Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #23

Mengalami Halusinasi

OlehL Jendra Wiswara

Puluhan orang berbadan kekar dan bertelanjang dada berkumpul di depan tenda. Mereka membawa tombak yang tergenggam di tangan kanan. Mata runcingnya menghadap ke angkasa. Sebuah pedang berukuran satu meter panjangnya diselipkan di pinggang sebelah kiri. Mereka membentuk barisan rapi.

Dari penampilannya mereka adalah prajurit-prajurit terlatih dari kerajaan antah berantah yang diperintahkan membunuhku dan rekan-rekan pendaki. Seorang komandan pleton mengeluarkan perintah: Tangkap semua orang di tenda, jika ada yang membangkang, bunuh.

Kami berhamburan keluar. Aku lari memasuki hutan, mencari aman. Beberapa pendaki lari menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang nyemplung ke danau, dan sewaktu berada di tengah-tengah matanya melotot, mulut megap-megap, meminta tolong tapi tak digubris, hingga akhirnya tenggelam. Mati.

Seorang pendaki yang tertangkap tubuhnya langsung dihunus tombak hingga tembus ke belakang punggung. Lainnya yang meronta-ronta dipenggal batang lehernya. Kepala dilemparkan ke tengah-tengah danau sebagai kurban. Darah berceceran kemana-mana. Yang mati jasadnya dibuang ke danau. Ditenggelamkan.

Ada juga yang tubuhnya digantung di atas dahan. Menghadap terbalik. Kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua tangan dan kakinya diikat. Tak mungkin mereka dapat bergerak atau melepaskan diri.

Lalu…mereka dibakar hidup-hidup.

Dari kejauhan aku mendengar jeritan mereka. Mengerikan. Bahkan aku tak sanggup menengok ke belakang.

Aku berusaha lari sekuat-kuatnya. Sepuluh prajurit mengejarku. Seorang melepaskan panah yang nyaris mengenaiku. Ini bukan saatnya mati, gumamku. Memang tak ada yang bisa sembunyi dari kematian, walau sejauh apapun kau lari. Dan maut bukanlah tanggung jawabku. Tapi sekarang belum saatnya. Rasa ngilu mulai menjalari kakiku. Nafas ngos-ngosan. Jantung serasa mau copot.

Sekali berhenti aku pasti mati. Entah akan diapakan tubuhku; disabet pedang, dicincang, dipenggal, digantung, dibakar atau dikubur hidup-hidup.

Aku tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi bila aku tertangkap. Tanpa mempedulikan sekelilingku, aku terus saja lari dan lari. Jatuhku mengenai bebatuan, tak kurasakan. Pohon-pohon berduri yang menusuk-nusuk kulit, pun tak kuacuhkan. Asal selamat dari kejaran prajurit-prajurit itu, aku tak peduli sekelilingku.

Entah apa kesalahan kami. Benarkah ini prajurit-prajurit kerajaan. Atau mereka sekedar segerombolan penjahat yang lari ke hutan, dan ketika keberadaannya diketahui oleh salah satu dari kami, mereka kemudian berusaha membunuh kami. Tapi siapa yang memerintahkan? Mungkinkah di antara mereka ada pemimpin gerombolan? Dan benarkah kesalahan kami sebesar itu sampai-sampai harus membayarnya dengan nyawa?

Perasaanku campur aduk, antara takut dan bingung. Hampir satu jam aku berlari. Keluar masuk hutan, naik turun gunung. Melelahkan. Dan aku tak mendapati seorang prajurit mengejarku. Kukira aku sudah jauh meninggalkan mereka. Hanya saja, kini kondisiku lebih menyedihkan. Tersesat di hutan. Tak tahu arah. Pepohonan terlihat sama. Pun matahari tak jua menampakkan wujudnya di atas kepalaku. Kabut tebal telah menutupi sorotnya. Di saat itu muncullah seorang anak kecil di hadapanku. Dengan nafas ngos-ngosan usai berlari, dia menjauhiku seolah aku akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.

