Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Sejarah Perjuangan SMA Adam Bactiar Sebagai SMA Pertama Milik Republik Indonesia

Lahirnya SMA Asli Indonesia

Oleh: Indra Adil dan Deden Hermansyah

Prolog

KITA yang/sebagai generasi “Baby Boomer” penikmat kemerdekaan, sudah cukup mengetahui sejarah perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam merebut maupun mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi, tahukah kita bahwa dalam perjuangan tersebut ada percik-percik perjuangan para guru dalam mendirikan, membangun dan mempertahankan sekolah yang kelak di kemudian hari menjadi Soko Guru Pembangunan di negeri tercinta ini?

Di bawah ini kita akan menemukan betapa tidak mudahnya mendirikan sekolah berpredikat Indonesia di tengah-tengah gejolak perang kemerdekaan menentang penjajah Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Cikal Bakal SMA Negeri di Indonesia

Tercatat dalam sejarah SMA Negeri 1 Jakarta yang ditulis oleh Sani M Elias dalam “Sebuah Catatan Sejarah Tentang Ex Siswa SMA yang Bernama SMA Adam Bachtiar“. Tulisan ini dibuat untuk menyambut Re-uni Ke III SMA Adam Bachtiar Jakarta pada 25 Oktober 1986 yang kemudian dipersembahkan kepada Panitia Re-uni Akbar Pertama SMA Negeri 1 Jakarta yang dilaksanakan berbarengan dengan Re-uni Ke-VI SMA Adam Bachtiar Jakarta pada tanggal 31 Maret 1996 di Hotel Indonesia Jakarta.

Kemudian Purwoto S. Gandasubrata SH, mantan Ketua Mahkamah Agung Era Orde Baru yang sengaja membuat tulisan berjudul “SMA Adam Bachtiar/SMA Budi Utomo = SMA Republikan/SMA Perjuangan” yang dibuat khusus untuk menyambut Re-uni Akbar Pertama SMA Negeri 1 Budi Utomo Jakarta pada tahun 1996, bertepatan dengan Re-uni ke-VI SMA Adam Bachtiar.

Kedua tulisan ini sebagai suatu catatan sejarah yang dipersembahkan oleh Pelaku Sejarah itu sendiri, seusai dibuatnya tulisan “Sejarah Perjuangan SMA Adam Bactiar Sebagai SMA Pertama Milik Republik Indonesia” ini, akan diserahkan kepada SMA Negeri 1 Boedoet Jakarta.

Munculnya Sekolah-Sekolah Non Belanda

Tanggal 13 Maret 1942 balatentara Jepang menaklukkan Tentara Hindia Belanda di Indonesia. Sejak saat itu seluruh sekolah-sekolah Belanda ditutup dan didirikanlah sekolah-sekolah berbahasa Jepang (Chu Gakko). Di Jakarta didirikan 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu :
1. Sekolah Menengah Pertama Puteri yang berlokasi di Salemba, lalu
2. SMP Putera Pertama yaitu SMP 1 berlokasi di Prapatan dan
3. SMP Putera Kedua yaitu SMP 2 berlokasi di Manggarai. Selama 3,5 tahun pendudukan Jepang di Indonesia, ketiga sekolah inilah yang aktif.

Pada bulan Agustus 1945 kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang dijatuhkan Bom Atom oleh Amerika, maka Jepang langsung bertekuk lutut kepada Sekutu. Jepang takluk dan Belanda sudah hengkang, maka terjadi kevakuman kekuasaan di Indonesia.

Situasi kevakuman kekuasaan saat itu dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum’at Tanggal 17 Agustus 1945 dan keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 terbentuklah Pemerintahan Republik Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Dasar 45.

Maka terjadilah euforia kemerdekaan yang luar biasa melanda rakyat Indonesia tak terkecuali bahkan terutama di kalangan pemuda-pemudi Indonesia.

Sekolah-sekolah Jepang otomatis tutup dan membubarkan diri, maka munculah ide untuk mendirikan sekolah-sekolah bernuansa Indonesia atau Republiken. Saat itu disebut sebagai Sekolah Replik, kependekan dari Sekolah Republik.

Belanda kembali masuk ke Indonesia hendak menjajah melalui lembaga NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie) yang menumpang pada masuknya Sekutu ke Indonesia. Tentu saja bangsa dan rakyat Indonesia melawan.

