Titik Nadhir #16
Diajak Kencan Bule Cantik
Oleh: Noviyanto Aji
Setelah peta kupegang, kami langsung memacu motor. Mencari Kuta ternyata tak sesulit yang kami kira. Dengan mengikuti petunjuk, kami akhirnya berhasil menemukan Kuta.
Namun untuk mencari lokasi pantai, kami masih harus berputar-putar di sepanjang jalan Legian.
Dimulai dari arah utara, kami berjalan pelan-pelan, sangat pelan. Mata mengawasi ke sana kemari. Melihat wanita-wanita cantik mengenakan pakaian ketat dengan dada montok dibusungkan ke depan, serta beberapa tampak mengenakan celana pendek sehingga paha mulusnya menjadi tontonan gratis, seketika darah muda kami mendidih.
Pun bertaburannya bule-bule cewek di sepanjang trotoar, membuat penasaranku tergoyahkan untuk bercakap-cakap dengan mereka.
Kami sempat berhenti ketika melintasi sebuah monumen di pinggir jalan. Monumen tersebut dibangun pasca bom Bali I. Puluhan nama korban bom Bali terpampang berurutan. Satu persatu kami bacai nama-nama tersebut. Tak ada yang kenal. Jadi ini yang namanya Legian, aku terhenyak.
Aku mengamati sekitarnya. Kondisinya sudah pulih total, meski di sana sini masih butuh banyak pembenahan. Tidak ada sisa-sisa ledakan. Bekasnya pun sudah hilang.
Rupanya pengalaman 2002 lalu tidak lantas membuat warga Bali larut dalam kesedihan. Pembangunan demi pembangunan dipercepat sehingga dalam waktu singkat kondisi Legian berhasil dikembalikan ke bentuk aslinya.
Memang sejak tragedi Bali, jumlah wisatawan yang berkunjung menurun. Namun belakangan Bali kembali dipadati wisatawan domestik maupun manca.
Setelah puas melihat-lihat lokasi pengeboman, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai. Dari kejauhan pemandangan pantai serta deburan ombak mengejek kami untuk menghampirinya. Lagi-lagi kami terpaksa melambatkan motor, selain jalanan jalanan yang berdesak-desakan, mata kami tertuju pada ribuan orang yang memadati kawasan pantai. Semua nyaris telanjang.
Para lelakinya bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek. Para wanitanya mengenakan bikini. Kami ibaratkan bidadari-bidadari terjun dari langit, di mana kemolekan tubuhnya diumbar dan menjadi santapan mata-mata bengis dan kejam.
Sebuah pemandangan indah yang mencekam gairah kemudaan kami.
Bagi mereka mungkin biasa, bagi kami justru itu pengalaman baru. Khusus bule wanita, mereka tampak cuek berjemur di pinggir pantai, berjejer-jejer bak ikan salmon. Kami tak sabar ingin mendekat.
Buru-buru motor kami parkir.
Saat memasuki kawasan pantai, beberapa orang silih berganti memandangi kami seolah kami obyek yang aneh. Jadi ini pantai Kuta, untuk kesekian kalinya aku terhenyak.
Sayang, semua pemandangan indah di hadapan kami bukan sesuatu yang wah lagi. Sebab hati kami sudah terlanjur dikotori kekecewaan. Biar bagaimana kami harus memaksakan diri. Setidaknya pemandangan bule-bule wanita yang berjemur, sedikit banyak mengobati penderitaan kami.
Mataku terbelalak mengawasi gerak-geriknya. Apalagi ketika mereka membenahi bikininya, bra copot atau celana dalamnya melenceng dari posisi pantat.
Tentu ini mempengaruhi pandangan kami tentang budaya orang-orang manca. Budaya telanjang sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Seorang bule cewek mendekatiku. Dia di sebelahku. Hanya mengenakan bikini. Duduk di pasir. Tidak takut pantatnya kotor dengan pasir.
“Are you from here?” Tanya bule itu.
“No, we just visit. We are from Surabaya.”
“What are you doing here?”
“Just enjoy the sunset,” jawabku.
Aku dan dia terlibat obrolan seru. Sementara Yoga hanya mengawasi lekuk-lekuk tubuhnya.
