Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #19

Tawaran Menggiurkan

Oleh: Jendra Wiswara

Aku tidak tahu apa jadinya hubunganku dan Selin. Hubungan singkat itu. Tapi mengesankan seperti bertahun-tahun. Kami tidak saling mengenal. Bahasa dan budaya pun beda. Hanya perasaan kami saja yang mungkin sama.

Syarafku sedikit tergelitik. Bagaimana mungkin dalam satu hari itu aku bisa berduaan dengan Selin di tepi pantai Kuta layaknya sejoli dimabuk asmara.

Aku pergi jauh dari rumah, meninggalkan ibu, melupakan teman-teman, dan kini aku duduk bersama bule cantik bermata biru. Sementara hatiku masih belum tenang karena di dalamnya masih ada Kayla. Ternyata tidak semudah itu melupakan seseorang, apalagi sampai mengakhirinya. Hatiku masih belum terbuka sepenuhnya pada Selin. Aku rasa Selin pun begitu.

Apa yang kami cari? Entahlah. Kulihat Yoga juga tengah asyik dengan Tessa. Jarak duduknya tiga meter dari kami. Mereka tidak saling mengetahui bahasa masing-masing. Sekedar menduga dan mengira-ngira. Dan mungkin, bahasa isyarat lebih banyak mereka pakai.

Aku sedikit khawatir dengan temanku itu. Dia sudah punya istri. Sedang hamil tua. Sebelum berangkat dari Surabaya, aku minta doa pada Puspa. Siapa tahu doa wanita hamil mujarab untuk mengiringi perjalanan kami. Sayangnya, doa-doa itu tidak mujarab lagi. Hilang seperti ditelan angin. Berganti kejutan-kejutan nakal kami bersama cewek-cewek bule cantik. Aku yakin Yoga tidak sabar untuk segera beranjak dari pantai dan balik ke hotel bersama Tessa.

Di sini aku mulai kehilangan kemauan seperti itu? Aku sebenarnya sangat menginginkan Selin. Toh, aku laki-laki normal. Namun di satu sisi, bayang-bayangku terus tertuju pada istri temanku.

“Al, apa yang sedang kamu pikirkan?” Selin tiba-tiba membuyarkan pikiranku. Ia masih dalam pelukanku, di bawah sinar rembulan pantai Kuta.

“Tidak apa-apa, Sel. Aku cuma berpikir, apakah keindahan seperti ini akan segera berakhir.”

“Mengapa kamu bilang begitu. Apakah kamu tidak suka denganku?”

Hatiku panas sekaligus cemburu mendengar kata-kata Selin. Mana mungkin aku tidak suka dengan dia. Hanya orang gila yang menolak anugerah seindah itu. Aku ragu-ragu menjawab pertanyaan Selin. Ia tidak tahu bagaimana perasaanku melihat temanku tengah bermesraan dengan Tessa sementara istrinya sedang hamil tua. Yang kurasakan ada seperti segumpal batu pemberat yang menghujam kepalaku.

“Al, kenapa diam?” Selin menunggu jawabanku.

“Aku suka dengan kamu, Sel. Baru kali ini aku bisa merasakan anugerah seindah ini.”

Selin lantas melepas dekapannya. Memandangku cukup lama. Lalu kembali mencium bibirku. Dan menyudahinya lagi.

Ampun, gadis ini benar-benar membuatku gila. Semua pikiranku buyar tanpa arah. Aku menyesal tadi berkata seperti itu. Anugerah terindah yang harusnya kureguk, pada akhirnya harus kutampik sendiri.

“Aku tidak ingin keindahan ini berakhir, Al!” Selin membalas.

Aku peluk ia dengan erat. Kucium rambutnya. Ia makin mendekap ke dadaku.

“Aku juga tidak mau berakhir, Sel. Hanya saja kamu tahu kondisi kita. Kamu dan aku akan kembali ke rumah masing-masing. Tempat kita bukan di sini. Bali hanya tempat persinggahan.”

Baru aku merasa lega menyampaikan hal itu. Namun hati ini masih belum puas. Anugerah di depan mataku terlalu sayang untuk disia-siakan.

“Aku tahu itu. Sesak rasanya keindahan ini harus berakhir.”

Selin kembali melepaskan dekapannya. Ia kembali menciumku. Kali ini agak lama. Degup jantungku berdetak kencang. Pun Selin. Ciuman kami sudah tidak beraturan. Tak ada jarak lagi. Perasaan lepas. Semua masalah yang membebani diri tersingkirkan. Yang tertinggal perasaan masing-masing. Di sinilah Selin mulai membuka diri.