Maka terjadilah Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Pendudukan Belanda kembali yang berlangsung sampai tahun 1949.

Akan tetapi patriot-patriot muda Indonesia pantang mundur, di samping banyak yang bergabung dengan pejuang-pejuang kemerdekaan dengan membentuk Tentara Pelajar (TP dan TRIP) yang kemudian berperang menghadapi Tentara Belanda, juga ada yang bertahan di kota-kota guna berjuang melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Indonesia.

Dari sinilah kemudian muncul istilah “Co” dan “Non Co“, yaitu “Cooperatif” dan “Non Cooperatif“. Yang “Co” bersekolah di Sekolah Belanda dengan fasilitas lengkap dan mewah untuk era tersebut sedangkan yang “Non Co” bersekolah di sekolah yang berkebalikan dengan segala kekurangannya mulai dari gedung, guru dan fasilitas pendidikan lainnya yang serba buruk.

Saat itu baru ada 3 SMP yang berlokasi di Jakarta sebagai Ibukota Negara yaitu SMPP (Puteri), SMP 1 dan SMP 2 yang ketiganya didirikan oleh Jepang dan kemudian ditutup setelah Jepang takluk pada Sekutu.

Ketiga SMP ini bergabung menjadi SMP Perjuangan dan selama era perang kemerdekaan menggunakan sebuah gedung bekas Dai Ni Chu Gakko untuk belajar di Manggarai. Saat itu yang menjadi Kepala Sekolah adalah Engku Sutedja. Guru-guru lainnya yang ikut mengajar saat itu adalah Engku Ardenun, Engku Garnadi, Engku Debataradja, Engku Topo, Engku Parno, Enci Isti dan lain-lain.

Luar biasa, meskipun dalam suasana perang menghadapi NICA (Belanda) di bulan Pebruari 1946, murid-murid SMP Perjuangan ini masih mampu menghadapi Ujian Akhir pada tanggal 6 Juli 1946, dan mendapatkan Ijazah SMP Negeri yang pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah RI.

Karena belum ada SMA Republik di Jakarta saat itu, maka atas inisiatif seorang guru, Engku Drs. Adam Bactiar (ayah alm. Prof. Harsya Bachtiar, mantan Ketua LIPI era Orba), didirikanlah Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang menggunakan lokasi gedung di seberang RS Cipto Mangunkusumo sekarang, yaitu yang kini menjadi Sekolah PSKD. Dibuatlah 4 kelas pertama yaitu Kelas 1 B/a diajar Engku Sumardi, Kelas 1 B/b diajar Engku Wachendorff dan Kelas 1 B/c diajar Engku Alim Sutan Maharadjo.

Ketiga kelas di atas adalah Kelas Ilmu Pasti disebut Kelas Bagian B. Kelas satunya lagi adalah Kelas Ilmu Sastera yang disebut Bagian A dengan gurunya Engku Sumardja. SMT ini kemudian berganti nama menjadi SMA (Sekolah Menengah Atas) dan dikenal sebagai SMA Adam Bactiar sebagai penghormatan kepada pencetus ide sekaligus Kepala Sekolah Pertama.

Kenapa digunakan istilah SMA? Engku Adam Bachtiar menggunakan istilah SMA adalah sebagai simbol perlawanan terhadap AMS (Algemene Middlebare Schooll) yaitu nama Sekolah Menengah Tinggi yang digunakan Pemerintah Belanda. Bukankah SMA adalah kebalikan dari AMS?

Guru lain yang mengajar di sini adalah Engku Arief, Enci Tirtaamidjaja, Engku Sutopo dan Engku Djamaloes, yang dikenal dengan bokong besar dan matanya yang selalu melirik-melirik kian kemari. Engku Djamaloes belakangan dikenal sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Boedoet sejak Awal Orde Baru tahun 1967, di tengah-tengah bergejolaknya Pasca G 30 S PKI dan demonstrasi terhadap Orde Lama.

Saat itu Wakil Kepala Sekolahnya seorang Keturunan Tionghoa, Bapak Gunawan yang lembut dan santun serta dicintai murid-muridnya karena kebaikan hatinya.

Duet antara Ketegasan Djamaloes dan Kelembutan Gunawan mampu mengelola murid-murid yang keras dan brutal akibat warisan revolusi sosial dan politik 1966, yang timbul akibat kegagalan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Bravo!

