Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

TUKANG BIKIN ONAR

Cerita Tentang Saudara Kita Papua

REKAYOREK.ID – Punya pengalaman buruk dengan orang Papua? Saya sudah. Mulai dari kamera dirampas, dihadang dengan parang dan panah, hingga ancaman pembunuhan. Semua pelakunya adalah orang-orang yang sedang kami filmkan. Padahal filmnya sendiri justru sedang mengangkat kisah mereka.

Yang saya maksud adalah pengalaman memproduksi “Alkinemokiye” tahun 2011 di Timika dan Jayapura.

Kerumunan karyawan Freeport asal Papua sedang memblokade pintu masuk perusahaan di dekat bandara Mozes Kilangin, Timika. Mereka tahu saya sudah kenal dan datang bersama seorang pengurus serikat pekerja yang juga putra daerah. Tapi kamera tetap dirampas dengan alasan “identitas yang tidak jelas”. Saya menunggu tapi tidak beranjak dari lokasi. Lama-lama kamera itu dikembalikan sendiri. Sebagai orang yang baru pertama ke Papua, saya anggap saya sedang sial.

Tapi peristiwa kedua, membuat saya tak habis pikir. Ini terjadi saat mewawancarai seorang karyawan Freeport asal Papua di kampung mereka sendiri, di Utikini Baru, Mimika. Saya sudah berinteraksi dengan keluarga itu, sudah masuk dapurnya, bermain dengan anak-anaknya, dan akhirnya melakukan wawancara.

Tapi sungguh terkejut, ketika mendapati orang yang sama, termasuk dalam rombongan yang menghadang saya dengan parang dan panah, dengan alasan curiga terhadap orang asing yang keluar masuk perkampungan karyawan.

Ketika saya diinterogasi di bawah tekanan parang, tak sepatah kata pun yang beliau ucapkan untuk ikut menjelaskan apa yang saya lakukan. Ia bahkan ikut membawa panah. Nalar saya diaduk-aduk.

Puncaknya adalah saat memfilmkan karyawan lain di halaman rumahnya. Seorang pria datang dan ikut mendengarkan wawancara. Artinya ia tahu bahwa saya sudah diterima oleh tuan rumah. Tapi tak ada angin, tak ada hujan, ia meminta agar wawancara dihentikan atau “kamu akan saya bunuh”. Pemilik rumah, yang notabene narasumber saya, juga tidak berkata apa-apa.

Beruntung, seorang pengurus serikat pekerja yang mengantar, akhirnya menjelaskan apa yang sedang saya kerjakan. Hasilnya luar biasa, pria itu meminta maaf dan memeluk-meluk saya. Dalam hitungan menit, seorang calon pembunuh telah berubah menjadi pribadi yang hangat.

Dengan pengalaman beruntun ini, saya menolak ketika keesokan harinya diajak oleh seorang Papua untuk memfilmkan proses pemakaman karyawan Freeport yang tewas tertembak saat unjuk rasa. Saya menyimpulkan, mengenal dan bersama beberapa orang lokal, bukan jaminan akan “selamat” dari yang lain. Apalagi, pemakaman seorang karyawan yang tertembak adalah momen yang sangat emosional dan berpotensi menimbulkan kemarahan-kemarahan massa yang dilampiaskan kepada orang-orang tertentu yang berkarakter “out group”.

Tapi cerita belum selesai. Di Jayapura, kaset kami dirampas oleh tentara non-Papua, karena merekam adegan-adegan kekerasan saat Kongres Rakyat Papua III.

Berbeda dengan perampasan pertama yang dilakukan karyawan Freeport tapi dikembalikan dalam hitungan menit, kali ini tentara non-Papua merampasnya sampai dua hari.

Tapi dari semua rangkaian kejadian itu, yang masih membuat penasaran adalah bagaimana mungkin kita sudah diterima sebagai tamu, tapi dalam perjalanan pulang dihadang oleh tuan rumah, dan bahkan diancam bunuh tanpa pembelaan dari tuan rumah.

Pengalaman dengan orang Papua itu saya simpan karena malu jika dibandingkan dengan apa yang dialami Theys Hiyo Eluay.

Iya, dia orang Papua.

Pada 10 November 2001, Theys diundang ke markas Kopassus di Hamadi untuk memperingati Hari Pahlawan. Theys pun datang sebagai tamu, diantar sopirnya, Aristoteles Masoka. Sebagai tamu, Theys dijamu oleh Dansatgas Kopassus, Letkol Hartomo.

Akhir ceritanya, kita sudah sama-sama tahu: tuan rumah dan kawan-kawannya terbukti membunuh sang tamu. Sebagai saksi kunci, sang sopir, Aristoteles Masoka, masih hilang hingga kini. Sedangkan Letkol Hartomo yang pernah divonis 3 tahun 6 bulan, dan dipecat dari militer, justru pangkatnya naik terus hingga menjadi Gubernur Akademi Militer, kepala sekolahnya para calon tentara.

Kini, semoga Anda lebih berhemat menggunakan kata-kata “tukang bikin onar” atau “tidak beradab” bila membicarakan saudara-saudara saya, orang Papua. Terutama dengan tendensi etnisitas atau SARA.

Tapi silakan saja kalau ada di antara kita yang hidup di tanah Jawa ini, merasa tetap lebih beradab, terutama bila yang dimaksud dengan “peradaban” dan “sopan-santun” ala tanah Jawa adalah membantai tahanan yang sedang menjalani proses hukum seperti di Cebongan.

Penulis: Dandhy Dwi Laksono

Di reproduksi ulang dari Facebook Dandhy Dwi Laksono yang diterbitkan 15 Juli 2016.

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...