu, Misbach meminta kepada pihak-pihak berwenang, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, agar menjatuhkan tindakan tegas kepada dua jurnalis Solo itu lantaran telah melecehkan Islam.
Misbach bahkan mendirikan laskarnya sendiri yang diberi nama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM).
Selain itu, ia menyebar seruan tertulis yang menyerang Martodharsono. Segeralah beredar kabar bahwa Misbach akan berhadapan dengan mantan wartawan Medan Prijaji di arena debat.
Jantung peradaban Jawa pun berguncang. Tersengat oleh semangat Misbach, kaum muslimin dari berbagai daerah berbondong-bondong menghadiri tabligh akbar yang disponsori TKNM dan SATV di Lapangan Sriwedari Solo pada 24 Februari 1918.
Takashi Shiraishi menyebut pertemuan besar di Sriwedari itu diramaikan oleh lebih dari 20.000 orang. Sangat riuh, persis seperti Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang dipusatkan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Misbach memang pembela Islam sejati. Dia tak segan-segan menyerang orang-orang yang menistakan agamanya, bukan lewat aksi fisik tentunya tapi melalui debat atau tulisan.
“Barangsiapa yang merampas agama Islam, itulah yang wajib kita binasakan!” tukas Misbach di surat kabar Medan Moeslimin (1918).
Bahkan terhadap sesama muslim yang justru tidak menghargai Islam, Misbach pun siap menerkam. Rekan Misbach sesama pejuang pergerakan nasional, Mas Marco Kartodikromo, pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
Dan ketika kaum putihan “termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan: Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.
Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu tertentu, seperti rendahnya upah, dan sebagainya yang tak didengarkan ketika disampaikan secara “baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untuk ditangkap, dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.
Dari perjuangannya sebagai Haji Merah, Misbach harus masuk penjara dua kali. Selain keterlibatannya di Sarikat Hindia, dia juga masuk ke partai PKI. Setelah itu menjadi propagandis PKI SI Merah.
Pergerakan politiknya di Propagandis PKI SI Merah ini menjadi gerakan yang menakutkan terutama di Surakarta, dan Solo, yang membuat ia ditangkap dan dibuang di luar Jawa. Dan, dia adalah orang pergerakan pertama yang dibuang di Manokwari.
Dia dianggap sebagai salah satu dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya. Saat itu penjagaan polisi sangat ketat.
Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Dan Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.
Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.
Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi.
Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo—yang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasional— atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo—yang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”, yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.
Haji Merah itu kini telah tiada. Namun ada yang perlu dicatat, Haji Misbach telah melihat ada titik-titik persamaan antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Dia mencoba menggabungkannya.
Misbach menyadari betul Marxisme berpengaruh terhadap bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia kala itu.
Soekarno saja mengakui teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang dianggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakatan. Bahkan Sjahrir yang dikemudian hari pandangan ekonomi-politiknya dianggap kanan (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), dengan tegas mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari ketertarikan mereka terhadap Marxisme.
Mengenang Haji Misbach seperti menyadarkan kembali bahwa tidak ada yang perlu ditakuti terhadap paham Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih bangsa ini harusnya mengapresiasi karena peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam, yakni membebaskan masyarakat tertindas.[diolah dari berbagai sumber]