“Hei, anak kecil, jangan lari ke sana. Berbahaya. Di sana banyak prajurit,” teriakku mengingatkan.

Anak kecil berusia 9 tahun tersebut tak peduli. Aku yakin dia juga lari dari kejaran prajurit-prajurit tak berbelas kasihan itu. Dengan sekencang-kencangnya aku menggapainya, sebelum akhirnya kuterjang tubuhnya. Kami sama-sama tersungkur ke tanah. Secepat kilat kubungkam mulutnya.

“Jangan teriak, ada prajurit lewat,” pintaku.

Suara kaki Prok…! Prok…! Prok…! terdengar semakin mendekat. Deru langkah-langkahnya dipenuhi debu-debu jalanan setapak. Kami bersembunyi di balik ranting-ranting pohon. Si anak kecil mengetahui nyawanya dalam bahaya, dia berhenti berontak. Mata kami tak jemu memandangi kaki-kaki gagah perkasa melintas di hadapan. Sejauh mata memandang, kami pun keluar dari tempat persembunyian.

“Hei, anak kecil, nama kamu siapa. Dan apa yang menyebabkan kamu lari?” Tanyaku.

“Namaku Kambali. Aku dikejar oleh orang-orang jahat itu. Kedua orang tuaku dibunuh.” Jawabnya menitikkan air mata.

Segera dia kurangkul untuk menghiburnya. Tangisannya berusaha ditahan, mungkin dia takut diketahui prajurit-prajurit tadi. Dengan hati-hati kami pergi menjauh dari prajurit-prajurit kerajaan. Separuh perjalanan memasuki hutan, kudengar sebuah suara tertawa terkekeh-kekeh.

“Hai, manusia ada apa gerangan kamu berani memasuki kawasanku? Apa kalian tak takut padaku?” Suara itu sangat besar, bulu kudu merinding dibuatnya.

“Maafkan kelancangan kami, kami dikejar oleh prajurit-prajurit kerajaan yang hendak membunuh kami.”

“Kenapa kalian dikejar, kalian pasti telah melakukan kesalahan yang mengusik ketenangan hutan ini.”

“Tidak…tidak…,” Kambali mengelak.

“Ketahuilah manusia, bahwa seluruh prajurit tadi adalah utusanku. Aku adalah raja penghuni Rinjani.”

Serta merta tubuhku diam terpaku seolah kekuatan besar tengah menghimpitku. Mendadak kami sadar bahwa kami berada di dalam perut hutan. Dimana banyak sekali akar-akar besar yang merambati tubuh. Kedua kakiku dicengkramnya. Aku tak bisa bergerak. Kuteriak sekencang-kencangnya.

“Kambali, Kambali, kamu kemana?”

Rupanya anak kecil tadi sudah dimakan oleh akar-akar hidup tersebut. Yang kutahu selanjutnya, akar-akar itu melilit-lilit tubuhku. Aku semakin kehabisan nafas. Sesak. Suaraku parau. Permintaan tolong nyaris tak terdengar dan terbata-bata.

“Tol…ooong…tttooolooong…”

Seketika itu aku terbangun dan mendapati diriku berada di dalam tenda. Aih, rupanya aku sedang bermimpi. Mimpi yang aneh, pikirku. Sudah dua hari ini aku berada di danau Segara Anak. Pendaki asal Jakarta sudah turun kemarin. Mereka hanya menginap sehari. Sementara di sini kerjaku cuma makan, tidur, makan lagi, dan tidur lagi.

Malah seharian waktuku kuhabiskan dalam tenda: Tidur.

Bosan. Jenuh. Penat.

Beruntung Azam dan teman-temannya mendatangi tendaku, tapi lebih banyak aku yang mendatangi mereka. Di waktu luang kuceritakan mengenai mimpi-mimpiku yang sepertinya nyata. Azam menjawab, “Itu hal yang biasa terjadi di sini.”

Kata-katanya sedikit menghibur.

