Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #37

Yogyakarta

Oleh: Noviyanto Aji

Kurogoh saku yang kutemui uang koin. Kukepyok-kepyok tangan, koin tersebut menghasilkan suara gemericik. Dompet kusibak-sibak yang nongol hanya tiga lembar uang sepuluh ribuan. Ransel kubuka malah tiada kudapati apa-apa.

Kembali aku dihadapkan pada sketsa-sketsa awal: kehabisan bekal.

Dengan sisa uang tiga puluh ribu hanya cukup untuk sekali perjalanan ke Yogya. Sementara perut mulai keroncongan. Hari itu aku pun memutuskan suatu perkara yang sudah berulang-ulang kulakukan: puasa.

Bukan bertujuan mencari pahala, tapi karena tiada biaya. Apalagi perpuasa juga ada untungnya bagiku. Kata kyai, lapar dan dahaga akan menjernihkan hati, sementara kenyang dengan makanan dan minuman justru akan membutakan hati.

Setelah berpisah dengan Kyai Sopo Nyono, pagi itu aku bertolak ke Yogya. Kuharap di sana aku dapat bertemu teman-teman. Harapanku: mereka dapat membantu kekuranganku. Namun yang terjadi justru di luar rencana.

Setiba di Yogya aku tidak mendapati apa-apa. Kududuk di Malioboro. Sebuah pesan singkat kusebar ke semua teman-teman yang kukenal. Tidak ada balasan. Sesekali kutengok handphone, masih kosong.

Pulsaku sendiri sudah mendekati ajal. Kupikir teman-teman sedang sibuk dengan pekerjaannya atau sengaja acuh tak acuh. Entahlah. Yang jelas setiba di Jogya sisa uangku mulai menyusut, sekarang tinggal lima belas ribu. Kalut. Bingung.

Seharian penuh aku duduk di bangku Malioboro. Melihat puluhan orang lalu lalang di depanku, pada akhirnya melahirkan gejala-gejala buruk yang setiap saat berubah-ubah mengikuti mood akibat rasa lapar, kesepian dan tertekan.

Pemandangan ini, bagiku, merupakan kehidupan dunia yang benar-benar tertutup bagi orang-orang yang jauh dari realitas: orang-orang putus asa.

Di situ aku melihat puluhan orang bagai berada dalam kerangkeng. Mirip kebun binatang berjalan. Ada gambaran manusia mirip ular yang senantiasa berputar-putar menunjukkan kegarangan dan selalu merasa lapar. Lalu disusul manusia berkepala kucing, yang senantiasa berbaik-baik hati terhadap sesamanya, dan ketika mereka lengah si kucing segera mencuri makanannya. Ada pula manusia berkepala domba, tiap kali diberitahu jawabannya selalu mengembik.

Gambar manusia bermoncong mirip buaya justru lebih banyak, siapapun yang mendekat pasti dilahapnya. Kemudian muncul manusia berkepala kera, menganggap dirinya mirip manusia. Yang membedakan kera asli berekor, manusia tidak.

Menurut Darwin dan menurut anggapan kera sendiri, dia adalah kerabat manusia, namun sikap dan polahnya tetap saja mencerminkan hewani yang beringas, buas, dan tidak berakal.

Kendati demikian, hanya segelintir orang saja kuanggap sanggup menghibur pendalamanku, yakni pemandangan wanita-wanita cantik yang berseliweran. Keberadaan mereka sedikit membantuku mengalihkan perhatian kepada yang namanya lapar.

Edi Tuban, Ari P, Ganung, Sari, Aan, atau siapa saja, cepatlah kalian balas SMSku. Sebab aku sudah tidak tahan menunggu di Malioboro, mondar-mandir kesana kemari tanpa tujuan. Di sini aku cuma menjadi penonton saja.

Setelah enam jam berlalu, sebuah SMS tiba-tiba masuk, “Sori coy, aku tadi baru selesai liputan, kamu dimana?” Orang yang pertama membalas adalah Ari.