Pada tanggal 9 Juli 1947 terlaksanalah kenaikan kelas pertama kali dari Kelas 1 ke Kelas 2. Ingat, pada saat itu SMA Adam Bachtiar adalah satu-satunya SMA Republik yang ada di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Selebihnya adalah Sekolah Menengah Tinggi (AMS) milik Belanda yang mulai kembali menancapkan kukunya melalui NICA di Indonesia.

Tetapi kenaikan kelas ini tidak dinikmati lama (hanya beberapa hari saja) oleh para murid SMA Adam Bactiar, karena Belanda melancarkan aksi militernya pada tanggal 21 Juli 1947 yang mereka beri nama “Politionele Actie“. Jakarta direbut Belanda meskipun masih ada gedung-gedung yang dalam penguasaan Republik, sementara Ibukota Negara RI dipindahkan ke Jogyakarta.

SMA Adam Bactiar Menjadi Sekolah SMA Perjuangan

Dalam situasi perang kemerdekaan yang Belanda namakan “Politionele Actie“, sebagian para pejuang RI melakukan “Longmarch” atau hijrah ke Jogyakarta yang dimotori oleh Pejuang-Pejuang Jawa Barat dari Bandung setelah Bandung sebelumnya dibumi hanguskan dulu (Bandung Lautan Api).

Gedung tempat belajar SMA Adam Bactiar di Salemba, disita oleh Pemerintah Belanda dalam rangka menghapus lembaga-lembaga pendidikan Republiken. Diharapkan dengan demikian pelajar-pelajar Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah Belanda kembali.

Memang cukup banyak siswa-siswa maupun guru yang kembali bersekolah di sekolah Belanda dengan alasannya masing-masing, tetapi tak kalah banyak pula yang tetap setia kepada Republik dengan tetap bersekolah di sekolah Indonesia.

Sungguh menggetarkan perjuangan guru-guru dan murid-murid SMA Adam Bachtiar dalam menghadapi tekanan dan teror Belanda terhadap mereka. Karena tak ada gedung tempat belajar, untuk sementara mereka melakukan jeda belajar sambil memikirkan jalan keluar dari kendala yang sangat besar itu.

Di bawah pimpinan Adam Bachtiar beberapa guru di antaranya Prof. Dr. Bahder Djohan, Wachendorff, Sutedja, Prof. Iman Santoso dan lain-lain mendirikan SMA Sore dengan cover dari Yayasan PMIK di Salemba 33. Sebagian besar murid Kelas 2 Bagian A masuk ke sana, di mana mereka dapat menempuh Ujian Penghabisannya lebih cepat yakni di tahun 1948 dan hebatnya semua lulus.

Sementara pelajar-pelajar Kelas 2 dan 3 Bagian B akibat ketiadaan gedung serta ancaman-ancaman dari pihak Belanda, atas prakarsa Adam Bachtiar dan rekan-rekannya juga membentuk Sekolah Gerilya yang dikenal dengan nama Huis-Onderwijs (Belajar di Rumah). Seluruh pelajar dibagi dalam regu-regu berdasarkan Rayon (wilayah tempat tinggal) masing-masing dan menyerahkan sepenuhnya tempat berkumpul kepada kelompok Rayon.

Masing-masing kelompok Rayon menunjuk Wakil yang akan diajar langsung oleh Guru Kelas di rumah-rumah Guru bersangkutan. Wakil Kelompok ini kemudian mengajarkan kembali pelajaran yang didapat dari guru kepada teman-teman sekelompoknya. Jadi seperti Pengajaran Berjenjang atau Pengajaran Ketok Tular.

Sebagian dari Pelajar Kelas 2 Bagian A ada juga yang ikut ke “Huis-Onderwijs” atau “Sekolah Gerilya” yaitu Adil Yahya, Bushra Arifin, Irwan Sumarni, Amalia Sugiah, Henny Kartajumene, Halidjah, Kurniasih, Isnaniar Idris, Rosalina Idris, Chadidjah Soleh (Ny. Mochtar Kusumaatmadja) dan Suryani Warkman.