Malam demi malam kami habiskan ngobrol banyak hal. Sambil menyeruput wedang kopi di malam hari dan wedang teh di pagi hari. Aku mulai merasakan arti menjadi manusia bebas. Bebas sebebas bebasnya seperti yang kuinginkan. Namun demikian, waktu dua hari serasa lama bagiku.

Esoknya, kuputuskan untuk cabut. Setelah pendaki asal Jakarta, ada pendaki gabungan asal Jawa Tengah dan Bogor yang tiba kemarinnya. Mereka baru mencapai puncak dan menginap sehari di danau. Pada hari kepulanganku, mereka juga hendak turun.

Alhamdulillah, aku punya teman lagi.

Dalam perjalanan pulang kami mengambil rute Senaru. Plawangan Senaru terletak di wilayah Lombok Barat. Jaraknya 80 km dari kota Mataram, berada di sebelah utara lereng Rinjani. Untuk sampai di Plawangan Senaru, kami harus mendaki lagi. Cuma kali ini medannya tak separah Plawangan Sembalun. Tapi tetap saja treknya terjal.

Perjalanan dimulai pukul dua belas siang. Selama tiga jam kami berjalan. Akhirnya kami tiba di puncak Plawangan Senaru. Berdiri di puncak Senaru seperti berdiri di atas lembaran uang sepuluh ribuan. Ya, pada uang sepuluh ribuan ada gambar gunung Rinjani, maka di puncak itulah tempatku berdiri. Aku sempat mencocokan gambar uang sepuluh ribuan dengan tempat aku berdiri, dan memang cocok.

Pukul tiga sore, hawa dingin mulai menusuk tulung. Kabut ramai-ramai turun yang menyebabkan pandangan kabur. Sepuluh pendaki turun bersamaan. Beban ransel masih memberati punggung kami. Bahkan ada pendaki yang membawa ransel lebih berat dari aku.

Salut.

Kami menuruni bukit demi bukit. Selepas magrib kami telah sampai di Mondokan Lolak, pos I dari atas atau pos III dari bawah. Jarak puncak Senaru ke pos III 2000 meter. Saat itu hujan lebat menyapa kami.

Udara dingin kian menggerus persendian. Pun jalanan menurun menjadi licin. Area Senaru memang memiliki curah hujan tinggi, dikenal sebagai kawasan rain forest, berbeda dengan Sembalun yang terdapat hamparan savana.

Beberapa pendaki ingin menginap di pos III, mungkin kelelahan. Sebaliknya yang lain memilih terus. Aku, makmum sajalah.

Akhirnya perjalanan dilanjutkan. Kali ini cuaca benar-benar tak mendukung. Meski hujan telah reda, beberapa kali aku misuh karena terpeleset dan terjatuh. Belum lagi cuaca lembab mengharuskan kami berhadapan dengan binatang-binatang kecil penghisap darah yang merambati anggota tubuh kami. Menyebalkan.

Selain itu kami masih menjalani ujian terberat. Ya, rasa haus berkepanjangan. Tenggorokan terasa kering; yang membuat kami menelan ludah sendiri. Saat itu anehnya, dari kesepuluh pendaki tak ada yang mempunyai air alias kehabisan air.

Agar tidak mengalami dehidrasi, aku berusaha meminum sisa-sisa air hujan yang menempel di dedaunan. Pendaki lain malah meminum air dari kubangan tanah, yang tentu saja rasanya dapat tidak dapat bayangkan.

Melewati Montong Satas, pos II yang berjarak 1500 meter dari Pos I, akhirnya perjalanan berhenti. Setidaknya masih banyak waktu untuk melepas lelah dan mencari sumber mata air. Mungkin di sini pula kami akan mendirikan tenda.

Namun belum sempat meletakkan ransel, tiba-tiba seorang pendaki asal Bogor menegur kami.

“Mas, kalau bisa jangan berhenti di sini?”

“Kenapa?” Mata kami saling beradu pandang. Sorot lampu senter diarahkan ke sebuah kertas corat-coretan yang dikeluarkannya dari saku.