“Aku di Malioboro.”

“Oke, tak meluncur ke sana.” Balasnya.

“Hai pren, gimana kabarnya. Maaf aku belum bisa menemuimu karena kerjaan menumpuk,” kali ini SMS yang masuk mulai berdatangan, seakan-akan mereka kompak mengerjaiku. SMS yang barusan masuk dari Edi.

Lalu disusul Ganung. SMS teman yang satu ini sedikit menyebalkan, “Ini kamu yang dulu kerja di media ya?”

SMS yang aneh, pikirku. Sudahkah dia lupa dengan sahabat lamanya. Tidak masalah. Yang penting dia sudah bersedia membalas smsku. Itu sudah melegakan.

SMS berikutnya yang masuk adalah Sari. Temanku ini kuliah di Yogya. Bunyi SMSnya begini,

“Mas, sori baru balas. Aku tadi lagi sibuk kuliah. Jadwalku sangat padat banget. Oh iya, Mas, sekarang posisi ada di Yogya ya. Mampir dong di kos-kosanku. Aku dah kangen nih. Aku kasih alamatnya ya. Ingat jangan dihilangkan. Aku kos di Jalan…”

Aan juga membalas SMSku. Yang ini balasannya malah tidak jelas dan membingungkan,

“Wah, piye kabare. Gimana kabarnya Yoga,” Yoga adalah adiknya, “katanya sedang di Bali, kok malah nyasar di Yogya.” Smsnya tidak menanyakan kabarku, jadi tidak kubalas.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Lama juga menanti Ari. Semakin sore jalanan Malioboro makin ramai. Beberapa pengamen mulai menampakkan hidungnya dengan alunan musik yang khas. Wanita-wanita cantik kian berseliweran, dan aku tak kuasa mendekati mereka. Kukira memandangi sudah lebih dari cukup. Kemana Ari, aku tengok handphone waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.

Sekarang sudah waktunya berbuka. Sebenarnya dari tadi aku bisa saja berbuka. Tinggal makan, beres. Toh, aku berpuasa bukan demi pahala melainkan keadaan yang memaksa. Namun berhubung aku sudah membuat komitmen, maka aku harus memastikannya sampai beduk magrib.

Sore itu aku berbuka hanya dengan air putih dan satu batang rokok. Aku sengaja menunda makan karena khawatir bekalku habis. Sebab aku tak mau berharap dari Ari, apakah dia akan datang menemui atau tidak. Seandainya tak jadi datang aku sudah siap jika harus menggelandang di Yogya. Setidaknya masih ada satu barangku yang berharga, yakni handphone Nokia 2600. Meski tidak buruk-buruk amat, sekiranya di pasaran model seperti itu masih dapat laku Rp 150-200 ribu.

Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya yang ditunggu tiba. Seorang laki-laki memarkirkan motornya dengan terburu-buru. Langkahnya tegap, diwibawai perawakan kukuh. Mungkin dahulu ia biasa melakukan olahraga berat atau memang faktor keturunan. Tingginya mendekati 175 cm, lebih tinggi dari aku. Cara berjalannya landai. Perawakannya sedikit macho. Seandainya dia lebih kekar, mungkin wanita-wanita akan jatuh dalam pelukannya. Rambutnya berbelah tengah, ada sedikit uban menyertai. Penampilannya lebih mirip wartawan, wajar karena dia memang seorang wartawan.

“Gimana kabarnya, Coy,” sapa Ari.

Ia menjabat tanganku, dan kubalas jabatannya dengan menggerak-gerakkan tangan.

“Kabarku apik-apik wae,” kami berbicara menggunakan logat Jawa.

“Katanya di Bali sama Yoga, kok malah nyasar ke sini. Mana Yoga?” Lagi-lagi pertanyaannya mengenai Yoga. Membosankan.

“Aku dan Yoga sudah berpisah dari Bali. Dia sudah pulang duluan. Aku…ah, pren, aku lapar nih!” Kataku tanpa basa-basi sambil memegangi perut.