Ciuman diakhiri dengan belaian mesraku ke wajahnya. Ah, cantik sekali Selin. Entah sudah berapa kali aku memujinya.

“Sebenarnya kedatanganku kemari bukan sekedar berlibur. Aku dan Tessa sebenarnya lari dari kenyataan hidup,” Selin mulai bercerita.

“Kenyataan hidup?” Tanyaku penasaran.

“Kami berdua sama-sama dicampakkan oleh laki-laki. Tessa sudah setahun menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku dua tahun. Kekasih kami mengkhianati cinta kami. Tessa lebih dulu diselingkuhi, kemudian aku.”

Aku pandangi Selin dengan mata terbelalak. Aku berpaling ke Tessa. Kasihan dua gadis bule itu. Dua-duanya cantik. Dua-duanya bersahabat. Dua-duanya mengalami nasib sama.

“Kau masih marah saat ini?”

Selin mengangguk.

“Marah jika bercerita soal dia. Bersamamu, kemarahanku hilang. Lupa segalanya,” Selin

Aku tahan kegeramanku. Laki-laki yang mencampakkan Selin dan Tessa, ah, betapa gobloknya kalian. Mencampakkan gadis secantik ini, terutama Selin. Kalian membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Hati yang bersih itu tidaklah layak untuk disakiti. Dan ini berlaku untuk semua perempuan. Sejak jaman Hindia Belanda, perempuan selalu jadi budak. Aku tahu budaya kami berbeda. Selin seorang bule, namun ia tetaplah seorang perempuan yang pantas mendapatkan cinta. Sangat tidak adil bagi Selin harus menerima kenyataan pahit itu.

Kami masih duduk di tempat semula. Aku mendengarkan cerita-cerita sedih Selin. Termasuk soal pertama kali Selin melepas keperawanannya.

Di negerinya sana, sudah menjadi rahasia umum gadis seperti Selin dan Tessa harus kehilangan keperawanan di usia belia. Bagi mereka, arti sebuah keperawanan harus berakhir di usia muda. Itu kebanggaan diri sekaligus perubahan menuju masa peralihan. Jika seorang gadis masih perawan, maka mereka belum dianggap dewasa. Karena itu melepas keperawanan di negeri Selin, tidak ada harganya sama sekali.

“Aku sudah tidak perawan sejak usia 15 tahun, Al. Kalau tidak begitu kami tidak dianggap dewasa. Tidak ada yang mengesankan sama sekali. Aku yakin budaya di sini berbeda. Di sini arti keperawanan begitu magis. Saking pentingnya arti sebuah keperawanan, di sini keperawanan dilepas saat perempuan menikah. Jujur, aku iri dengan budayamu, Al.”

Aku tersenyum mendengar perkataan Selin. Aku tidak mau tahu darimana ia dapat informasi seperti itu. Tapi apa yang diucapkan semuanya benar. Aku tidak membantah.

“Dulu aku pernah berpikir dapat melepas keperawananku pada seseorang istimewa. Kenyataannya melenceng dari harapan. Budaya yang telah membentuk kami. Keperawananku lepas begitu saja hanya dari cinta monyet. Dan setelah itu aku bertemu kekasihku. Kami selalu melakukan hubungan intim yang tidak sebagaimana mestinya. Tidak ada ikatan suci. Segalanya bebas kami lakukan. Asal pakai pengaman.”

Kuhapus airmata Selin yang mulai jatuh dengan tanganku. Termenung gadis bermata biru itu di tempatnya. Namun ia tetap tidak mau melepaskan pelukan. Baginya, aku seperti tempat teraman di dunia.

Ya, kadang aku menyesal mengapa kami tidak dipertemukan di tempat yang sama. Padahal perasaan kami sama. Mendengar jerit hati Selin, aku merasa punya kewajiban untuk melindunginya. Aku bisa menyayangi Selin setulus hati seperti ia menyayangi kekasihnya. Namun lagi-lagi, itu cuma mimpi. Beda budaya, beda bahasa, sulit bersatu. Kalau pun di luar sana ada sejoli beda ras bisa bersatu, itu adalah kemujuran.

“Al, maukah kamu tidur bersamaku malam ini?” Pertanyaan Selin tiba-tiba menohokku.

Entah apa yang terlintas di benaknya.

Aku kaget.

