Bahu Laweyan #49
Surat Sahid
Oleh: Noviyanto Aji
Begitulah keadaan dua perempuan hebat yang dinikahi Sahid. Dua perempuan dengan keadaan berbeda. Yang pertama sudah terbiasa dengan keadaan, yang kedua menunggu keadaan tanpa kepastian. Memang beruntung jadi yang pertama. Dia bisa mengetahui setiap hari keadaan suaminya. Beda dengan yang kedua, baru bertemu sudah berpisah. Dan pertemuannya juga tidak sewajarnya. Pertemuan yang penuh liku dan pengorbanan.
Apalagi bagi Nunuk, pertemuan dengan Sahid sangat mengesankannya. Meski tidak seberapa kenal dengan Sahid, namun peristiwa di hutan telah membuatnya jatuh hati dan kalau perlu mengabdi dengan seluruh jiwa raganya pada sang suami. Bahkan sampai seumur hidup atau sampai mati.
Tak ada jalan pilihan lain bagi Nunuk. Sahid memang pilihan terakhirnya, walau kenyataan yang dia dapat sangat pahit sekalipun. Beruntung yan dinikahi Nunuk seorang budiman dan berilmu, sehingga tak ada alasan baginya untuk tidak mencintai suaminya.
Usai berbicara dengan Fatimah panjang lebar, Nunuk menutup matanya rapat-rapat. Dia dapat merasakan bayangan Sahid begitu dekat padanya. Wajah lelaki itu meski sudah tak muda lagi, selalu mengesankan baginya. Namun sekejab saja bayangan itu menghilang. Pergi ke mana, tak tahu.
“Dik Nunuk, apa yang sedang kamu pikirkan?” Fatimah membuyarkan lamunan perempuan bahu laweyan tersebut.
“Eh, tidak Mbak. Aku cuma sedang berpikir, Mas Sahid sekarang sedang apa dan sedang di mana.”
“Kamu terlalu terbawa perasaan. Kangmasmu itu tak perlu dibayangkan. Semakin dibayangkan, dia akan semakin lama pulangnya. Aku dulu awalnya begitu. Lama-lama juga bosan sendiri. Saat tida ditunggu, eh dia pulang sendiri. Yang sekarang ini dilakukan Mas Sahid adalah berdakwah keliling.”
“Berdakwah keliling, Mbak. Aku tidak paham maksudnya.”
“Kamu kira Kangmasmu itu hanya pergi begitu saja, berpindah-pindah dari satu tempat, tidak juga. Dia sebenarnya menemui banyak orang. Kadang dia mampir ke sebuah pondok pesantren, lalu berdakwah di sana. Tentunya tak seorang pun tahu apa yang dilakukannya kecuali orang-orang yang ditemuinya.”
“Pantas Mas Sahid dan Kyai Sepuh sangat akrab.”
“Kyai Sepuh?”
“Iya, pengasuh pondok pesantrennya Mas Iksan di Kediri. Keduanya sering bertemu. Terakhirnya mereka bertemu di depan Ka’bah.”
“Benarkah?”
“Benar, Mbak.”
Nunuk mengangguk. Sekiranya ini waktu yang pas bagi Nunuk untuk menyampaikan pesan Kyai Sepuh pada Fatimah. Agak ragu Nunuk. Sebab dia seperti hendak mencampuri kehidupan Fatimah dan Sahid. Selain itu Nunuk juga khawatir Fatimah tidak tahu pesan yang dititipkan Sahid padanya, atau jangan-jangan Fatimah tidak menyimpan surat tersebut. Tapi kepada siapa lagi Nunuk harus bertanya kalau tidak pada Fatimah.
Nampaknya Fatimah penasaran dengan cerita pertemuan Sahid dan Kyai Sepuh. Dia tak sabar ingin mengetahui ikhwal pertemuan keduanya. Fatimah menyelidik penuh harap.
“Apa saja yang mereka bicarakan, Dik?” Tanya Fatimah.
“Mas Sahid berpesan pada Kyai Sepuh agar menyampaikannya padaku. Katanya aku disuruh ke rumah Demak. Sebab di rumah ditinggalkan sebuah surat untukku. Aku sebenarnya tidak paham yang dimaksud Kyai Sepuh.”
“Surat?” Fatimah mencoba mengingat-ingat.
Bola mata Fatimah nampak bergerak kesana kemari. Pandangannya diarahkan ke jalan depan rumah tanpa berkedip. Dia seperti duduk mematung. Berusaha mengingat-ingat surat yang dititipkan oleh Sahid padanya.
Waktu dia mengangkat kepala, pandangannya ganti tertuju pada Nunuk. Kembali dia duduk tanpa berkedip, bengong. Mencoba menggerayangi satu persatu ingatannya. Kemudian Fatimah terbatuk-batuk lirih. Lalu Fatimah berseru pelan.