“Belum makan. Kenapa tidak bilang dari tadi?” Sambut Ari.

“Dari tadi aku nunggu kamu.”

“Aku tahu tempat bagus. Kita kesana, yuk!”

Aku jadi makmum sajalah. Ari kemudian mengajakku ke sebuah café di Yogya. Entah apa nama jalannya, aku sudah lupa. Café tersebut tidak begitu besar. Tapi pengunjungnya sangat padat. Seluruh bangunan café terbuat dari bambu. Kesannya unik dan tradisional. Berbagai macam menu kupesan. Pikirku mumpung ada yang mentraktir.

Setelah menyantap makanan kami mulai berkangen-kangenan. Sebagai sahabat yang sudah lama tidak bertemu, Ari menceritakan pengalamannya ketika menjadi wartawan televisi. Obrolan semakin memanas manakala dia membelokkan persoalan ke arah asmara yang dialaminya.

Aku keki. Antara sahabat dan psikiater amatiran, kutampung semua curahan hatinya. Sebut saja Riri, demikian nama kekasihnya. Asalnya Surabaya. Menurut cerita mereka sudah menjalin hubungan selama 7 tahun.

“Wow, lama juga pacaranmu. Apa tidak ada keinginan untuk menikah?” Tanyaku.

Ari tidak langsung menjawab, tatapan matanya kosong. Kulihat bibirnya menggigil setiap kali menyebut nama kekasihnya.

“Itulah masalahnya, Coy!” Dia tiba-tiba diam. Suara musik yang kencang menyebabkan pendengaran kami terganggu.

“Emangnya aku tahu masalahmu?” Aku membalikkan pertanyaannya.

“Kami kan beda agama.” Ari diam lagi sembari menghembuskan nafas dalam-dalam.

Aku sudah tahu itu. Kurasa bukan itu masalahnya. Kawin beda agama sekarang sudah bisa disiasati. Aku merasakan ada suatu permasalahan pelik sedang menimpa Ari dan Riri.

Aku sebenarnya tidak mau dan tidak ingin tahu. Sebab itu bukan urusanku. Akan tetapi keadaan telah memaksaku untuk membuka kuping lebar-lebar mendengar curhatannya. Sepertinya cerita Ari takkan berhenti sebelum lonceng jam bertabuh dua belas kali. Saat itu hari masih sore, sementara makanan sudah kuhabiskan tiada tersisa.

Menurut Ari, permasalahannya terletak karena ketidaksiapannya menikah. Tanggung jawab sebagai suami dirasa Ari masih terlalu berat mengingat pekerjaan yang hanya seorang wartawan dengan gaji rendah.

“Orang menikah harus saling mengerti. Aku rasa Riri pasti akan mengerti dengan profesimu!” Nasehatku.

“Bukan cuma itu, Coy. Riri adalah tulang punggung keluarga. Jika aku menikahinya, berarti aku bukan cuma menghidupi dia melainkan juga keluarganya. Sementara pacarku sampai sekarang masih nganggur.”

Ini masalah besar. Kukira bukan urusanku mencampuri masalahnya. Aku tahu dia berusaha untuk jujur padaku, dan itu berhasil. Tapi untuk mendapatkan solusinya, aku rasa semua itu dikembalikan kepada yang menjalani.

Kukatakan kepada Ari begini, “Pren, itu semua kembali pada pilihanmu. Cuma kamu yang tahu permasalahan dan sekaligus jawabannya. Aku hanya bisa mendengarkan saja.”

“Ora popo, Coy!” Aku sedikit lega mendengar balasannya.

Semula kukira dia akan kecewa, tapi ternyata dia seorang yang gentleman. Namun satu hal yang tidak kusuka dari hubungan asmara mereka, yakni selama 7 tahun hubungan kasih tersebut dijalani tanpa ikatan suatu apapun. Dan selama itu pula mereka telah berkali-kali menjalin hubungan layaknya suami isteri.

