Perjalanan Cak Markeso, Bapaknya Stand Up Comedy Indonesia
Gak Kurang Ketan, Gak kurang Klopo Tutup siwur, dikurepno Gak kurang Prawan, Gak kurang Rondo Ojob e Tonggo, di Kurepno... Parikan Cak So Markeso
REKAYOREK.ID Sebenarnya melawak tunggal atau lebih dikenal Stand Up Comedy, bukan barang baru dalam berkesenian di Indonesia. Jauh sebelum Stand Up Comedy dijadikan program televisi, warga Jawa Timur sudah mengenal Cak Markeso. Pelawak tunggal ini benar-benar mengabdikan hidupnya untuk berkesenian monolog.
Kisah Cak Markeso berkesenian sejak tahun 1949. Perkenalan dunia panggung dimulai dari group ludruk tobong atau pentas berpindah-pindah. Cak Markeso lahir dari keluarga kurang beruntung, sehingga tidak sempat mengenyam bangku sekolah sama sekali. Penghasilannya dari kelompok ludruk dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga Cak Markeso mencoba gagasan lain dengan mementasakan ludruk tunggal. Pementasan secara keliling dari rumah ke rumah di kawasan Dolly dan Kremil. Selama pentas, Cak Markeso tidak pernah lupa menggunakan atribut ludruk.
Durasi pertunjukan Ludruk Monolog sekitar 30 menit. Semua dimainkan tunggal dengan mulut, baik itu musik gamelan sebagai pengiring diselingi dengan kidungan Jula Juli Suroboyo. Tidak lupa guyonan khas serta parikan. Beberapa orang menyebutnya pementasan Ludruk Tunggal dengan istilah Ludruk Garingan.
Cak Markeso lahir di Benowo tempat banyak para penjual tuak siwalan di Surabaya. Ayahnya berasal dari Kudus Jawa tengah, dan ibu dari Bangkalan. Karena besar di lingkungan budaya Surabaya, sangat wajar Cak Markeso tidak lancar berbahasa Madura.
Sebenarnya beberapa kali Cak Markeso menggelar pentas bersama kelompok ludruk. Kehadirannya dijadikan bintang tamu karena nama besar sebagai tokoh ludruk tunggal. Misalnya sekitar tahun 1986, Cak Markeso beberapa kali mengisi acara acara resmi dan pertunjukan, bersama Cak Kartolo. Bahkan profesinya yang langka ini juga mendapat penghargaan dari Walikota Surabaya tahun 1989. Serta penghargaan dari PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta NasionaL Indonesia). Pada tahun 1991 hingga tahun 1993, Cak Markeso sering mengisi acara di Radio Carolina dan Radio Elvictor.
Namun peristiwa besar kematian istrinya pada tahun 1993 merubah perjalanan hidup Cak Markeso. Sosok yang sebelumnya selalu berhasil menghibur banyak orang, pada hari itu dirinya tidak mampu mengendalikan kesedihannya. Sang istri yang tidak bisa memberikan seorang anak ini, sangat dicintainya. Dia selalu setia dalam kondisi apapun baik senang maupun susah sebagai seniman jalanan.
Kematian sang istri membuat kehidupan cak Markeso menjadi kesepian. Sejak saat itu memutuskan untuk tinggal bersama anak angkatnya di kawasan Tunggorono Jombang. Hari-hari yang biasanya penuh canda kini menjadi sunyi. Penyakit asma dan maag sering mengajak Cak Markeso berkunjung ke rumah sakit. Penyakit yang biasa menyerang orang miskin, muncul akibat lelah mengamen atau main ludruk di jalanan. Cak Markeso meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 1 Mei 1996 di Desa Tunggorono Jombang.
Cak Markeso Fenomena Pertunjukan Ludruk Tunggal
Dalam konsep ludruk tunggal Cak Markeso banyak berisi kidungan dengan musik mulut. Dalam istilah ludruk “ngudoroso” ludruk ini tanpa musik gamelan, tidak ada tari remo sebagai adegan pembuka pertunjukan ludruk. Sedangkan ide cerita diangkat dari kondisi lingkungan sekitar. Kemudian Cak Markeso menyampaikan pitutur secara jenaka.
Ludruk garingan Cak Markeso ini sangat tergantung dengan perasaan suasana hati. Maka saat kondisi sedih setelah istrinya meninggal, Cak Markeso benar-benar kehilangan ruhnya sebagai seniman.
“Cak Markeso benar-benar libur tanggapan dan sama sekali tidak ngamen sejak saat itu,” jelas Robert Bayonet seniman Tobong Ludruk The LUNTAS Indonesia (Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Soeroboio).
Menurut cerita yang berkembang di kalangan seniman, karena terlalu lama ngamen ludruk tunggal membuat Cak So sering tidak bisa menyelaraskan diri sangat diiringi gamelan. Bahkan tidak bisa menentukan nada. Oleh sebab itu sangat jarang diajak main dengan kelompok ludruk. Jika dia bermain kelompok, biasanya lebih dominan. Maka Cak Markeso hanya mandapatkan peran kecil sebagai bintang tamu, atau ditempatkan saat ngidung garingan tanpa gamelan.
Sebagai seniman, Cak Robert tidak menyarankan menjadikan sosok Cak Markeso sebagai legenda. Sebab jika disebut sebagai legenda, tentu saja akan meninggalkan jasa yang bisa ditiru pada generasi berikutnya.
“Generasi berikutnya gak ono sing gelem ludruk ijenan. Sebab ludruk iku yo main bareng, ono gamelane, ono panggunge,” jelas Cak Robert.
Bahkan lebih ekstrim lagi istilah ludruk Garingan sebenanya tidak perlu ada, serta seharusnya diganti istilah Ludruk Markeso. Alasannya hanya Cak Markeso saja yang menjadi pemain hingga saat ini. Setelah Cak Markeso meninggal dunia, tidak pernah ada lagi bentuk ludruk yang dipentaskan secara sendirian.
Sedangkan terkait berkesenian yang dilakukan Cak Meimura, yang menyebut ludruk tunggal dengan tokoh besut, dinilai semangatkan untuk melestarikan ludruk tunggal Cak Markeso. Namun kemunculan Cak Meimura ini sepertinya sarat dengan kepentingan siapa yang menanggapnya.
“Gak ono bedane dengan konsep panggung monolog, tapi dikemas budaya lokal suroboyoan. Ini namanya ludruk ora jangkep. Nek gak jangkep arane ludrukan,” tambah Cak Robert.@pulung