Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Ruwatan Sukerto, Tradisi Peleburan Dosa Para Leluhur

Dalam melakukan upacara pangruwatan beberapa pantangan lainya yang harus ditaati atau tak boleh dilakukan ruwatan adalah orang yang sedang datang bulan, orang yang sedang hamil muda kemudian masa berkabung keluarga yang belum genap 7 hari.

REKAYOREK.ID Menghilangkan Sukerto (kejelekan) dalam tradisi Jawa, atau yang lebih dikenal dengan nama Ruwatan merupakan salah satu cara agar terhindar dari segala keburukan dan ketidakbaikan, maupun ke angkara murkaan nafsu manusia.

Tradisi ini sudah dikenal sejak jaman nenek moyang suku bangsa Jawa pada jaman dahulu kala, bahkan sebelum masuknya agama di tanah Jawa.

Tradisi yang dikenal dari kesukuan tanah Jawa ini merupakan salah satu warisan tradisi yang hingga kini masih terus di lakukan, tak hanya suku Jawa yang mengenal tradisi Ruwatan selama berabad abad yang silam, suku bangsa lainya-pun juga mengenal upacara tradisi Ruwatan, meski cara dan pelaksanaanya berbeda beda tetapi memiliki makna yang sama dengan tradisi Ruwatan yang ada di tanah Jawa.

“Tradisi Ruwatan sarat dengan makna kesadaran diri,” tegas Sri Sadhono, dalang ruwat yang juga menekuni ajaran Dharma.

Ruwatan sukerto sudah menjadi tradisi untuk melebur dosa. Foto: ist

 

Tradisi menghilangkan sengkolo dibagi menjadi dua bagian, tegas bapak yang juga memiliki putri seorang dalang bernama Ni Paksi Rukmawati. Menurutnya, dua bagian yang harus dimengerti dalam meleburkan sengkolo yaitu Ruwatan dan Sukerto. Keduanya merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran diri manusia kepada Sang Pencipta-Nya.

Ruwatan, merupakan bentuk upacara tradisi kesadaran diri akan adannya Tuhan penguasa alam semesta raya, kesadaran ini dalam falsafat jawa dikenal dengan nama “Eling Purwaning Dumadi” sadar akan Sang Maha Esa, sadar dengan adanya Sang Hyang Tunggal serta selalu ingat akan Tuhan.

Kehidupan manusia yang penuh dengan kesalahan, musibah serta banyaknya problem nafsu dan masalah hidup lainnya harus di sadari oleh umat manusia.

Manusia telah memiliki kodrat asal yaitu dosa yang di bawa sejak manusia lahir di jagad dunia ini. Dosa asal atau sengkolo menjadikan manusia mudah mendapatkan musibah, mudah mendapatkan kesalahan serta bernasib buruk yang tiada habis habisnya. Semua ini karena sengkolo yang dibawa manusia sehingga manusia mudah melupakan Tuhan Nya. Kesalahan dalam dosa yang telah rusak akan semakin di perburuk lagi dengan nasib buruk, untuk itulah Ruwatan dilakukan agar manusia semakin ingat dan terus ingat akan Tuhan penguasa alam semesta jagat raya. Jelas Sri Sadhono Among Rogo.

Tambah Sri Sadhono, Ruwatan menjadi warung alternatif guna memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia sadar akan dirinya, sadar dengan Tuhan Nya dan sadar dengan alam jagat raya di sekelilingnya. Agar tercipta sebuah keharmonisasian antara manusia, lingkungan sosial dan alam yang mampu menciptakan manusia agar lebih dekat dengan Tuhan Nya. Setiap saat setiap waktu di harapkan manusia akan terus merasa bersyukur kepada Tuhan agar alam tak menghukum umat manusia yang ada di dunia ini.

Alam merupakan bentuk kepanjangan tangan Sang Penguasa Alam, hal ini sering terjadi dengan banyaknya hukuman yang di timbulkan dari alam karena sifat keserakahan manusia. Hukum alam tak bisa di hindari, karena ini merupakan kodrat dari Tuhan. Alam akan memberikan hukum sebab akibat, alam akan mencurahkan kekuatanya penuh menghukum manusia apabila manusia tak menyadari telah merusak harmonisasi antara alam dan manusia, serta manusia dan Pencipta-Nya.

Sedangkan Sukerto yang berarti kekotoran atau dosa asal, dibagi menjadi dua bagian dalam Ruwatan. Sukerto besar ditandai dengan kelahiran ontang-anting (anak pertama), sendang ngapit pancuran (tiga anak bungsu dan sulung perempuan), uger uger lawang, kedono kedini, gotong mayit, pandawa (5 laki laki), Pandawi (5 perempuan).

Berbagai macam jenis kelahiran ini harus dilakukan Ruwatan agar manusia terhindar dari Sengkolo atau dosa asal.