Masalah kumpul kebo ini sempat kusinggung, bahkan secara terang-terangan Ari kusalahkan. Apa daya tangan tak sampai, kata-kataku seakan dengan mudah dimentahkannya. Sekali lagi ini bukan urusanku, dan tidak sepatutnya aku mencampurinya. Aku memang sudah berusaha menasehatinya. Hanya saja keputusan ada di tangan pribadi-pribadi yang menjalani.

Beruntung malam itu sebuah SMS tiba-tiba masuk di handphone Ari. Klasik, wartawan Surabaya dalam SMSnya mengatakan baru selesai liputan di Yogya. Permintaannya, Ari diharap segera menjemputnya di depan Unversitas Gajah Mada.

“Klasik SMS, aku disuruh menjemput,” kata Ari menunjukkan handphonenya padaku.

Ah, Klasik toh. Matur suwun teman, kamu telah mengirim SMS ke Ari. Sebab jika tidak begitu aku pasti sudah ‘dihajar’ Ari dengan curhatan yang tidak masuk akal. Malam itu kami menemui Klasik. Tiga teman lama akhirnya bertemu. Kami saling berbincang satu sama lain.

Kali ini persoalan bukan lagi mencakup asmara, melainkan tentang pekerjaan masing-masing. Untuk merayakan pertemuan, Ari mengajak kami ke Kaliurang. Di sana terdapat sebuah café cukup unik–sepanjang pengamatanku. Semua bangunan terbuat dari kayu jati; meja, kursi, dinding, tiang penyangga, hingga atap rumah.

Café tersebut juga menawarkan hunian atau tempat nongkrong dengan kesan masa lampau. Kulihat sepeda kuno rusak dipajang di pojok ruang tamu. Ada pula mainan dakon bergambar naga yang sudah usang diletakkan di atas meja. Entah apa gunanya. Perasaan di sini tidak ada anak kecil. Pengunjungnya kebanyakan anak-anak muda. Mungkin itu cuma pajangan saja.

Seketika mataku terpaku pada sekumpulan anak-anak muda mengelilingi sebuah alat hisap mirip sabu.

“Apa itu, Pren?”

“Shisha.” Jawab Ari.

“Sabu?”

Ari menggeleng. Klasik cuma diam, mungkin pikirannya sama denganku.

Jujur, baru kali ini aku melihat shisha. Siapa pula penggagasnya. Pasti sekarang ini banyak anak-anak muda Yogya yang sedang keranjingan sabu-sabu. Mengingat barang tersebut diharamkan, maka mereka menciptakan alat hisap mirip sabu. Kalau shisha dilegalkan, kenapa bisa sampai seramai itu. Adakah shisha memiliki kelebihan seperti sabu? Aku sendiri pernah sekali nyabu, sewaktu diajak teman-teman sekampung. Itu pun sekedar ingin tahu. Kalau dipikir-pikir sabu sangat tidak baik bagi kesehatan dan tentunya kesehatan dompet. Hanya dalam sehari mengkonsumsi sabu, badanku langsung turun 5 kg.

Dampak dari sabu yang kurasakan, saat itu aku tidak tidur selama tiga hari. Selama itu aku terus-terusan bekerja tanpa mengenal lelah. Yah, boleh dibilang sabu adalah doping yang kebablasan. Tapi tetap saja membawa dampak buruk bagi kesehatan. Lihat saja berapa banyak artis-artis yang terjerat kasus sabu. Pada akhirnya mereka hanya bisa menyesali diri dari balik terali besi. Sungguh disayangkan. Dan kalau pun shisha seperti sabu, kurasa tidak ada baiknya dicoba.

Ari mencoba mengeles pertanyaanku, “Apa kamu yakin ini bukan sabu?”

“Tenang saja, Coy, ini bukan sabu seperti yang kamu pikir. Shisha adalah alat hisap dari Turki. Baru-baru ini shisha meramaikan Yogya sekedar teman cangkruk saja.”

Mendengar kata-kata Ari aku sedikit lega, pun Klasik yang dari tadi diam kali ini mengumbar omongannya.