“Lihat peta ini. Gambar ini digambar oleh anak Unram.”

Pendaki tersebut menunjukkan peta yang digores oleh pensil. Peta tersebut menunjukkan rute Senaru. Terdapat tulisan pos I, II, dan III (dari bawah). Antara pos I dan II ditandai logo X.

Aku tidak tahu maksudnya. Buru-buru pendaki asal Bogor menjelaskan maksudnya. Menurut anak Unram yang disampaikan ke dia, kami dilarang berhenti antara pos I dan II. Katanya jalur di sini rawan. Sebab banyak pendaki yang hilang dan ditemukan tewas antara kedua pos ini.

“Yang jelas kita tidak boleh berhenti di sini. Katanya di sini tempat bermukimnya lelembut atau kerajaan jin.”

Pemberitahuan pendaki itu membuat kesembilan anak keder. Mereka yang sudah melepas ransel dan membaringkan punggung di atas tanah segera berdiri dan secepat kilat memasang ranselnya kembali.

Dengan gesit mereka meninggalkan pos II. Aneh, kenapa aku sebelumnya tidak diberitahu soal ini. Apakah ini hanya asal-asalan anak Unram saja untuk menakut-nakuti kami. Katakanlah tempat ini keramat dan angker, setidaknya kita bisa berhenti barang sejenak untuk mencari air.

Sebelum aku berbicara pada mereka, semua pendaki sudah melangkah turun. Dasar penakut, sindirku dalam hati.

Kalau aku yang pegang peta, tak mungkin aku mengeluarkan peta di saat-saat  genting seperti ini. Biar mati dimakan penghuni Rinjani, aku tak peduli, yang penting kita bisa beristirahat dan minum.

Dan berhubung cuma aku yang sendirian di pos II, dimana tak ada penerangan sama sekali, gelap gulita. Tiba-tiba aku merasakan tengkukku bergetar dengan hebat. Bulu kudu merinding tak karuan. Ketakutan merajalela. Buru-buru aku mengangkat ransel dan meninggalkan tempat tersebut mengikuti jejak pendaki lain.

Ah, kau ternyata takut juga.

Perjalanan menuju pos I sangat panjang dan berliku-liku. Turunan begitu terjalnya sehingga tidak sedikit dari teman-teman yang terpelanting jatuh. Keangkeran hutan ini di malam hari sangat kentara. Aku bisa merasakannya sendiri. Ada kekuatan dahsyat di tengah-tengah kami. Entah haus atau mengalami dehidrasi, semua orang mengalami halusinasi.

Pendaki di depan berteriak kalau perjalanan sudah sampai. Dia melihat ada pos. Aku senang, yang lain juga senang. Lama kami berjalan, ternyata pos yang dimaksud tak kunjung ketemu.

Yang lain tak mau kalah, mereka mendengar ada suara orang. Lalu ada pula yang berhalusinasi melihat air terjun. Gemericik airnya membuat pendaki lain larut dalam alunan kebahagiaan.

Sementara aku merasakan halusinasi yang aneh. Aku justru melihat sebuah hamparan pantai membentang luas di hadapanku. Deburan ombaknya menari-nari di atas tatapan mataku. Pemandangan pantai itu sangat dekat sekali. Cuma satu kilometer jauhnya.

Giliran aku yang berteriak. Kubilang ke mereka bahwa di depan sana ada pantai. Medannya tidak curam, malah mendatar. Namun tak seorang pun menggubris. Mungkin bagi mereka aku sudah gila.

Benar juga setelah kurasai sendiri, jalanan yang mendatar itu tidak ada. Jalanan justru semakin lama semakin menurun. Begitu pula pantai yang kumaksud tak jua mendekat. Pantai itu hanya menari-nari ke kelopak mataku. Tampak dari dekat tapi tak bisa diraih.

