Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #34 – Season 2

Isi Buntelan

Oleh: Jendra Wiswara

Pada kisah sebelumnya Nunuk berhasil lepas dari cengkraman Gendro Swara Pati. Namun dia harus berpisah dengan Sahid. Suaminya itu pergi. Menghilang begitu saja. Mengembara jauh. Sebelum pergi Sahid sempat menitipkan pesan pada Nunuk agar mengunjungi Demak. Pesan itu ada di buntelan yang ada di surau. Di season 2 ini akan diceritakan susah payah perjalanan Nunuk bertemu kembali dengan Wali Allah tersebut hingga akhirnya dia diajak pergi haji hanya dalam kedipan mata.

——-

Hutan di bawah kaki gunung Penanggungan sudah tidak angker lagi. Dia sudah mengetahui ribuan jin yang menghuni hutan tersebut. Sejak Sahid memerintahkan mereka menampakkan wujud, di situlah Nunuk melihat secara kasat mata wujud para jin.

Semua yang tampak di mata Nunuk makhluk menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia. Di situ pula Nunuk untuk pertama kalinya melihat sesosok makhluk halus yang selama ini bersemayam di tubuhnya. Gendro Swara Pati.

Yang tidak disangka-sangka, ribuan jin itu tunduk pada Sahid. Tidak ada mantera, ritual, ajian, maupun ilmu. Sahid begitu saja bicara pada mereka. Dan, semua tunduk.

Demikian pula dengan Gendro Swara Pati. Makhluk halus yang telah menumbalkan enam suami Nunuk, begitu mudahnya takluk di hadapan Sahid. Bahkan, Wali Allah itu dua kali menampar wajah Gendro Swara Pati hingga membuatnya terguling-guling dan meninggalkan bekas luka seperti terbakar di wajahnya.

Dan seperti pesan Sahid, yang namanya jin akan terus menggoda anak manusia. Mungkin saat ini Gendro Swara Pati tidak akan berani kembali merasuki tubuh Nunuk dan menumbalkan manusia terakhirnya, tetapi dia bisa saja mencari tubuh baru. Yang lebih segar, yang mudah digoda, yang imannya lemah, sebagai wadah tumbalnya.

“Saya yakin Gendro Swara Pati tidak akan berani menggoda lagi. Sebab Mas Sahid berjanji akan memerangi dan membakarnya jika suatu kali kembali menggoda istrinya. Saya yakin Gendro Swara Pati sudah kapok. Makhluk halus itu tidak lagi berada di hutan. Bersama pengikut-pengikutnya, Gendro Swara Pati telah pergi jauh. Sejak Mas Sahid mengancam, ikatan saya dengan Gendro Swara Pati langsung terputus. Saya tidak bisa lagi merasakan keberadaannya.”

Bagi Gendro Swara Pati, tumbal manusia selalu membuatnya semakin kuat dan abadi. Sebaliknya tanpa tumbal, Gendro Swara Pati akan lemah dan kemudian mati. Karena itu, Gendro Swara Pati pasti akan kembali mencari wanita-wanita baru yang akan dijadikan bahu laweyan berikutnya.

Sahid tahu itu. Lalu mengapa dia malah melepas Gendro Swara Pati? Bukankah Sahid mampu membakar makhluk tersebut atas se-izin Allah?

Pesan Sahid pada Nunuk, dirinya tidak berhak mencabut nyawa sesama makhluk Allah. Tujuan jin adalah mengganggu anak manusia. Selain sebagai penggoda, juga sebagai penguji seberapa kuat iman manusia. Lemahnya iman membuat manusia tergelincir dalam tipu muslihat jin dan sebangsanya.

“Mas Sahid menjelaskan, saat ini banyak manusia masuk dalam perangkap jin. Semua karena imannya lemah. Mereka memilih jalan pintas untuk meraih urusan duniawi ketimbang ukhrawi. Ada yang mencari jalan pesugihan dengan menumbalkan orang-orang terdekatnya. Semua memiliki resiko.”

Beruntung Nunuk bisa terlepas dari jeratan Gendro Swara Pati. Kendati begitu, perempuan bahu laweyan itu tetap merasakan pengalaman pahitnya akan selamanya membekas. Dosa-dosa yang telah dia perbuat, mungkin tidak termaafkan.