Beberapa orang sedang mengikuti ruwatan sukerto. Foto: ist

 

Sedangkan Sukerto kecil ditandai dengan mudahnya manusia melakukan kesalahan, hidup salah, karakter buruk, sulit berbuat baik, serta mengalami sebel sial. Mereka yang sering mengalami nasib seperti ini harus dilakukan Ruwatan agar manusia merasakan kedekatan dirinya dengan Tuhan.

Selain ruwatan manusia, ruwatan juga bisa dilakukan terhadap tempat usaha, rumah, perkantoran maupun tempat tempat lainya yang memiliki jalinan dengan kehidupan manusia, sedangkan seseorang yang menjalani ruwatan hanya sekali dalam hidup.

Selain ditempuh dengan cara Ruwatan, beberapa cara lain juga bisa dilakukan untuk menghilangkan Sukerto, yaitu dengan empat cara, pertama membaca ayat ayat suci, kedua mendirikan sembahyang, ketiga Tapa broto ( menjalani laku), keempat Upacara ritual. Keseluruhan empat cara ini pada intinya menjadikan manusia ingat akan Tuhan Nya, agar manusia senantiasa diberi kekuatan serta di jauhkan dari segala godaan Nya.

Orang Sukerto dimungkinkan akan mengalami garis hidup musibah terus menerus, hidup tak lepas dari musibah, sehingga orang Sukerto perlu menjalani salah satu dari empat cara agar terhindar dari kejelekan. Orang Sukerto yang tidak diruwat berbeda dengan orang Sukerto yang di ruwat.

Mereka yang tak diruwat akan mengalami pengapesan pada saat mengalami kejadian seperti kecelakaan, yaitu tertolong, kurang tertolong atau tak tertolong.

Berbeda dengan orang yang telah diruwat, perubahan aura akan mampu membangkitkan energi positif, serta mengalirkan energi positif tersebut kedalam sirkulasi mengganti energi buruk. “Seperti sebuah hukum mistiscosmis, membentuk energi positif melalui doa dan upacara tradisi ruwatan sebagai sebuah cara menyalurkan membentuk aura positif,” jelas Sri Sadhono Among Rogo, bapak yang telah dikarunia 4 orang putra.

Sesaji dalam ruwatan

Sesaji yang ada dalam upacara Ruwatan bagi orang Jawa, ungkap Ki Sadhono, merupakan ungkapan doa ucap syukur atas karunia Tuhan yang telah diterima umat manusia, sehingga rangkaian sesaji ini secara keseluruhan merupakan hasil bumi.

Lebih lanjut dalang pangruwatan mengatakan, rangkaian sesaji tersebut diantaranya, polo pendem, padi, tebu dan masih banyak sesaji lainya yang merupakan hasil bumi serta sarat akan lambang kebajikan. Salah satunya adalah Janur, janur di artikan sebagai JA- pengetahuan dan Nur- Cahaya, sehingga memiliki arti sebagai pencerahan sebuah cahaya.

Selain janur terdapat juga Lilin dan dupa, lilin ini menggambarkan sebuah pengorbanan diri kita terhadap orang lain, sedangkan Dupa merupakan alat komunikasi keseluruh penjuru alam semesta atau “Bebrayan Agung “. Komunikasi ini merupakan jembatan antara manusia dan alam lain yang lebih universal.

Selain hasil bumi terdapat juga sesaji hewan berupa burung dara dan ayam jago, sesaji burung dara yang nantinya di lepas pada saat Ruwatan dilambangkan melepaskan nafsu hewani, sedangkan ayam jago di ibaratkan membunuh nafsu sombong.

Pagelaran wayang kulit menjadi media dalam ruwatan. Foto: ist

 

Namun yang pasti dari seluruh rangkaian sesaji sesaji ini yang paling pokok dan utama adalah pahala. Pahala di pergunakan manusia untuk melindungi diri dari segala godaan dan cobaan. “Pahala dari Tuhan akan di dapat manusia apabila manusia sering mendekatkan diri kepada Tuhan, sekaligus melakukan kebajikan-kebajikan,” terangnya.

Dalang Ruwat pada saat upacara Ruwatan hanyalah sebagai seorang pemandu ritual, Selain itu peran dalang juga sebagai seorang pemandu spiritual pada saat pembacaan ayat ayat suci tentang asal usul kehidupan umat manusia “Sangkan paraning Dumadi” dalam versi Jawa. Sedangkan mantram (mantera doa) yang dibaca dalam upacara ritual ruwatan merupakan hasil kesimpulan dialog budaya Hindu, Budha, Jawa dan Islam. Intisari dari keseluruhan ajaran agama tersebut luluh menyatu menjadi kulturisasi pedoman orang Jawa.

“Sebelum pelaksanaan upacara Ruwatan dilakukan, dalang pangruwatan beserta seluruh kru penabuh terlebih dulu harus melakukan puasa dan ngebleng tidak makan besar selama prosesi Ruwatan, hal ini untuk menjaga kesucian serta kesakralan upacara ruwatan sendiri disamping mensucikan seluruh kru pangruwatan agar tak di hinggapi rasa nafsu yang berlebihan,” tambah Sri Sadhono.