Dia mengenalkan namanya.
“I am Selin,” seraya menyodorkan tangan.
“Ali. And this is Yoga.” Kami ulurkan tangan menyambut.
Selin benar-benar bule cantik. Dia seperti model. Masih muda. Rambutnya pirang sebahu. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Tapi Selin tidak mengesankan bule-bule umumnya. Mungkin karena terlalu banyak berjemur di pantai.
Entah mengapa saat itu Selin tiba-tiba duduk mendekatiku. Sebenarnya aku agak kaku berbicara dengan perempuan. Apalagi dengan bule. Bahasa Inggrisku belepotan. Maklum sudah lama aku tidak melatih kemampuan berbahasa Inggris. Selepas kuliah dari Sastra Inggris, banyak istilah-istilah asing tidak kupahami.
Dulu sewaktu di kampus aku sering berbahasa Inggris dengan seorang native speaker. Malah aku pernah tergabung menjadi anggota British Council. Tapi itu dulu, sekarang keadaannya lain. Jangankan mengucap sepatah kalimat, menentukan satu kosa kata saja sulitnya minta ampun.
Syukurlah Selin mengerti kondisiku. Dan dia tetap bersedia kuajak berkomunikasi.
“Selin, where do you come from?” Tanyaku basa basi.
“Australia,” jawabnya tersenyum.
Aku ikut tersenyum. Dan dia balik memandangku.
“You’re sweet.”
Aku langsung kaget mendengar kata-katanya. Waduh, baru kali ini aku dipuji.
“Thank you. And you too, pretty,” balasku.
Selin tersenyum sembari lengannya menyenggol lenganku. Kami seperti sudah lama kenal. Sepertinya Selin malu kupuji cantik.
Sementara Yoga hanya tersenyum tanpa tahu apa yang sedang kami bicarakan.
“After this, what are you doing?” Tanya Selin.
“I don’t know. We can’t stay here for a long.”
“You can join with me?”
“Join in where?” Tanyaku balik.
“Just drink, maybe.”
“Hmm, I don’t know.”
Aku bingung menjawab tawaran minum Selin. Kulirik Yoga. Dia manggut-manggut seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Come on, Al. Just one night,” Selin seperti mengiba.
“What about my friend, Selin?” Aku mengarahkan pandanganku ke Yoga dan balik ke Selin.
“I have a friend too. She is in hotel right now.”
Tanpa menunggu jawabanku, Selin lantas berdiri di hadapanku. Posisi badannya yang nyaris telanjang itu bergerak ke depan dan berbalik menghadap ke wajahku. Ah, pemandangan itu benar-benar indah.
“Just wait here, I’ll be back,” Selin lantas pergi ke pantai dan membawa papan selancarnya.
Melihat ombak menggulung-gulung, Selin langsung menceburkan diri sembari berbaring di atas papan selancar. Kedua tangannya diputar-putar sebagai pengganti kayuh. Sejurus kemudian dia sudah berada di tengah-tengah laut. Duduk di atas papan selancar, menunggu ombak yang pas untuk menggiringnya.
Sementara aku termenung memikirkan jawaban untuk Selin.
“Dia bilang apa, Al?” Yoga bertanya penasaran.
“Dia mengajak kita minum. Dia juga punya teman cewek di hotel.”
“Berangkat.”
Ah, dasar Yoga. Tidak bisa melihat perempuan cantik.
Sementara di pinggir pantai, kulihat seorang beach boy–julukan anak pantai yang mengais rejeki dengan menyewakan papan selancar–mendekati kami.
Lelaki ini berkulit hitam legam dan bertubuh atletis mendekati kami. Dengan ekspresi kecewa, ia meletakkan papan surfingnya di samping kami.
“Maaf Mas, numpang istirahat, soalnya panas sekali,” sapanya.
Entah kenapa tiba-tiba lelaki itu curhat pada kami. Katanya, seharian ini bisnisnya tidak lancar. Hari ini dia cuma menyewakan satu papan seluncur. Rata-rata sewa papan selancar Rp 50 ribu per jam. Tergantung penyewanya, kalau turis asing dipatok harga tinggi. Kalau turis domestik dikasih murah.