“Saya hanya bisa meminta ampun pada Allah Swt. Saya tahu perbuatan ini tidak termaafkan. Saya tahu betapa banyak dosa telah saya perbuat. Dan dsa-dosa itu akan terus saya bawa hingga mati.”

Nunuk baru menyadari segala perbuatannya, bahwa selama ini dia telah dimanfaatkan Gendro Swara Pati. Pikiran-pikirannya selalu dirasuki keburukan demi keburukan. Setiap langkah yang diambil, selalu mendatangkan kesesatan. Demi terlepas dari cengkraman Gendro Swara Pati, Nunuk rela menumbalkan orang-orang terkasih.

Tumbal tujuh manusia itu bisa jadi akal-akalan Gendro Swara Pati supaya Nunuk terus-terusan menyediakan tumbal bagi makhluk jahat tersebut. Yang namanya jin tidak akan puas dengan tujuh tumbal manusia. Pasalnya, tumbal-tumbal itulah yang memang diinginkan Gendro Swara Pati sebagai santapannya.

“Saya yakin tumbal Gendro Swara Pati tidak berhenti di tujuh orang saja. Dia akan terus meminta tumbal untuk memuaskan dahaganya. Andai saja waktu itu saya mengetahui sejak awal, mungkin sepeninggal suami pertama, saya putuskan untuk tidak menikah lagi. Celakanya, saya malah terhasut dalam rayuan Gendro Swara Pati. Banyak tipu muslihat dilakukan makhluk jahat itu agar saya dapat menyediakan tumbal manusia.”

***

Kini, Nunuk telah terbebas dari Gendro Swara Pati. Malam itu, sepeninggal Sahid, Nunuk merasai dirinya seperti menjadi manusia baru. Seperti menghirup udara baru. Dihirupnya udara itu dalam-dalam dan membiarkannya masuk ke rongga paru-paru. Dibentangkannya kedua belah tangannya seperti sedang terbang. Plong!

Nunuk mulai meraskaan kebahagiaan berkembang di dalam dadanya. Seperti ada dunia baru membentang di depannya, dengan gunung memperlihatkan keperkasaan, dengan sungai menunjukkan kejernihan, dengan kepulauan dan perairan menampilkan beribu-ribu cakrawala.

Berdiri di depan rumah sekaligus warung, Nunuk merasakan udara sejuk berhembus di sela-sela rimbunan pepohonan. Sungguh segar. Sepertinya, hanya kesegaran udara itu saja yang ada. Begitu pula dengan kehidupan Nunuk, seperti menyiratkan sebuah kesegaran.

Kehidupan itu bagai pintu. Untuk membuka, maka harus dicari dulu kuncinya. Nunuk serasa telah menemukan anak kunci dan bersiap membukanya. Menuju kehidupan baru. Tanpa ada gangguan makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya.

Nunuk mulai tenggelam dalam keluruhan diri. Berulang kali dia menyebut nama Tuhannya. Pencipta semesta alam. Pencipta alam nyata sekaligus alam gaib. Pencipta segala urusan di dunia dari terkecil hingga terbesar. Nunuk seperti halnya para sufi yang selalu dimabuk cinta terhadap kekasih. Para sufi tidak akan mendengarkan kata-kata orang, kecuali kata hatinya sendiri.

Di saat sedang bercengkrama dengan Tuhannya, perempuan bahu laweyan itu tiba-tiba teringat dengan Sahid. Bayangan wajah Sahid mulai terlihat. Pelan. Lalu membentuk bayangan wajah utuh. Tergambar di depan Nunuk, wajah itu betapa elok dipandang. Wajah yang akan dihormatinya untuk sekarang dan selama-lamanya.

“Suamiku, betapa cepat kamu meninggalkanku. Baru beberapa waktu lalu kamu pergi, tapi aku sudah dibayang-bayangi kerinduan padamu, Mas. Aku rindu kamu atas nama Allah. Aku rindu saat kamu menjadi imamku. Bacaan ayat-ayat suci yang kamu lantunkan itu membuatku luruh. Aku rindu saat berbicara denganmu di surau. Aku menggunakan bahasaku, kau membalasnya dengan bahasa batin saat tidur,” gumam Nunuk.

Lalu terlintas di benaknya pesan terakhir Sahid. Sebuah buntelan. Buru-buru Nunuk berlari ke surau. Pekatnya malam tidak membuat Nunuk kesulitan mendekati surau.

