Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #4

Restumu Ibu

Oleh: Jendra Wiswara

Berkelana ke pulau yang sama sekali tak kukenal kehidupan masyarakat serta budayanya, bikin miris. Salah melangkah bukan tidak mungkin caci maki didapat.

Sebenarnya kedatanganku ke Bali bukan sekedar sebagai juru warta, tetapi sekaligus sebagai tempat pelarian.

Selama ini janji Kayla di depan makam ibunya telah membuat ruang gerakku terhambat. Ingin sekali kubongkar makam ibunya dan membisikkan kata-kata bahwa keputusan anaknya salah besar.

Sempat pula terbesit pikiran seandainya Nabi Isa masih hidup akan kuminta dia menghidupkan ibu Kayla agar menasehati anaknya yang sesat. Janji seribu hari Kayla bukan jalan keluar menyelesaikan masalah, justru mendatangkan kemudhratan bagi diri maupun orang lain.

Satu yang pasti janjinya tidak bakal menghidupkan orang mati. Hubungan antara yang hidup dan mati sudah terputus sejak nyawa mereka (yang mati) terlepas dari jasad. Manusia bukan tempatnya tobat dan berserah diri.

Berkabung boleh saja. Tapi jangan terus-terusan bersedih, apalagi sampai membatasi diri dengan janji-janji aneh bin gila.

Saat itulah cemburu tiba-tiba mengamuk. Kehidupan kami yang tenang terusik oleh keterancaman janji-janji. Untuk sekali ini dan selama-lamanya.

Kalau hati sudah mulai cemburu begini, tak ada kata-kata bijaksana, tak ada alasan tepat dapat menyembuhkan. Cemburu hati menjadi cakar yang makin dalam mencengkram.

Yang jelas cemburu memang punya hukumnya sendiri. Dia api penggerumit membakar sekam, ada atau tanpa sekam. Orang hanya merasakan panasnya.

Biar begitu aku sempat iri terhadap ibunya Kayla. Betapa indah bila aku mati dirindui oleh orang-orang tercinta. Sayang aku tak bisa menyertai hati Kayla. Bahkan kutak sampai hati menggerakkan janji-janjinya.

Dalam hatinya, seluruh atau separuh daripadanya, bukan menjadi hakku. Kiranya hubungan kami memasuki babak awal dari akhir.

Dia bisa saja makin lama semakin jauh, sampai kemudian tak lagi berpapasan. Dia telah hilang dalam sorongan semangat akan janji-janji yang dibuatnya sendiri. Barangkali dia tetap mencintai ibunya, juga arwahnya. Entah kenapa tiap membicarakan dia, aku jadi sentimental.

Kayla, ah, kau, Kayla!

***

Aku sering pergi ke makam ayah, adik dan nenekku. Hubunganku dengan yang mati hanya sebatas pengingat sajaMereka yang mati sekedar daging yang telah membusuk, sementara ruh mereka telah kembali ke Sang Khaliq. Semua makam yang kuhadiri cuma mengingatkanku pada kematian saja, tak lebih.

Inilah alasan mengapa aku sangat getol menentang janji-janji Kayla. Ayahku sudah mati, adikku sudah lebih dulu, nenekku belum setahun kemarin, ibunya Kayla pun sudah menjadi tulang belulang. Kiranya kematian kelak akan tersenyum pada kita semua. Nanti, ada saatnya dimana manusia bisa membalas kematian dengan senyuman pula. Untuk saat ini kita manusia hanya bayangan dan debu. 

Kayla pernah bilang takut hidup sendirian setelah ditinggal pergi ibunya. Dia bingung hendak ikut siapa. Pikirannya mementahkan prinsip hidupnya sendiri. Padahal dia masih punya bapak, kakak, dan adik.

Bagi perempuan seusianya, ketakutan Kayla tidak cukup beralasan. Waktu itu kukatakan kepadanya bahwa hidup manusia bukan milik manusia lain selain dirinya. Jujur kuakui selama ini aku tak pernah ikut siapa-siapa. Orang tuaku hanya tempat singgah saja. Jadi, ketika mereka tiada nanti, aku sudah sanggup mengikhlaskannya.

“Kau tahu siapa yang kuikuti sekarang?” Tanyaku kepada Kayla.

Dia adalah nyawaku yang selalu membawaku kemana-mana. Jadi kenapa kau harus takut. Bukankah kita akan selamanya bersama Allah.

Seandainya kau ditimpa cobaan, jangan pernah anggap hal tersebut sebagai cobaan sebab cuma akan membawamu kepada keputusasaan. Anggap saja sebagai ujian sebab bebanmu akan berkurang dan menjadi ringan seringan kapas.

Selama ini aku berusaha menunggu Kayla. Waktu tiga tahun terasa membosankan. Mendadak saat itu singgah sebuah jawaban, yang seolah-olah merupakan bagian dari pertanyaanku: aku muak dengan penantian serta janji-janji.

Bagiku tiada hari esok atau kemarin selain hari ini. Semua semu. Apa nanti Kayla bakal menjadi jodohku, aku rasa terlalu dini menyimpulkannya. Sampai sekarang pun kerahasiaan jodoh masih di tempatnya dan belum terusik dari tangan-tangan jahil manusia. Begitu pula kematian, mengorek-ngorek kematian seakan mengorek asal mula manusia diciptakan.