Penderitaan belum usai. Rasa haus kian meremas-remas tenggorokan. Selama tiga jam berjalan, aku tak mendengar satu pun suara keluar dari bibir para pendaki. Semua diam bagai patung berjalan. Setiba di sebuah jalan mendatar, perasan takut kami kian menggelegar-gelegar begitu melihat tiga pohon besar. Satu pohon berukuran tangan lima orang. Di bagian atas, dahan-dahannya menjulang membentuk pertemuan. Masing-masing batang pohon ditutupi kain kafan. Kesannya angker, keramat, dan seram.

Di sinilah perasaan kami campur aduk. Langkah-langkah kaki saling beradu. Gesekan demi gesekan sepatu membuat bunyi memekik di tengah kesunyian. Beberapa pendaki mengadu kecepatan agar mendapatkan posisi terdepan. Takut, sudah barang tentu.

Setelah melewati ketiga pohon tersebut, entah kenapa kekuatan magis yang menyelimutiku sebelumnya tiba-tiba hilang begitu saja. Kemana perginya? Aku cuma bisa garuk-garuk kepala.

Lima belas menit berikutnya kami akhirnya bertemu dengan pos I. Tak berselang lama, kami mendengar suara klintingan (kalung) sapi yang menandakan bahwa kami tiba di perkampungan penduduk.

Alhamdulillah, perjalanan kami menuruni gunung berhasil tanpa cacat sedikit pun. Di rumah penduduk paling atas dan paling akhir dari bawah, aku memutuskan untuk bermalam.

Pemilik rumah tidak keberatan aku menginap. Sementara yang lain memilih terus berjalan menuju posko terakhir, yakni Desa Senaru.

Menurut penduduk, tak jauh dari Desa Senaru terdapat tiga air terjun, yakni Sindang Gila, Tiu Kelep, dan Betara Lenjang. Konon ketiga air terjun tersebut memiliki keunikan dibanding air terjun pada umumnya. Kata penduduk, air Sindang Gila dapat menyembuhkan orang sakit kejiwaan.

Ah, peduli amat. Yang jelas malam itu aku memerlukan istirahat total guna memulihkan kondisiku.

Meski hanya tidur di atas ambin di alam terbuka, serta terpaan udara pegunungan yang membikin tubuh menggigil, aku tetap memaksakan diri untuk tidur.

Meski sudah tidak bersama pendaki, aku kini ditemani pemilik rumah.

Saat itu aku tak tahu bagaimana mesti menerangkannya, seolah-olah semua substansi padat dibawa diam-diam ke ruang gaib di sekitarku, melepaskan individualitasku dalam kekelaman yang maha gelap.

Malam itu tak ada satu pun awan yang menutupi bintang yang bersinar. Di sampingku cuma ada lampu suram yang menerangi kegelapan di sekitarnya. Menggapai-gapai dalam kegelapan untuk kesekian kalinya. Mungkin memang aku ditakdirkan untuk sendirian.

Esoknya aku bangun pagi sekali. Badan sedikit enakan, meski di sana-sini terasa linu-linu pada tulang persendian sehabis melakukan perjalanan jauh.

Di samping ambin tak kudapati siapa-siapa. Teman tak ada. Cuma aku sendiri. Pemilik rumah menyiapkan nasi jagung beserta tempe goreng dan sambal sak jumput.

Lumayan daripada tidak ada sama sekali. Kebaikan pemilik rumah tak mungkin kulupakan begitu saja. Sebelum pergi kutinggalkan sedikit uang sebagai pengganti atas kebaikannya yang bersedia menampungku. Setelah kurasa cukup, aku kembali melanjutkan perjalanan. Tujuanku: Bayan.

Perjalanan kali ini kutempuh bukan memutari tapi menyisiri Lombok Utara hingga Lombok Barat (Mataram).

Aku sengaja tidak mampir ke Unram. Kukira urusan dengan teman-teman Unram sudah cukup. Dalam hati paling dalam kusampaikan beribu terima kasih atas kebaikan mereka. Perjalanan berikutnya menyebrangi selat Lombok menuju Bali dengan menggunakan kapal ferry. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...