Pergulatan SMA Adam Bactiar Menghadapi Tekanan dan Teror Belanda

Di sinilah sungguh-sungguh dirasakan suatu perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain yang menuntut ketahanan fisik dan mental bagi semua pihak baik guru maupun murid yang terlibat secara langsung yang pasti sangat sulit untuk bisa dirasakan oleh generasi-generasi akhir zaman saat ini.

Suatu bukti perjuangan ikhlas untuk mempertahankan dan menegakkan nama Republik Indonesia khususnya di bidang Pendidikan Menengah di Jakarta, yang ketika itu penuh dengan pergolakan yang dahsyat dan godaan- godaan, yang hendak menghilangkan Jiwa Republikein di sini.

Mungkin masih teringat dibenak yang hadir saat re-uni, betapa suatu sistim pendidikan telah dijalankan mengikuti derap langkah revolusi, yang dilaksanakan dengan penuh kesukaran dan penderitaan.

Betapa tidak, bayangkan saja bahwa setiap wakil pelajar harus siap dengan sarana yang dimilikinya, biasanya dengan sepeda atau berjalan kaki. Kemudian harus mendatangi guru-guru yang akan memberikan mata pelajarannya masing-masing pada pagi harinya serta berkumpul pada sore harinya dengan seluruh anggota regunya di suatu tempat yang mereka tentukan bersama. Di situ ia sendiri harus dapat bertindak dan mampu sebagai guru dengan memberikan pelajaran masing-masing kepada regunya.

Hal inilah barangkali yang tidak mungkin dapat dicerna atau dipercaya oleh anak-anak sekarang, betapa sampai demikian hebatnya dalam memperjuangkan eksistensi SMA ADAM BACHTIAR yang telah dilakukan oleh murid-muridnya yang kini menjadi manusia-manusia manula.

Coba bayangkan apabila salah satu Wakil Pelajar pada satu hari tidak bisa hadir ke tempat guru yang sudah ditentukan karena sesuatu hal misalnya sakit, maka pada hari itu seluruh anggota kelompoknya tidak mendapatkan pelajaran hari itu.

Tetapi begitulah perjuangan. Semua kesulitan dan hambatan tersebut menjadi hikmah di kemudian hari. “Door schade en schande wordt men wijs“. Terjadilah hubungan yang bertambah mesra antara para pelajar pejuang yang terlibat sehingga hubungan di antara mereka seakan tak lekang kena panas dan tak luntur kena hujan.

Re-uni Ke VI SMA Adam Bachtiar yang bersamaan dengan Re-uni Pertama SMAN 1 Budi Utomo saat itu adalah bukti nyatanya.

Pergulatan Perjuangan Tetap Berlangsung di Tengah-Tengah Perjanjian Perdamaian yang Terjadi Silih Berganti

Kembali kepada sejarah pergulatan mempertahankan SMA satu-satunya milik Indonesia (dikenal juga sebagai SMA Replik atau Republik), murid-murid militan bersama dengan guru-guru yang jantan, tetap bertekad bersama untuk melawan ketidak adilan pendidikan yang diterapkan Pemerintahan Belanda saat itu.

Pertarungan antara Pemerintahan Indonesia yang kukuh mempertahankan Kemerdekaan yang sudah diproklamirkan dengan Pemerintahan Belanda yang juga bersikukuh ingin menjajah kembali, berlangsung ketat baik di bidang Diplomasi maupun di bidang Militer.

Kedua bidang Kenegaraan yang fital ini, berulang kali berganti-ganti pemenang. Keamanan dan Kenyamanan tentu saja menjadi barang mahal saat itu. Namun murid-murid dan guru-guru SMA Adam Bactiar tidak pernah terkalahkan, mereka juga tetap berjuang dalam penderitaannya.

Dalam pada itu waktu tetap berjalan terus. Persetujuan di bidang Politik antara Ri dan pihak Belanda yang dimulai dengan Persetujuan Linggar Jati, kemudian Renville, Roem Rooyen dan akhirnya membawa ke meja perundingan KMB di Den Haag, maka membawa pula perubahan perubahan keadaan dan situasi di Jakarta.

Huis-Onderwijs yang telah berjalan sejak 1947 sampai 1948 akhirnya dapat ditingkatkan dengan apa yang dinamakan SMA Pagi, karena adanya SMA Sore. Pelajar-pelajar Kelas 3 B telah dapat menamatkan pelajarannya di tahun 1948 sebagai hasil dari Huis-Onderwijs tersebut. Sedangkan murid-murid Kelas 2 dapat dinaikkan ke Kelas 3 semuanya.