Saat itulah sebuah angan menyuruhku mengembara sampai ke tempat-tempat jauh, menyebrangi lautan, berkeliling kota, menjumpai berbagai macam manusia. Keinginan meninggalkan orang tercinta benar-benar tak terbendung.

Menjadi jurnalis di Pulau Dewata merupakan satu perwujudan diri menggapai angan-angan. Untuk mencapai semua itu aku harus mendapat restu ibu.

“Bali!” Seperti menerima bongkahan batu, ibu kaget mendengarnya.

Maklum selama ini beliau tak pernah melarang segala keinginanku, apakah kali ini ibu merestui. Sebab sebelumnya aku pernah merantau ke Jakarta, juga sebagai jurnalis. Selama hampir delapan bulan di Jakarta, ternyata ibukota masih terlalu sesak bagi orang-orang sepertiku.

Gendon, anak asli Jakarta juga teman seperjuangan di RAR, kerap menghujamku dengan ejekan menghina. Katanya aku telah gagal menaklukkan Jakarta. Wajar saja karena Jakarta selalu menjadi barometer segalanya: politik, perdagangan, ekonomi, bisnis, hiburan, fashion, dan media.

Kata gagal tiba-tiba menjadi momok menakutkan sekaligus perlambang bahwa aku seorang pecundang. Sejak mengenal Gendon pandangan kami selalu beda, satu lari ke barat, satu lagi ke timur. Sejujurnya kami bagai langit dan bumi. Maka, ketika kata gagal dilontarkan ke jidatku, bumi serasa bergoncang.

Kubilang ke dia, “Kamu bilang aku gagal, bagaimana dengan kamu. Aku ingin lihat apa kamu sanggup menaklukkan Surabaya. Buktinya belum apa-apa kamu sudah menyerah dan balik ke Jakarta tanpa kabar.

Sebanyak apapun idemu digelontorkan tak bakal sanggup menggoyahkan Surabaya. Surabaya memang bukan barometer segalanya, tapi Surabaya bakal menjadi momok menakutkan bagi orang-orang asing seperti kamu.

Kotaku akan sangat misterius karena dihuni dua tipe manusia; golongan orang-orang pesisir dengan pemikiran individual, dan golongan orang-orang pegunungan yang selalu mengedepankan urusan ukhrowi.

Untuk sesaat aku berhasil membungkam mulutnya yang lebar itu. Dasar egonya terlalu tinggi, perdebatan demi perdebatan tak kunjung usai. Siapa pemenang siapa pecundang, tak ada yang peduli karena memang tidak ada penonton maupun juri. Bahkan perdebatan (kadang) bukan lagi mengenai personal, melainkan melibatkan tempat kelahiran dan asal: Surabaya versus Jakarta.

Biarlah Gendon bangga bersama ide serta pandangannya, sementara aku lebih senang menikmati duniaku.

***

Walau berat melepas kepergianku akhirnya ibu merestui.

Saat itu tanggal 5 April 2007, malam terasa menjemukan. Seperti biasa keadaan rumah sepi senyap. Sepeninggal ayah, kondisi rumah tak lagi ramai.

Canda tawa musnah dimakan waktu. Obrolan orang pinggiran juga tidak ada. Lebih-lebih suara berdeham ayah tinggal kenangan. Pun bau asap rokok tak lagi sahut-menyahut, kecuali asap rokokku yang menyembul sendiri ke langit-langit.

Sementara suara derap langkah kaki anak kos di lantai dua masih sering terdengar, sebentar muncul sebentar hilang. Canda tawa mereka menunjukkan kecuekan super tinggi. Mereka lebih mementingkan urusan anak muda ketimbang peduli dengan perpisahan kami.

Malam itu menjadi malam terakhir antara aku dan ibu. Sambil menikmati makan malam di meja makan, kami saling berbagi rasa.

Ibu masih tak bosan-bosan mempengaruhiku dengan masalah nikah dan cucu. Kubilang: ibu tak perlu kuatir, jika Kayla bakal jadi calon mantumu, ia takkan lari.

Malam itu aku resmi mendapat restu ibu.

Demikianlah awal perjalananku, tak pernah menyimpang dari prinsip umum yang telah ditetapkan.

Berikutnya adalah urusan membosankan seperti mengepak pakaian dan tetek bengek lainnya. Tak lupa aku membawa sejumah uang. Saat itu yang kupunya Rp 600 ribu, entah cukup entah tidak. Tugas utamaku sebelum berangkat adalah memeriksa kondisi motor dan mempelajari rute perjalanan, takutnya terjadi apa-apa di jalan. 

Sekarang tinggal Yoga.

Bagaimana cara dia meminta ijin ke isterinya. Haruskah mencium kaki sang isteri agar diijinkan pergi, aku rasa itu berlebihan. Pantang bagi temanku yang satu ini menyembah orang, kecuali menyembah makhluk halus di tempat angker dan keramat.

Yoga memang gemar mendatangi tempat bersejarah dan angker, semisal kuil, petilasan, gedung-gedung kuno, dan makam. Katanya kalau belum berinteraksi dengan sang penunggu belum marem. Kalau sudah duduk bersila dan mempertemukan kedua telapak tangannya, dia bagai pertapa yang berlutut di kaki dewa selama bertahun-tahun. Kebiasaan aneh.

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...