“Berapa harganya untuk sekali shisha?” Tanya Klasik.

“Tergantung rasanya, ada yang lima belas ribu, ada pula yang tiga puluh.” Jawab Ari.

Kami segera memesan shisha dengan rasa mangga. Tak lama shisha pun datang. Bentuknya cukup antik. Tingginya tak lebih dari satu meter. Bagian bawah terbuat dari gelas atau kaca yang diisi dengan air es. Air tersebut juga telah dicampuri rasa berbagai buah-buahan. Sepintas mirip juice. Di bagian tengah dilengkapi satu selang sepanjang satu meter dan tiga pipa hisap yang digunakan menyedot secara bergiliran. Memanjang ke atas terdapat semacam lempengan terbuat dari aluminium menyerupai tutup cangkir menghadap ke atas. Lempengan ini berfungsi untuk menampung abu dari arang yang tumpah. Memang di bagian paling atas terdapat arang panas dilapisi kertas aluminium tipis. Dan ketika kita menghisap selang, maka yang tampak arang panas bergerak-gerak naik turun. Sesekali arang dibolak-balik agar tidak mati.

Menghisap shisha sepertinya dapat menghentikan kebiasaan merokok. Bagaimana tidak, menghisap shisha sama dengan merokok. Sama-sama mngeluarkan asap. Bedanya, shisha harus dihisap dalam-dalam kemudian dilepaskan pelan-pelan. Dari situ kita dapat pula merasakan aroma rasa buah-buahan. Sepintas penggunaannya memang mirip sabu. Cuma dia tidak menimbulkan reaksi apa-apa.

Aku sendiri merasakan shisha hanya sebuah alat penghisap biasa untuk melatih nafas. Selain itu, dia tak lebih sebagai teman nongkrong saja. Namun demikian kesan yang kudapat bersama teman-teman sangat luar biasa. Menghisap shisha dengan suasana Yogya, membuat kami betah untuk berlama-lama di Kaliurang.

Selama hampir empat jam kami ditemani shisha. Bahkan Klasik sempat mengabadikan momen tersebut dengan kameranya. Sayang, ketika lonceng bertabuh dua belas kali, acara shisha terpaksa kami sudahi. Klasik minta diri diantarkan ke terminal, sebab besok dia harus tiba ke Surabaya untuk mengejar deadline. Malam itu kami bertiga berkendara mengelilingi Yogya.

Setiba di terminal, Klasik kami turunkan dan kami segera bertolak menuju Sleman–tempat indekos Ari.

Kos-kosan Ari lumayan besar, tapi sangat berantakan. Buku-buku berserakan kemana-mana. Beberapa buah vcd, termasuk vcd porno nampak terlepas dari wadahnya. Pakaiannya carut marut meninggalkan aroma tidak sedap. Sprei kasur berantakan. Kulihat ada bercak-bercak putih, pun di bantal dan guling. Mungkinkah bercak sperma?

Ah, kau bisanya cuma menduga-duga. Di pojok kamar terdapat sebuah komputer yang sepertinya jarang digunakan. Pemiliknya sudah memberi tambahan komponen sehingga dapat distel televisi.

Aku melihatnya masih sebatas wajar, namanya juga bujangan. Tapi yang aku tak habis pikir, di sini Ari mengambil dua kamar. Satu untuknya, satu lagi buat Riri. Tempatnya bersebelahan.

Mendengar hal itu, satu-satunya yang muncul dalam benakku adalah kumpul kebo. Saat kutanya kemana pacarnya, Ari menjawab Riri sedang pulang ke Surabaya.

“Mungkin lusa dia ke sini.” Jawabnya.

Meski Ari tidak menjelaskan, tapi aku sangat paham watak temanku itu. Dia tidak ingin dikatakan kumpul kebo, jadi dia mengambil dua kamar yang sewaktu-waktu dapat digunakan indehoi bersama. Ah, kau, masih belum berubah juga. [bersambung]

Komentar
Loading...