Lulusan Lichting 1948, sebagai hasil dari sistim Huis-Onderwijs ini dapat mengadakan Malam Perpisahan yang dilaksanakan di Gedung Adhuc Stat atau Loge Gebouw di Taman Surapati (dulu Nassau Boulevard), di mana sekarang berdiri Gedung BAPPENAS. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Juli 1948.

Suka Duka Belajar di Bedeng Adam Bachtiar

Meskipun karena perubahan-perubahan Politik Pelajar-Pelajar Republik diijinkan kembali bersekolah seperti biasa, tetapi karena tidak tersedianya Gedung Sekolah, maka dibangunlah sebuah bedeng di belakang Rumah Engku Adam Bactiar di Jalan Gondangdia Lama Nomor 22.

Bedeng tersebut berdinding bilik dan beratap rumbia serta berlantaikan semen, dilengkapi dengan meja-meja panjang dan kursi dari kayu Durian yang sangat sederhana penampilannya. Bila turun hujan, maka para murid bersilintang-pukang mencari tempat-tempat yang tidak bocor. Kadang berhimpitan bahu di antara murid-muridnya.

Tetapi di samping duka yang menggembirakan seperti kebocoran yang membuat huru-hara selagi hujan menumpahkan air matanya, ada juga kegembiraan lain yang menerbitkan air liur, usah berpikir menyimpang karena ini berkaitan dengan kuliner, istilah modernnya.

Sesekali orang dapur Engku Adam Bachtiar memasak Rendang, Masyaa Allah, harumnya itu serasa menempel di hidung kita.

Bau harumnya itu menutupi udara di atas kepala kita yang menjalar ke seluruh sudut-sudut ruangan kelas bedeng tersebut. Seluruh murid tersenyum-senyum membayangkan menikmati makan siang dengan Rendang.

Akan tetapi bila dapur Engku Adam Bachtiar sedang mengolah Sambal Lado, maka ruang kelas bagaikan tempat Pesakitan Penderita TBC, bersin dan batuk terdengar silih berganti bak berada di Sanatorium.

Keramaian ini tiba-tiba dikejutkan dengan keramaian dentuman roda KA dengan rel yang dilaluinya, maklum di belakang rumah Engku Adam terbentang rel KA yang memanjang bagai tak bertepi.

Bagi murid-murid nakal, situasi itu bagai arena permainan tempat menjahili teman sekelas, bahkan teman sebangku sekalipun. Yang konyol adalah bila kebetulan Engku Adam sakit, dan beristirahat di kamarnya. Tak satupun murid berani ribut karena wibawa Engku Adam Bachtiar.

Tapi, bagi murid-murid nakal ini, hal itu tidak memampetkan akal jahil mereka. Mereka menyusun batu koral di pinggir jendela kamar Engku Adam dengan tulisan lengkap: “de stenen spreken” yang membuat pembacanya tersenyum kecut.

Dalam situasi ini, beberapa guru yang masih diingat sebagai Pengajar Setia di samping Engku Adam adalah Engku Sutedja, Engku Gunara, Engku Afius, Engku Sutopo, Enci Abdurrahman, Ustadz Ali Alhamidi, dr. Sumantri, Engku Busjro Zahir, Engku Wahyudi dan beberapa lainnya. Sungguh tak dapat dinilai dengan kata-kata pengabdian mereka untuk pendidikan di negeri tercinta ini. Pengabdian yang telah menghasilkan pemimpin-pemimpin formal bangsa ini di saat kini.

Penutup

Satu tahun lamanya Sekolah Darurat itu berlangsung yang dengan kesederhanaannya mampu bertahan berkat keuletan dan kekuatan mental para pendidiknya termasuk murid-muridnya.

Tanggal 16 Juni 1949 genaplah pelajaran yang diberikan secara klasikal oleh Sekolah Darurat tersebut. Tiba waktunya untuk murid-murid SMA Pejuang ini menyiapkan diri untuk Ujian Penghabisan yang diselenggarakan pada bulan Agustus di Perguruan Cikini dan Perguruan Rakyat yang berlokasi di SMA Sore di Jalan Salemba Nomor 33.