“Tapi sekarang banyak turis manca yang pintar-pintar. Ketika dikasih harga tinggi, mereka malah menawar dengan tarif murah. Belum lagi kami harus membayar uang sewa tempat ini 10 juta setahun,” keluhnya.
Andik, begitu namanya, mengaku sudah 20 tahun menjadi beach boy. Yang mengejutkan kebanyakan para beach boy berasal dari Jawa yakni Malang, Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Probolinggo.
Orang asli Bali, katanya, hanya segelintir saja yang berprofesi seperti dia.
Andik sendiri berasal dari Banyuwangi. Hal ini kami ketahui saat bercakap-cakap dia menggunakan dialek Jawa.
Soal kemampuan berbahasa Inggris jangan ditanya, pun bahasa Jepangnya. Rata-rata para beach boy menguasai dua bahasa asing: Inggris dan Jepang. Karena di sini pengunjung paling banyak berasal dari Eropa dan Jepang. Tidak sedikit pula teman-teman Andik yang kemudian diboyong bule ke luar negeri.
“Tadi aku lihat mas didekati cewek bule itu,” Andik mengarahkan pandangan ke Selin.
“Iya, memang kenapa mas. Dia tadi yang menyewa papan selancarku. Selain cantik, kelihatannya dia orangnya baik. Tadi anak-anak mencoba merayu dia, tapi gagal semua. Eh, malah mendekati mas-mas ini.”
“Memangnya salah ya dia mendekati kita?” Tanyaku.
“Nggak salah mas. Cuma hati-hati saja dengan bule yang punya banyak kemauan.”
“Maksudnya?”
“Sekarang aku tanya pada mas. Tadi dia bilang apa?”
“Dia mau mengajak kita minum.”
“Berarti dia mengajak kencan. Setelah itu menginap di hotelnya. Bercinta semalam, ha…ha…ha…” kata Andik tertawa.
“Kenapa mas berpikiran begitu?” Tanyaku lagi.
“Semua bule yang datang kemari tujuannya untuk berlibur dan mencari kesenangan. Kalau sampai bule itu punya pacar orang Indo, ya pacarnya dibawa ke luar negeri. Beberapa bulan lalu temanku baru pulang dari Australia. Sebelumnya dia dijanjikan akan diberi pekerjaan. Nyatanya selama tiga bulan dia cuma dijadikan budak nafsu. Selama waktu itu temanku dipaksa untuk melayani nafsu kekasihnya. Karena tidak kuat, dia akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia. Makanya, sampai sekarang aku tidak mau diajak ke luar negeri. Sebab banyak cerita tidak mengenakkan yang beredar di antara teman-teman. Kebanyakan berakhir tragis.”
Kami mendengar ceritanya dengan seksama. Lalu Selin, apakah dia akan mengajakku pergi ke Australi. Ah, terlalu dini menyimpulkannya. Baru beberapa menit kami berkenalan. Tidak mungkin sampai seserius itu.
“Mas, lihat kan cowok dan cewek di sana,” Andik menunjuk ke arah jam dua belas, “yang cowok itu anak sini, yang cewek berasal dari Jepang. Setiap tiga bulan sekali dia berkunjung ke Indonesia. Sudah setahun ini mereka pacaran. Gaya pacaran mereka bebas. Bercinta setiap kali bertemu. Demi materi si cowok bersedia melayani apapun permintaan si cewek. Entah berapa puluh juta uang yang masuk ke sakunya. Dan sekarang si cewek menuntut balik si cowok untuk mengembalikan semua pemberiannya, termasuk uang dan handphone.”
“Kenapa?” Tanyaku penasaran.
“Si cowok selingkuh dengan bule Australia.”
Sungguh tragis, wanita muda asal negeri Sakura itu harus terlunta-lunta memelas cinta di negeri orang. Kami sendiri tak bosan-bosan memandangi wanita cantik tersebut. Dari ujung kaki hingga ujung rambut: dia sosok yang sempurna.
Sayang, kenyataan hidup telah membuatnya berantakan. Setelah puas ditiduri, dia harus menelan pil pahit; diselingkuhi.