“Aku sepertinya ingat,” kata Fatimah.
Nunuk mendekat, memasang telinga lebar-lebar.
“Ya, Mas Sahid pernah meninggalkan surat. Tapi kusimpan di mana surat itu. Itu surat ditulis setahun lalu sebelum dia pergi.”
Nunuk tidak menyahuti. Dia membiarkan perempuan di hadapannya mengingat-ingat surat tersebut.
“Sebentar ya Dik.”
Fatimah lalu pergi ke dalam kamar. Kira-kira seperempat jam kemudia dia keluar lagi. Sekali ini dia melihat pada Nunuk sambil menunjukkan sebuah surat yang masih tersegel.
“Aku kira surat ini yang dimaksud, Dik.”
“Begitukah, Mbak!”
“Iya aku masih ingat. Sebelum Mas Sahid pergi dia bilang surat ini untuk Nunuk. Biarkan dia membacanya sendiri. Jadi aku tak membaca surat ini. Aku biarkan saja tersimpan di lemari. Saat kamu datang, aku juga lupa pernah menyimpan surat ini. Syukurlah kamu mengingatkan aku, Dik.”
Nunuk menerima surat tersebut. Nampak penasaran sekali dia memegang surat itu. Sesekali Nunuk melirik pada Fatimah. Sekedar ingin tahu, apakah isi dari surat itu. Sayangnya, Fatimah belum membacanya. Karena itu tidak adil rasanya bagi Nunuk jika surat itu hanya dibaca sendiri. Sementara Fatimah yang menyimpan surat selama setahun tidak tahu isinya. Nunuk yakin Fatimah pasti penasaran dengan isi surat tersebut.
“Apa Mbak Fatimah tidak mau membacanya?”
“Itu surat buatmu, Dik. Jadi aku hanya menjaga amanah saja,” Fatimah mendeham. Ia merasa tak perlu tahu isinya. Sebab isinya hanya diperuntukkan bagi Nunuk.
“Tapi Mbak menjaga amanah ini sudah setahun lamanya. Kalau tidak keberatan, maukah Mbak membacanya bersamaku.”
Fatimah tidak menjawab, hanya mengangguk.
Surat pun dibuka. Keduanya membaca bersamaan. Kali ini surat ditulis dalam bahasa latin. Sehingga Nunuk tak perlu susah-susah untuk mencari penerjemah.
Begini isi surat tersebut:
Assalamualaikum
Takdir tak bisa diandai-andai. Semua bakal menemui takdirnya. Aku, Fatimah, dan kau pun Dik Nunuk.
Jika banyak cobaan menimpa kita, itu wajar. Berarti kita sudah semakin dekat padaNya. Sementara cobaan yang kau lalui sangat besar, dan mungkin tak semua orang sanggup melaluinya. Tapi kau berhasil melaluinya.
Sesungguhnya setelah kesusahan ada kemudahan, sesungguhnya setelah kesusahan ada kemenangan.
Namun kemudahan dan kemenangan itu harus dilalui dengan proses. Kau telah berkhalwat selama 6 tahun di hutan, itu juga bagian dari proses menuju jalanNya.
Biar kuceritakan sedikit padamu. Dulu ada seorang ulama besar yang melakukan khalwat selama 25 tahun di padang pasir Iraq, tak pernah bertemu dengan orang dan ditemukan orang. Pada saat itu yang datang padanya sekelompok jin dan rijal gaib padanya.
Apa yang terjadi padanya, ulama itu bukan diganggu tapi malah mengajarkan pada mereka jalan menuju Allah.
Pada saat itu keindahan dunia dan kemewahan menjelma untuk menggoda dirinya. Beruntung Allah melindunginya dari semua itu.
Kemudian ada setan-setan yang mendatanginya dalam bentuk yang menakutkan, tapi Allah selalu menerangi dan menguatkannya.
Berbagai kondisi spiritual mendatanginya. Dia menyambutnya dan tenggelamlah dia di dalamnya. Dalam keadaan itu, dia biasanya berlari-lari tanpa sadar. Dan dengan kondisi spiritual itu, dia mendapati dirinya telah berjalan jauh selama 12 hari.
Nah, Dik, sekiranya kau mau berjumpa lagi denganku, berkhalwatlah sekali lagi. Aku tahu kau seorang perempuan yang kuat dan tangguh. Aku tahu pendalamanmu. Aku tahu apa yang kau rasakan.
Karenanya, aku tidak mengajukan syarat ini pada Fatimah, aku mengajukannya padamu. Berjalanlah kau ke makam-makam para Walisanga. Terserah kau mau berjalan dari arah mana. Di situ kau akan bertemu denganku.
Tapi aku tidak akan membebanimu. Semua terserah pada kehendakmu jika kau mau menjalaninya.
Wassalamualaikum.