Maar heelaas, rupanya dalam ujian ini banyak juga yang kejungkal alias tidak lulus “willen zonder pardon derop of deronder willen of niet“, dan kenyataan ini harus diterima meskipun pahit.

Lain halnya dengan murid-murid dari Lichting 1948 yang ternyata tiada seorangpun yang harus “doubleren” (mengulang). En warempel, het grootste gedeelte van de meisjes, ternyata yang mengalami nasib yang sama dengan ogut (penulis yaitu Sani M. Elias), kemudian terpaksa harus mengulang lagi.

Mereka yang berbahagia atau yang lulus menjadi studen-studen dari Perguruan Tinggi yang ada di Jakarta, yang murni Republikein, dan ada pula yang ke THS Bandung (Alm. Arif Uwen, Eka Suriaatmadja, Didih Wijayakusumah, Achmad Prijono) dan dapat diterima dengan ijazah dari Badan Koordinasi Perguruan Partikelir dengan Ketuanya Drs. Adam Bachtiar dan Penulis Panitia Ujian Sutedja (Oktober 1949).

Hal ini dimungkinkan karena suasana politik sudah agak mereda dengan tengah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sementara mereka yang telah menamatkan AMS, VHO atau sejenisnya masuk ke Universiteit van Indonesia di Jakarta dengan Fakultas-fakultasnya: Kedokteran, Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, di Bogor dengan Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan, di Bandung dengan Fakultas Teknik serta pula Fakultas Ekonomi di Makasar. Ada juga yang melanjutkan sekolah ke Luar Negeri, atau memilih suatu pekerjaan sehingga dapat langsung membaktikan Dharmanya di negeri sini.

Mereka yang terpaksa “doubleren” tidak lagi menggunakan Sekolah Darurat tetapi alhamdulillah telah belajar di Gedung SMA di Jalan Budi Utomo yang kini menjadi SMA Negeri I.

Gedung tersebut adalah Gedung bekas Prince Hendrik School yang didirikan pada tahun 1889 dan pernah digunakan untuk HBS Batavia pada tahun 1919.

Dengan berakhirnya “Huis-Onderwijs” ini, berakhirlah pula penggunaan nama SMA Adam Bachtiar sampai di situ.

SMA di Jalan Budi Utomo ternyata dikepalai oleh Engku Wachendorff sedangkan Engku Adam Bachtiar ditunjuk oleh Pemerintah RIS menjadi Kepala Sekolah Tinggi Pendidikan Guru (sekarang IKIP) di Malang. Doubleren di SMA Budi Utomo ini berlangsung dari tanggal 16 Januari 1950 sampai tanggal 16 September 1950.

Sebagaimana diketahui, baru setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 maka perguruan tinggi-perguruan tinggi ini disatukan, dan menjadilah Universitas Indonesia.

Di kemudian hari masing-masing Perguruan Tinggi ini berdiri sendiri di kota masing-masing menjadi Universitas Hasanuddin (1956) di Makasar, Institut Teknologi Bandung (1958) dan Institut Pertanian Bogor (1963).
BRAVO SMA-SMA se Indonesia!!! @

Catatan Reuni SMA Adam Bachtiar:

Reuni I – 3 Januari 1976.
Reuni II – 23 September 1978.
Reuni III – 25 Oktober 1986.
Reuni IV – 29 September 1988.
Reuni V – 25 Juli 1991.
Reuni VI SMA Adam Bachtiar bersamaan dengan Reuni Akbar SMA Negeri 1 Jakarta yang Pertama Kali di Hotel Indonesia pada tanggal 31 Maret 1996.

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 sejak berdirinya s/d Tahun 1995:

1. Drs. Adam Bachtiar 1946 – 1950.
2. F. Wachendorff 1950 – 1951.
3. R. Soetedja 1951 – 1956.
4. Soepardo SH 1956 – 1957.
5. Ong Pak Kiat 1962 – 1963.
6. Ghazali Dunia 1964 – 1967.
7. Djamaloes 1967 – 1974.
8. Drs. Joelioes Yoesoef 1974 -1980.
9. J. H. Lesilolo 1980 – 1981.
10. Drs. N. T. Padidi 1981 – 1987.
11. E. Pakpahan 1987 – 1988.
12. Djoko Sudibjo 1988 – 1989.
13. Asrul Khatib 1989 – 1992.
14. Drs. M Yunan Abdullah 1992 – 1995.

Komentar
Loading...