Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Sekilas Sejarah Pemberontakan Kartosoewirjo

REKAYOREK.ID Sudah beberapa kali kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melakukan aksi pemberontakan dan teror. Bahkan dua kali kelompok ini melakukan percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. peristiwa paling berkesan saat meledakan bom di perguruan Cikini, serta aksi pelemparan granat saat Presiden sholat Id. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dikenal salah satu gerakan radikal yang dilahikan pasca proklamasi kemerdekaan dan agresi Belanda.

Aksi pembangkangan kelompok ini paling panjang dalam sejarah Indonesia. Durasi konflik antara DI/TII dan Pemerintah berlangsung selama 13 tahun (1949-1962). Bahkan menurut versi orang-orang DI/TII, perlawanan masih berlangsung hingga saat ini dengan berkamuflase menjadi gerakan bawah tanah NII.

Dalam sejarahnya, kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia sebagian besar berasal dari laskar Hizbullah dan Sabilillah. Kelompok ini ikut berjuang bersama melawan militer Belanda bersama TNI sejak perang 10 November di Suranaya dan perlawanan Agresi Militer pertama. Benih-benih permusuhan baru muncul pada awal 1949.

Saat itu terjadi pertemuan antara SM Kartosoewirjo dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni. Pertemuan terjadi lantaran para tokoh ini menentang Perjanjian Renville. Mereka menganggap perjanjian tersebut tidak melindungi warga Jawa Barat. Kartosoewirjo langsung memerintahkan anak buahnya untuk memerangi para prajurit TNI yang pulang kandang ke Jawa Barat akibat bubarnya kesepakatan Perjanjian Renville.

Eskalasi penentangan itu semakin memuncak saat Kartosoewirjo mendeklarasikan berdirinya negara Islam yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh dirinya sendiri. Dicetusnya NII ini menjadi bentuk protes Kartosoewirjo kepada pemerintah Indonesia yang dia anggap terlalu lemah. Pengaruh dari Kartosoewirjo semakin membesar setelah ia mendirikan angkatan bersenjata untuk NII yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Tujuan TII untuk memerangi pasukan TNI agar bisa memisahkan diri dari negara Indonesia.

Kartosoewirjo yakin semua masalah kenegaraan bisa diatasi jika menerapkan syariat islam. Tujuan lainnya untuk mengatasi dominasi sistem politik komunis dan ideologi sosialisme yang mulai terlihat dalam pemerintahan Soekarno. Gerakan NII pun semakin berkembang setelah mendapatkan dukungan dari daerah-daerah yang juga kecewa terhadap Indonesia. Pembentukan negara boneka oleh Belanda membuat kontrol negara Republik Indonesia sangat lemah. Negara-negara bagian bentukan tersebut menganggap perlu membuat pemerintahan sendiri dengan kearifan lokal masing-masing.

Atas sikap keras kepala Kartosuwiryo dan beberapa kali melakukan aksi berbayaya terhadap presiden, maka dikeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan tentang penumpasan DI/TII. Salah satu dengan menerjunkan pasukan Kodam Siliwangi dan menerapkan taktik Pagar Betis.

Taktik Pagar Betis ini dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII. Tujuan lain dibentuknya Pagar Betis yaitu untuk mempersempit ruang gerak DI/TII. Selain itu juga dilakukan operasi Brata Yudha. Operasi ini dibentuk untuk menemukan tempat persembunyian sang imam NII, Kartosoewirjo.

Selekah pelaksanaan eksukusi mati, dilakukan sholat jenasah imam NII Kartosoewirjo dilakukan anggota TNI. Foto: net

 

Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya mencari Kartosoewirjo berhasil ditangkap Letda Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi. Tertangkapnya Kartosoewirjo ini bukan menjadi akhir perjalanan pemberontakan DI/TII. Sebab laskar ini berkembang biak dalam berkamuflase dalam bentuk lain yang selalu membuat repot siapapun pemimpin republik.

