Terkait ‘Big Data’ Penundaan Pemilu, PRIMA Minta Menko Marves Pahami Sistem Hukum Indonesia
REKAYOREK.ID Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) meminta kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk memahami kembali konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Wakil Ketua Umum PRIMA, Alif Kamal mengatakan, Menko Marves gagal paham dalam memaknai aspirasi masyarakat dan ketentuan pembentukan maupun perubahan produk hukum di tanah air.
Sebelumnya, dalam sebuah siniar melalui platform youtube, Luhut mengklaim bahwa berdasarkan analisa big data percakapan di media sosial, 110 juta orang di Indonesia mendukung penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Dia menilai aspirasi dari masyarakat itu merupakan salah satu bagian dari demokrasi. Terkait implementasinya hal itu menjadi ranah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memiliki kewenangan untuk mengubah dan mengamandemen UUD 1945.
Menurut Alif, pernyataan salah satu Menko dalam kabinet pemerintah dalam kabinet tersebut salah kaprah. Sebab, Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, aspirasi masyarakat yang berlandaskan pada kesimpulan analisis big data belum bisa dijadikan dasar untuk melakukan amandemen UUD 1945.
“Menko Marves harus memahami lagi sistem hukum di Indonesia, big data belum bisa dijadikan dasar untuk membentuk atau merubah produk hukum,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/3).
Alif mengungkapkan, analisa big data yang digembar-gemborkan pemerintah belakangan ini terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya klaim saja. Pasalnya, sampai saat ini belum pernah dibuka hasil analisisnya kepada publik.
“Jadi, tidak salah jika ada anggapan bahwa kesimpulan big data itu hanya klaim belaka,” tukasnya.
Selain itu, menurut Alif, aspirasi masyarakat yang diambil melalui platform media sosial memang merupakan salah satu bagian dari demokrasi. Namun, sikap pemerintah tersebut berbanding terbalik saat adanya penolakan masyarakat terhadap Omnibus Law dan RUU KPK yang mendapatkan banyak perlawanan dari sebagian besar elemen bangsa.
“Kenapa waktu jutaan rakyat menolak Omnibus Law dan RUU KPK melalui percakapan media sosial dan aksi massa pemerintah tidak bergeming? ini juga kan demokrasi,” ucapnya.
Alif memandang, demokrasi hanya digunakan jika sesuai dengan kepentingan pemerintah saja. Penolakan atas kebijakan pemerintah sebelumnya tidak dianggap sebagai bagian dari demokrasi dan harus ditanggapi segera.
“Pemerintah memaknai demokrasi jika sesuai dengan kepentingannya saja. Penolakan kebijakan lainnya tidak dianggap bagian dari demokrasi,” tutupnya. (ima)