Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Pengalaman Spiritual Dengan Bau Dupa

REKAYOREK.ID Meski kita sudah hidup di alam modern, namun yang namanya tradisi tidak lepas dari kehidupan sekarang (modern). Harmonis bila tradisi bisa bersanding dengan modernisasi. Apakah bisa? Bisa.

Kota Surabaya adalah contohnya. Mungkin salah satu dari sekian contoh yang ada. Keyakinan dan kepercayaan adalah hak setiap orang, yang hidup dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasal 28E UUD 1945: Pasal 28E (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Kepercayaan adalah salah satu dari keberagaman dalam menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Disana dalam kebiasaan dan tradisi kepercayaan, membakar dupa adalah salah satunya. Terkadang sebagai sebuah tradisi, membakar dupa tidak ada kaitannya dengan agama. Membakar dupa adalah bagian dari tradisi dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh nenek moyang.

Di Suriname misalnya, yang letak negaranya berada di belahan barat dari Kota ꦩꦼꦏꦃ Mekah, Saudi Arabia, mestinya keberadaan masjid (kiblat) harus menghadap ke Timur. Tapi ada masjid (kiblat) disana menghadap ke barat. Para jamaah masjid ini masih memegang teguh tradisi nenek moyang, yang ketika sholat masih menghadap ke Barat seperti di (Jawa) Indonesia.

Jare para simbah, yen sembahyang kudu ngadep ngulon”, begitu kalimat yang diucapkan secara klise oleh orang Jawa Suriname yang sholat menghadap ke Barat. Sementara masjid masjid lainnya menghadap ke Timur.

Bakar Dupa

Ada tradisi bakar dupa. Mengapa? Dengan membakar dupa sebenarnya merupakan sebagai sebuah tindakan untuk menciptakan suasana yang hening dan sakral. Tentu saja juga untuk menciptakan ruangan atau tempat yang harum. Dengan demikian proses berjalannya acara ritual dapat lebih terkonsentrasi, tidak terganggu oleh kebisingan dan bau yang tak sedap.

Menurut literasi Parisada Hindu Dharma Indonesia, phdi.co.id, Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni atau api dan berfungsi sebagai perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja.

Dupa berasal dari Wisma yaitu alam semesta dan asapnya yang secara perlahan menyatu ke angkasa inilah sebagai perlambang menuntun umat agar menghidupkan api dalam raga dan menggerakkan menuju ke Sanghyang Widhi.

Karenanya perbedaan dalam beragama adalah warna dalam NKRI. Karena perbedaan itulah, kemudian ada toleransi dan saling bekerjasama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ternyata tradisi dan keyakinan terhadap nenek moyang juga masih ada dan berkembang di tengah tengah belantara modernisasi kota Surabaya.

Dipandu Asap Dupa

Ini adalah pengalaman pribadi yang nyata. Dari kejauhan, aku mencium bau dupa. Jarak mulai aku mencium bau dupa dengan sumber dupa sekitar 10 kilometer, dari Jambangan, Surabaya Selatan ke Tubanan Lama, Surabaya Barat.

Dari Jambangan sore itu (Kamis, 14 Desember 2023) aku mengalami pengalaman spiritual atau tepatnya gaib. Tubuh dan pundakku terasa berat tiba tiba. Di saat yang bersamaan, aku mencium bau dupa. Padahal tidak ada dupa di sekitarku di Sentra Wisata Kuliner (SWK) Jambangan, Surabaya Selatan.

Aku sontak menyadari bahwa ada yang sedang membersamaiku. Ia bersamaku.  Siapa dia? Tak bisa kujelaskan.

Karena bau itu terus menusuk hidung dalam perjalanan pulang ke rumah, maka aku sempat berhenti di depan penjual ꦱꦠꦺ sate di Karah Surabaya untuk mengadu bau sate dan bau dupa. Ketika berhenti di tempat pembakaran sate, bau sate sempat mengalahkan bau dupa. Bau dupa hilang dan aku melanjutkan perjalanan.

Baru beberapa meter meninggalkan penjual sate, bau dupa pun menyeruak masuk ke dalam hidung. Aku terus melanjutkan perjalanan pulang ke arah rumah di Manukan Rejo Surabaya Barat. Dalam perjalanan itu, bau dupa terus menyertaiku. Aku sadar bahwa dia bersamaku dan aku pun merasa aman dalam perjalanan pulang.

Sesampai di kawasan Tubanan Lama, sebelum sampai di Manukan Rejo di Surabaya Barat, aku berhenti di sebuah kantor Balai RW, yang berdiri tepat di pinggir jalan, dimana sumber bau dupa itu bermula. Di kantor Balai RW Tubanan Lama ini sedang berlangsung latihan kelompok seni Campursari dengan seperangkat gamelan. Suaranya riuh.

Disanalah bau dupa itu sangat terasa. Tapi aku tidak langsung bertanya kepada para wiyaga dimana letak dupa dibakar. Aku pun mengambil beberapa foto dari mereka yang sedang berlatih. Kemudian ku lanjutkan wawancara dengan salah satu anggota mengenai kegiatan mereka.

Dijelaskannya bahwa mereka berlatih  campursari seminggu sekali, setiap hari Kamis malam. Menurutnya Kamis malam atau Malam Jumat adalah hari baik.

Setelah ngobrol sejenak ku bertanya dimana letak dupa yang dibakar. Dijawabnya bahwa dupa dibakar di belakang gong. Aku pun minta ijin untuk memotret dupa yang berada di belakang gong.

Setelah melangkah melewati beberapa wiyaga, saya sudah berada di belakang  gong dan melihat keberadaan dupa yang sedang menyala dengan asap putihnya yang bergerak membubung ke udara.

Begitu lensa HP kuarahkan dan memframing dupa, tiba tiba HP mati. Maka gagal lah mengabadikan dupa yang menyala itu, yang percaya atau tidak, telah menuntunku dari kejauhan sekitar 10 kilometer dari Surabaya Selatan ke Surabaya Barat.

Buktinya, dari tempat itu, Kantor Balai RW Tubanan Lama ke rumah di Manukan Rejo, Tandes, sudah tidak tercium lagi bau dupa.@nanang

sumber: omahaksara.id

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...