Herannya, mengapa si cewek bersedia pacaran dengan cowok tersebut. Dari penampilan saja si cowok tidak ganteng-ganteng amat. Sudah hitam, kurus, miskin lagi. Lebih mirip pecandu narkoba. Apa mungkin semua itu dikarenakan kebutuhan biologis semata. Sas-sus turis manca lebih suka berkencan dengan para beach boy yang terkenal mahir bercinta.
Sudah menjadi rahasia umum kedatangan turis-turis manca, selain berwisata, mereka juga mencari pemuasan kebutuhan batin. Kultur semacam ini pula yang membuat nama Bali tercemar.
Yang menjadi ‘pasar’ dari kegiatan ini umumnya wisatawan asing, meskipun bukan berarti tidak ada, tapi ‘pasar’ terbesar dari kegiatan ini dari pengamatan secara kasar bisa dikatakan 80 persen adalah laki-laki pendatang dari luar yang umumnya berasal dari Jawa juga. Mereka itu adalah para lelaki yang mencari nafkah di Bali dengan meninggalkan keluarga di tempat asal.
Kalau Gigolo memang pasarnya hampir 100 persen wisatawan asing. Namun keberadaan gigolo di Bali tidak semencolok pelacur perempuan. Gaya melacur gigolo beda. Gigolo di Bali tidak mengenal sistem sehabis pakai bayar atau jasa yang dibayar secara cash and carry. Sasaran tembak mereka adalah perempuan bule kesepian.
“Nah, mas-mas ini mungkin dikira gigolo,” canda Andik.
“Ah, tidak mungkin,” sanggahku.
“Mas berdua rambutnya panjang. Masih muda. Kulit sedikit gelap. Itu yang disukai cewek bule,” balas Andik.
Mendekati senja, Andik pamit mengurus bisnis penyewaan papan selancar. Sementara pemandangan sunset mengisyaratkan kami untuk semakin berlama-lama duduk di pinggir pantai.
Kulihat Selin menyerahkan papan selancar ke Andik dan memberi uang sewa. Sebentar saja mereka bercakap-cakap sembari melihat ke arah kami. Entah apa yang mereka bicarakan.
Aku sebenarnya berharap Selin lupa. Tapi tidak. Perempuan bule itu berjalan ke arah kami. Jujur, jantungku rasanya berdebar. Apalagi melihat cara dia berjalan yang hanya mengenakan bikini. Dengan tubuhnya yang tinggi semampai, seksi nan aduhai serta senyum mengembang, benar-benar menggugah gairah.
Lamat-lamat, suasana pantai Kuta berubah. Angkasa raya menjadi kemerah-merahan. Air laut terlihat bersiap-siap untuk pasang. Perubahan dari siang menjadi malam itu kami saksikan tanpa berkedip.
Selin kembali duduk di sebelahku. Sebuah handuk dililikan di tubuhnya dari perut ke bawah.
“I am glad, you’re still here,” jawab Selin.
Agar tidak terkesan bosan, sesekali kami selingi canda tawa. Cerita teman-teman di Surabaya menjadi bahan obrolan kami untuk membangkitkan ingatan bahwa betapa pentingnya kisah-kisah mereka dalam situasi penuh perhelatan tersebut.
Di atas pasir pantai Kuta, sekali lagi kami menikmati diri menjadi pribadi yang balisme.
Sebotol arak kami keluarkan berikut jeruk purut yang kami bawa dari rumah. Hanya saja kami tak sehandal Ali dalam meracik arak dicampur jeruk. Namun Ali berpesan meminum arak tidak mesti dicampur jeruk. Arak dapat diminum langsung, dan sebagai tambulnya; jeruk dikunyah saja.
Setelah dicoba, rasanya tak beda dengan yang pertama. Selin bersedia mencoba meski itu hanya arak murahan. Awalnya terasa pahit dan menyentak di mulut, tapi setelah mengunyah jeruk rasa pahit arak langsung hilang.
“Nice,” kata Selin.
Malam itu, di bawah sorot bulan pernama, kami menyambut malamnya pantai Kuta dengan ditemani arak Bali, dan tentu saja ditemani perempuan cantik bernama Selin.
Selanjutnya, adalah peristiwa yang sangat mendebarkan.[bersambung]