“Buntelan itu. Apa isinya?” Batinnya bertanya-tanya.

Penerangan di surau sudah padam. Sepertinya minyak lampu habis. Nunuk memaksakan diri masuk surau. Meski tanpa penerangan, dia mencoba untuk mencari buntelan tersebut.

Perlahan. Langkahnya teratur. Suara kriek-kriek kakinya menginjak lantai kayu terdengar nyaring. Nunuk menggerayangi seluruh surau. Layaknya orang buta, dia meraih apa saja yang bisa diraih.

Yang dicari tidak ketemu. Buntelan tidak ada. Kebingungan menyergapnya.

Perempuan bahu laweyan itu memutuskan keluar surau dan kembali ke rumah mengambil minyak. Hatinya mulai tidak tenang. Takut buntelan hilang. Maka, akibatnya tidak bisa dia tanggung.

“Buntelan itu adalah amanah dari Mas Sahid. Saya tidak tahu isinya. Sewaktu saya cari di surau tidak ada. Saya takut telah mengkhianati amanah suami.”

Kembali ke surau, Nunuk membawa minyak dan korek api.

Lampu petromak diisi minyak hingga penuh. Nunuk tidak sabar. Korek api dinyalakan pada sumbu lampu. Cahaya pun kembali menerangi surau. Dia celingukan ke sudut-sudut surau. Hatinya makin gelisah saat tidak menemukan buntelan.

“Ya Allah, ke mana buntelan itu,” gerutunya.

Di depan pengimaman tidak ketemu, pojok-pojok surau juga tidak ada. Seluruh sajadah dibongkar, dikibas-kibaskan. Barangkali buntelan tertutup sajadah. Tidak ketemu juga.

“Mas Sahid, ke mana kamu simpan buntelan itu,” pikiran Nunuk mulai kacau. Berkali-kali dia menggaruk rambutnya. Mencoba mengingat pertemuan pertama dirinya dan Sahid di warung saat membawa buntelan kain usang berwarna abu-abu. Biasanya buntelan itu dipakai Sahid sebagai bantal.

Yah, Nunuk ingat. Cuma sekarang di mana buntelan itu. Seluruh isi surau sudah digeledah. Tidak ada.

Akhirnya perempuan bahu laweyan itu menjatuhkan diri. Surau seperti menyempit. Bersamaan itu dadanya terasa sesak. Nafasnya memburu hebat. Lambat laun airmata mulai menetes di pipi. Sesenggukan.

Lihat, Nunuk sedang menangisi buntelan yang dia sendiri tidak tahu isinya. Dia menangis karena buntelan itu merupakan amanah dari sang suami. Buntelan itu bukti kesetiaan pada sang suami. Menghilangkannya sama saja tidak bisa menjaga amanah, walau bukan Nunuk penyebab hilangnya buntelan tersebut.

Buntelan itu adalah kepercayaan. Tanpanya, hidup Nunuk serasa berputar-putar siang malam pada satu sumbu, dalam ruang dan tingkatan yang sama. Dan berakhir, pada itu-itu juga. Hampa.

Perasaan Nunuk hancur karena tidak menemukan buntelan. Menangis dia sekencang-kencangnya. Namun tidak lama. Tangisan itu segera terhenti. Sebab tanpa sadar saat mendongakkan kepala ke langit-langit surau, dia melihat buntelan itu berada di sana. Diletakkan si empunya di atas jepitan kayu atap.

Nunuk buru-buru mengusap airmatanya dengan tangan. Diraihnya buntelan. Lalu dipeluknya erat-erat seperti memeluk sebuah harapan.

“Buntelan ini, apa isinya?” Gumamnya penasaran.

Pelan-pelan buntelan dibuka.

“Bismillah!” Serunya.

Tidak ada isi berarti di dalamnya kecuali satu pakaian kusut dan lusuh. Pakaian itu yang dipakai Sahid saat pertama kali tiba di warung. Dan pakaian itu juga yang dipakai sehari-hari tanpa pernah ganti. Perempuan itu tidak merasai bau apa-apa. Tidak apek, tidak juga harum.

Nunuk kembali membongkar isi buntelan. Tidak menemukan apa-apa. Namun saat buntelan diangkat dan digoncang-goncangkan, secarik kertas jatuh ke lantai. Di kertas itu terdapat sebuah tulisan. Sayangnya, Nunuk tidak bisa membacanya.

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...