Menangis Nunuk membaca surat tersebut. Perempuan bahu laweyan itu langsung bersimpuh di bawah kaki Fatimah. Duduk beralaskan lantai. Lalu menjatuhkan kepalanya di paha perempuan tersebut. Tangannya memeluk erat tubuh Fatimah. Sementara yang dipeluk merasakan hal serupa.
Bagi Fatimah surat itu memang tidak sewajarnya. Kata-kata semacam itu tak biasa didengar atau tak pernah disampaikan padanya, apalagi pada santri-santrinya di pondok. Sepanjang hidup berumah tangga, Fatimah tak pernah melihat suaminya mengajukan permintaan seberat itu, termasuk padanya. Dan kini pengajuan itu ditujukan pada Nunuk, yang baru beberapa bulan dinikahinya.
“Mbak,” Nunuk merajuk dalam dekapan Fatimah, menangis sedu sedan, “aku harus bagaimana?”
Fatimah tak punya jawaban atas pertanyaan Nunuk. Dia juga bingung.
“Tak pernah sekalipun aku mendengar Sahid mengajukan permintaan seberat itu pada seseorang. Aku tidak tahu jawabannya, Dik,” pandangan Fatimah menerobos ke mana-mana. Tak tentu arah. Ada silang siur berbagai macam pikiran. Barangkali dia sedang menimbang-nimbang apakah Nunuk patut menjalani permintaan dari suaminya. Fatimah sanggup merasakan kegelisahan perempuan di hadapannya. Tanpa sadar airmata jatuh di pipi.
“Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan, Dik. Seandainya aku jadi dirimu, aku juga akan menangis.”
Nunuk diam. Suaranya lebih banyak meraung-raung dalam kesunyian.
“Ini permintaan cukup berat dari Mas Sahid.”
Nunuk tetap membisu dalam tangisan.
“Apa yang ditulis Mas Sahid memang tidak wajar. Itu semua di luar nalar manusia. Setidaknya aku tahu apa yang dimaui Kangmasmu.”
Kata-kata terakhir Fatimah membuat Nunuk bangkit. Kepalanya didongakkan ke atas. Airmatanya buru-buru diseka dengan kedua tangannya. Dia lantas memandangi Fatimah.
“Apa yang dimaui Mas Sahid, Mbak?”
“Apa yang dimaui Masa Sahid adalah kehendak dari Allah. Tak semua yang dimaui berasal dari kehendak pribadinya. Pertanyaannya, siapakah kamu hingga Mas Sahid mengajukan permintaan yang cukup berat. Aku yakin ada sesuatu yang dilihat Mas Sahid dalam dirimu. Aku tidak tahu apa. Yang jelas semua telah digariskan olehNya.”
“Tapi aku bukan siapa-siapa, Mbak. Aku hanya perempuan biasa yang banyak dosa,” sanggah Nunuk.
“Tidakkah kau baca di tulisan Mas Sahid di awal. Kau telah banyak mengalami berbagai macam cobaan yang tak semua orang mampu menghadapinya. Dengan cobaan itu, kau berhasil melaluinya untuk kemudian menuju ke jalan yang diridhoiNya. Kau telah berkhalwat selama 6 tahun di tengah hutan. Itu bukan sesuatu yang mudah dilalui banyak orang. Itu juga yang dilalui ulama besar seperti yang disebutkan Mas Sahid di tulisan tadi.”
“Apakah itu artinya aku harus kembali berkhalwat?”
“Sesungguhnya Allah memberikan hidayah ke jalan yang lurus kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Aku melihat Mas Sahid ingin menyeretmu ke pintu tawakal, ke pintu syukur dan penyaksian, ke pintu kefakiran. Mas Sahid ingin mengajakmu menuju ke jalan paling agung, dan menemukan harta karun paling mulia di muka bumi.”
“Apakah harta karun paling mulia di muka bumi?”
“Lisan yang tak pernah putus dzikir (mengingat) dalam khalwat, hati yang selalu bersyukur, dan istri beriman yang selalu menjaga imannya.”
Sekonyong-konyong hati Nunuk bergetar hebat mendengarnya. Kembali dia menangis di pelukan Fatimah. Dalam keluruhannya itu, Nunuk tiba-tiba masuk dalam kondisi spiritual yang membuatnya setengah sadar. Tubuhnya seperti mengambang di udara. Lalu turun kembali ke bumi pelan-pelan.
Nunuk mulai merasakan sebentar lagi ujian besar diberikan padanya. Melalui Sahid sebagai suami sekaligus guru, sepertinya sedang menuntun dan mengawasi dengan memberikan pandangan kasih. Sehingga sang murid mampu menyesaikan riyadhah-nya. Dan ketika sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat padaNya, maka sang guru memberikan ujian yang berat padanya.
Dan, seperti itulah perasaan Nunuk.[bersambung]