Salah satunya bentuk perlawanan pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh, dimulai pada 20 September 1953. Daud Beureueh dan kelompoknya menuntut untuk diberikan hak otonom untuk Aceh.

Dalam buku Gerakan Aceh Merdeka tulisan Neta S Pane menyebutkan, ada 4 ulama besar di Aceh atas nama ulama seluruh Aceh, yakni Daud Beureueh, Hasan Krueng Kale, Djafar Sidik Lamjabat, dan Hasballah Indrapuri. Mereka sepakat menyatakan “berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno”. Dalam maklumat yang dikeluarkan ulama besar Aceh dan disebarkan ke masyarakat luas disebutkan, “Mempertahankan Republik Indonesia adalah Perjuangan Suci dan diyakini sebagai Perang Sabil”.

Kiprah Daud tak hanya di situ. Tahun 1946, Daud mengimbau agar seluruh rakyat Aceh membeli obligasi nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Sumatera. Obligasi tersebut berharga Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000 per lembarnya. Obligasi inilah yang nantinya dijadikan sebagai modal awal oleh pemerintah Soekarno-Hatta.

Tingginya keterlibatan Daud dalam revolusi fisik di awal kemerdekaan membuat dia dipercaya Presiden Soekarno sebagai Gubernur Militer Aceh, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Pengangkatan ini dilakukan menjelang agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Kekuasaannya mencakup wilayah militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.

Namun hubungan retak dengan Sukarno karena tidak bisa menepati janji yang telah “diikat” dengan air mata hingga Sang Presiden meninggal dunia. serta Faktor lain saat Daud Beureueh dicopot sebagai Gubernur Milier Aceh. Alasannya, hendak dipindah menjadi pejabat tinggi di Departemen Dalam Negeri di Jakarta.

Semula, sejak jabatannya dicabut oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, Daud tenang-tenang saja. Ia kembali ke desanya dan hidup seperti pensiunan umumnya. Namun, ketika melihat Soekarno makin menyimpang dari janji semula, Daud menjadi sangat kecewa. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh berkata, ”Sudah ratusan tahun syariat Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syariat Islam di Aceh”. Sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh dan Daud Beureueh menjadi motor penggerak perlawanan terhadap Soekarno.

Perlawanan sengit itu dimulai Daud Beureueh ketika Kabinet Ali-Wongso terbentuk pada 1 Agustus 1953. Kabinet ini dipimpin Perdana Menteri Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI dan wakilnya Mr Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR). Dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta. Tapi Nahdlatul Ulama(NU) dapat jatah kursi untuk ikut duduk dalam kabinet.

Ini terjadi, tiga tahun setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar dan kembali menjadi RI. Dengan semangat yang membara pada September 1953, Daud Beureuch memaklumatkan Negara Islam Indonesia. Dengan mendapat dukungan oleh mantan anggota PUSA dan banyak kalangan militer, Daud memimpin pemberontakan melawan Jakarta. Pada 21 September 1953, ia mendeklarasikan Aceh akan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang sudah dibentuk sebelumnya di Jawa oleh Kartosuwiryo.

Pasukan militer yang dikirim Jakarta dengan cepat dapat menguasai kembali kota-kota Aceh, namun perlawanan itu meluas sampai 1959. Untuk meredakan perlawanan, pemerintah pusat mengirim M. Natsir ke Aceh. Saat itulah tercapai persetujuan damai, di mana Aceh disepakati akan menjadi provinsi tersendiri dengan status “Daerah Istimewa,” dengan hak untuk memberlakukan syariat Islam.

Daud sendiri tidak kembali dari basis gerilyanya sampai 1962. Daud akhirnya mendapat amnesti, namun ia tetap sangat kritis terhadap pemerintah pusat. Di masa damai, Pemerintah ingin memberi rumah untuk Daud, namun tokoh yang biasa hidup sederhana itu menolak. Daud meninggal dunia di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun.@abd

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...