Jelasnya lagi, sesaat sebelum pelaksanan Ruwatan di mulai, dalang pangruwatan akan mensucikan seluruh kru melalui doa mantram yang di bacakan pada saat awal di mulainya Ruwatan, selain digunakan sebagai penyucian doa mantram, dengan sendirinya mantram itu akan menjadi sebuah pembersihan seluruh area yang akan menjadi tempat upacara Ruwatan dilangsungkan.

Beberapa kejadian aneh pernah dialami Ki Sri Sadhono pada saat akan memulai upacara Ruwatan, di atas rumah yang di gunakan sebagai tempat ruwatan tiba tiba terdengar ledakan dari atap, ledakan ini menurutnya, merupakan pen sirnaan sengkolo yang dikirim oleh orang lain di rumah yang dijadikan sebagai tempat pangruwatan. Untuk itulah doa penyucian seluruh yang ada di area pangruwatan wajib di lakukan agar Ruwatan berjalan lancar tak ada halangan satu apapun.

Pada saat dimulainya Ruwatan, para peserta Ruwatan akan di potong sedikit rambutnya sebagai bentuk penghilangan sebel sial, setelah dilakukan pemotongan baru kemudian di lakukan dengan upacara mandi bunga setaman atau mandi suci. Pada saat menyiramkan air setaman di atas kepala, dalang Pangruwatan akan mengucapkan mantram doa: Gusti Ingkang Maha Kuasa,  Gusti Ingkang Maha Pangapura, Gusti Ingkang Maha Mulyo.

Mantram ini sebagai bentuk penyucian pangruwatan, bahwa segala galanya hanya Tuhan lah Yang Maha Tunggal yang akan memberikan pengampunan atas dosa dan kesalahan kita.

“Sedangkan kekuatan mantram doa pangruwatan sendiri tergantung dari kualitas spiritualisnya. Seorang dalang apabila ingin menjadi dalang Pangruwatan, sekaligus mereka juga akan menjadi rohaniawan, karena akan memberikan pencerahan lewat ajaran luhur budaya dan tradisi serta berusaha menghilangkan nafsu duniawi agar lebih mendekatkan diri kepada Sang Pancipta Alam Semesta,” tegas Sri Sadhono.

Sanyasin, tegas Sadhono mengatakan, Sanyasin atau tak lagi berhubungan badan dengan istri merupakan salah satu jalan untuk mencapai kebersihan jiwa. Namun semua ini harus diketahui dan di sadari kedua belah pihak, antara suami dan istri agar tak menimbulkan perpecahan dalam keluarga.

Hal ini pun tak mudah dilakukan, harus pada tahapan usia tertentu seorang dalang pangruwatan menjalani laku kebersihan jiwa, agar mantram mantram doa memiliki kualitas spiritual yang kuat.

Kekuatan mantram doa ini pernah diuji oleh seseorang yang mencoba melakukan perbuatan tidak baik pada saat Ki Sri Sadhono menggelar upacara Ruwatan.

“Entah darimana datangnya, tiba tiba ada sesuatu yang menghantam dada pada saat membaca mantram. Hantaman tersebut hanya terasa panas sesaat,” kenang laki laki yang telah menjadi dalang Pangruwatan sejak 18 tahun yang silam.

Pelaku ruwat harus dimandikan kembang untuk menghilangkan kotor. Foto: ist

 

Beberapa hari kemudian setelah Ki Sadhono selesai melakukan ruwatan, tiba tiba dirinya didatangi seseorang yang meminta maaf kepadanya. Tak tahu apa kesalahan orang itu Ki Sadhono hanya memenuhi permintaan maaf orang tersebut. Sesaat sebelum orang itu pamit, dirinya menceritakan kelakuannya yang mencoba mengirim teluh pada saat Ki Sri Sadhono melakukan ruwatan.

Selain kejadian itu, kejadian aneh lainnya juga pernah dialami pada saat dirinya menggelar pangruwatan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Entah secara kebetulan atau ketidak sengajaan, seseorang mencoba mencemooh upacara pangruwatan yang telah diawali dengan doa mantram.

Nasib naas menimpa orang tersebut pada saat dirinya memarkir mobil, mobil tersebut tiba tiba jalan sendiri terperosok kedalam parit, padahal sebelumnya sudah direm tangan.

Dalam melakukan upacara pangruwatan beberapa pantangan lainya yang harus di taati atau tak boleh dilakukan ruwatan adalah orang yang sedang datang bulan, orang yang sedang hamil muda kemudian masa berkabung keluarga yang belum genap 7hari.

Larangan ini harus ditaati agar tak berujung pada kefatalan seseorang yang terkena mantram pangruwatan.

Mantram doa pangruwatan merupakan doa sakral yang dilantunkan dalam sebuah upacara tradisi Jawa yang dipadukan dengan berbagai gending karawitan jawa, sehingga mampu mendatangkan kesakralan mistis yang sangat kuat. Kekuatan doa ini mampu menangkal segala bentuk kebatilan serta ilmu hitam lainya yang berada di sekitar pangruwatan.@judiantoro

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...