Aku tahu Selin sedang melancarkan serangan pembalasan. Semakin dekat dengan gadis bermata biru itu, semakin terombang-ambing aku dengan perasaanku sendiri. Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Selin. Namun terasa ada teka-teki besar pada Selin ingin membalas dendam atas perbuatan kekasihnya. Mungkin Tessa juga begitu. Padahal baru semenit yang lalu ia mengutarakan kekagumannya pada budayaku. Dan, sekarang ia berbelok lagi ke budayanya.

Kami berdua terdiam. Aku terus memikirkan kata-kata Selin. Tiba-tiba datang bayangan Puspa menyergapku. Bukan soal aku tidur dengan Selin. Melainkan soal Si Yoga. Di sini hatiku mulai menjerit.

“Jawab Al,” Selin menggoyang tubuhku dengan manja, seperti sedang mengiba.

Sejujurnya aku tidak mau melepas anugerah indah itu. Namun di sisi lain aku bakal menjerumuskan temanku dalam anugerah terindah itu. Mungkin aku tidak akan berpikir panjang jika Yoga masih berstatus lajang seperti aku. Kenyataaanya, Yoga sedang ditunggu istrinya yang tengah hamil di rumah. Puspa pasti berharap suaminya dapat pekerjaan mentereng bersamaku di Bali. Dapat penghasilan lebih untuk dikirim ke Surabaya. Tidak tahunya kami malah sedang asyik bercengkrama dengan cewek bule.

Untuk Kayla, kekasihku, aku sudah tidak mau memusingkannya. Toh, meski Kayla ada di hatiku, hati ini masih leluasa untuk diisi dengan hati lain.

Puspa, bayangan itu terus menghantuiku. Sulit melepasnya. Atau, jangan-jangan ini sebuah peringatan untukku dan temanku.

Andai aku menyiyakan permintaan Selin, sudah barang tentu semua orang akan larut dalam penistaan diri. Jika aku menyanggupi tidur dengan Selin, maka Yoga sudah pasti akan tidur dengan Tessa.

Aku tidak mau itu terjadi. Memanfaatkan kerapuhan gadis-gadis bule itu. Apa bedanya aku dengan kekasih Selin dan juga Tessa yang telah mencampakkan mereka. Memanfaatkan ketidaktahuan Puspa dengan melakukan pembiaran terhadap Yoga. Dan yang paling berat, mengabaikan doa ibu yang telah memberiku restu. Dosa-dosaku akan bertumpuk-tumpuk.

Aku memang bukan orang bersih dan masih bergelimang dosa. Andai pun aku berbuat dosa, tentu sesuai jalanku sendiri. Aku tidak mau berbuat dosa dengan mengajak orang lain.

“Al, kenapa kamu diam. Apa perkataanku salah?” Selin menatap dengan penuh harap. Untuk kesekian kalinya Selin menciumku. Berharap agar aku segera menyanggupi permintaannya.

Kini semua keputusan ada di tanganku. Yoga menatapku sambil cengar cengir. Aku tahu dia bahagia bersama Tessa. Mungkin dia sudah lupa dengan istrinya. Tapi, tidak aku.

Aku tak mau mengambil resiko buruk. Biarlah Selin, Tessa, dan Yoga marah. Setidak-tidaknya aku telah terniat dan telah terucapkan permohonan ampun kepada orang yang telah melahirkanku, kepada orang yang akan memberi anak kedua pada temanku, dan tentunya kepada gadis-gadis bermata biru itu sebagai pengingat betapa kagumnya mereka pada budayaku.

Maka, kutolak keinginan Selin dengan halus.

“Kamu cantik, Sel. Aku tidak mau menyia-nyiakan kecantikanmu dengan tidur bersamamu. Aku ingin menikmati anugerah ini di bawah cahaya rembulan, bukan di bawah bayang-bayang dosa,” jawabku.

Selin memandangku cukup lama. Matanya tampak berkaca-kaca. Jawabanku sepertinya menyadarkan Selin. Tidak segala kehidupan di dunia harus direngkuh dengan perbuatan sia-sia. Kesia-siaan hanya berujung pada penderitaan.

“Aku tahu, Al. Maafkan aku. Tidak salah aku mengenalmu. Kalau orang lain mungkin tidak seperti ini. Aku menghargai sikapmu. Tetap saja ingin menghabiskan malam ini bersamamu,” urai Selin.

“Aku juga, Sel. Senang sekali mengenalmu,” kukecup keningnya, dan ia tidak keberatan menyerahkan kepasrahannya. Tubuhku dipeluknya sangat erat seolah-olah kami hendak berpisah untuk waktu lama dan tidak akan dipertemukan lagi. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...