Riwayat Karesidenan Surabaya
Sistim karesidenan di Surabaya berjalan hingga abad 20 ketika mulai terbentuk Gewest (Daerah) Jawa Timur. Tepat pada 1928 diangkatlah seorang gubernur yang membawahi dan memimpin Daerah Jawa Timur.
REKAYOREK.ID Karesidenan pernah menjadi bentuk pemerintahan di Surabaya. Bahkan Surabaya menjadi ibukota karesidenan, yang wilayahnya meliputi beberapa kabupaten. Seperti Kabupaten Surabaya sendiri, kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik dan Lamongan.
Kepala Daerah Karesidenan Surabaya adalah seorang Residen. Sedangkan beberapa wilayah (kabupaten) di bawah keresidenan dijabat oleh Asisten Residen. Baik Residen maupun Asisten Residen adalah orang orang Belanda. Dengan kata lain, Karesidenan adalah formasi pemerintahan Belanda.
Sementara di tingkat lokal atau pribumi dengan bentuk kabupaten, pejabat kepala daerahnya adalah bupati yang berasal dari bangsa pribumi. Jadi di setiap kabupaten ada seorang bupati (pribumi) yang “diawasi” oleh seorang asisten residen (Belanda).
Lebih ke bawah lagi dari kabupaten masih ada pejabat pemerintah yang bernama Wedono. Ia mengepalai level Kawedanan yang wilayahnya terdiri dari beberapa kecamatan.
Dalam satu kabupaten ada lebih dari satu Kawedanan. Di setiap Kawedanan, duduklah seorang Wedono (pribumi) yang “didampingi” dan “diawasi” oleh seorang Belanda dengan jabatan Krotroleur.
Di wilayah Jawa bagian timur, kala itu, terdapat sejumlah pemerintahan Karesidenan. Propinsi Jawa Timur belum ada. Apalagi gubernur Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Jawa Timur baru ada pada 1929, yang ditandai dengan adanya kepala daerah, Gubernur.
Urutan gubernur pertama hingga berikutnya tercatat pada sebuah prasasti batu marmer yang tertempel pada dinding kantor gubernuran Jawa Timur, yang mulai dibangun pada awal tahun 1929.
Sebetulnya sistim karesidenan ini terbentuk pada awal abad 19 di era pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816), khususnya di tanah Jawa. Pasca pemerintahan Inggris, sistim keresidenan ini masih dilanjutkan oleh Belanda pada era pemerintahan Hindia Belanda. Pada abad 19 inilah tercatat nama nama Residen di Karesidenan Surabaya.
Berikut nama nama Residen Surabaya di abad 19, yang ditulis dalam buku Oud Soerabaia: 1. Ph. H. Baron van Lawick van Pabst (1817), 2. H. Mac Gillavry (1825-1827), 3. B.W. Pinket van Haak (1827-1830), 4. H.J. Domisili (1831-1834), 5. Mr. D.F.W. Pietermaat (1839-1848), 6. P.J.B. De Perez (1848-1853), 7. P. Vreede Bik (1853-1857), 8. Jhr. Mr. H.C. van der Wijck (1858-1860), 9. O. Van Rees (1860-1864), 10. C.Ph.C. Steinmetz (1864-1865), 11. H.M. Andrew Wiltens (1865-1868), 12. S. Van Deventer (1868-1873), 13. W.A. van Spall (1873-1876), 14. F. Beijerick (1876-1884), 15. Jhr. C.H.A. van der Wijck (1884-1888), 16. J.C. Th. Kroesen (1888-1896), 17. H.W. van Ravenswaay (1896-1901), 18. E.C.A.F. Lange (1901-1905), 19. R.H. Ebbink (1905-1908).
Di bawah pemerintahan Inggris di Hindia Belanda dengan Gubernur Jendral Raffles (1811-1816), dilakukan perubahan sistim pemerintahan di Jawa. Pulau Jawa dibagi menjadi 18 wilayah Karesidenan. Di Jawa bagian Timur ada 7 wilayah Karesidenan. Di setiap Karesidenan dipimpin oleh seorang Residen.
Ketika Hindia Belanda kembali dikuasai oleh pemerintah Belanda (1816), bentuk karesidenan yang dibuat Inggris tidak berubah. Residen menjadi orang yang berkuasa di wilayahnya. Ia bisa mengawasi setiap aparat rendahan dan setiap orang. Karenanya dalam sistim pengawasan, setiap karesidenan yang di dalamnya terdapat beberapa kabupaten, ditempatkanlah seorang Asisten Residen di setiap kabupaten.
Bahkan di setiap kabupaten masih dipecah pecah menjadi wilayah Kawedanan yang setiap Wedono dikawal oleh seorang Kontroleur. Semua Asisten Residen hingga Kontroleur adalah orang orang Belanda. Mereka mengawasi pejabat Bupati (kabupaten) dan Wedono (Kawedanan).
Sistim karesidenan di Surabaya ini berjalan hingga abad 20 ketika mulai terbentuk Gewest (Daerah) Jawa Timur. Tepatnya pada 1928 diangkatlah seorang gubernur yang membawahi dan memimpin Daerah Jawa Timur. Tepat pada 1 Januari 1929 Daerah Jawa Timur ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Jawa Timur sesuai Staatsblad van Nederlandsch-Indie nr.298 van 1928, Artikel I. “…het gewest Oost-Java is een provincie… deze ordonnantie treedt in werking met ingang van 1 Januari 1929”, yang artinya “Daerah Jawa Timur adalah sebuah provinsi… peraturan ini berlaku mulai 1 Januari 1929).
Karena sudah resmi berbentuk propinsi, maka gubernur pertama Willem Charles Hardeman yang awalnya diangkat menjadi gubernur Gewest (Daerah) Jawa Timur pada 1 Juli 1928, selanjutnya menjadi gubernur Propinsi Jawa Timur pada 1 Januari 1929.
Ketika itu W.C. Hardermaan masih berkantor di gedung Karesidenan di Jembatan Merah. Ia menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur mulai 1929-1931. Baru pada 1929 kantor Gubernur Jawa Timur dibangun di Aloen Aloen Straat, kini jalan Pahlawan 110. Hardermaan tidak merasakan dan menikmati indahnya kantor gubernur baru di Aloen Aloen Straat. Namun namanya terukir pada prasasti yang hingga kini masih tertempel di dalam gedung.
Pada sekitar tahun 1933, gubernur Jawa Timur boyongan dari Kantor Karesidenan di Jembatan Merah ke kantor Gubernur di Aloen Aloen Straat. Sedangkan kantor Karesidenan dibongkar untuk akses jalan. Sejak itulah sistim Karesidenan Surabaya berakhir.@Nanang