Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #66

Malaikat Bumi

Oleh: Noviyanto Aji

Kematian Gendro Swara Pati membuat beban Nunuk terasa ringan. Tak ada lagi kekhawatiran akan hal-hal buruk yang dilakukan jin jahat tersebut. Tak ada lagi tumbal nyawa. Tak ada lagi jin haus darah. Mungkin di luar sana masih banyak jin-jin jahat seperti Gendro Swara Pati, bahkan lebih jahat dan kejam. Namun pastinya akan ada orang-orang seperti Nunuk dan Sahid berada di sana untuk memerangi.

Dulu, Nunuk memang sangat ingin membunuh Gendro Swara Pati. Bahkan dia pernah berandai-andai akan menumpas jin jahat bila diberi kekuatan. Namun setelah mengenal Sahid, hasrat itu hilang. Malah Nunuk melakukan perjalanan spiritual hebat dan mengajarkannya bahwa suatu perbuatan yang timbul dari hati yang suci dan merdeka, tidak sama dengan perbuatan yang termotivasi oleh keinginan, ketakutan dan ambisi. Setiap perbuatan haruslah lahir dari dalam hati.

Nunuk menyadari setiap perbuatan yang tidak didasarkan pada penyembahan luhur dan pengabdian di jalan Allah, maka perbuatan itu menjadi busuk. Apalagi sifat dunia yang selalu berubah. Pencari spiritual tidak akan peduli dengan hasil akhir perbuatan, melainkan merasakan setiap kali rahmatNya dan kepatuhan kepadaNya.

Nunuk telah berpaling dari segala ambisi dan keinginan, dari ketakutan-ketakutan, dari kebingungan, dan dari syirik. Pada tingkat kesadaran tinggi tersebut, lahirlah cahaya batin dari Dzat Yang Maha Esa.

Karena itu saat melawan Gendro Swara Pati, Nunuk sama sekali tidak menunjukkan nafsu meluap-luap. Tidak ada godaan-godaan fana. Sebaliknya pengelihatan batinnya dipersembahkan semata-mata untuk tujuan murni, yakni jalan tauhid. Al-Haqq berada di dalamnya. Jadilah dia memiliki kekuatan maha dahsyat yang tak tersentuh oleh kekuatan-kekuatan selain Allah.

Hari ini Nunuk telah berjalan lagi. Dia sudah berpamitan pada keluarga Intan. Akan meneruskan perjalanan menuju makam Sunan Bonang.

“Saya ijin pamit. Terima kasih atas kebaikan bapak dan ibu. Bila Allah mengijinkan, kita akan bertemu lagi,” ucap Nunuk.

“Justru kami yang berterima kasih karena telah membantu anak kami terbebas dari jin jahat. Sekiranya ibu Nunuk bersedia menerima sedikit bekal dari kami,” kata ibunya Intan.

Nunuk menerima bekal. Memeluk ibunya Intan dan tak lupa memeluk Intan. Matanya sempat memandang bapaknya Intan seakan mengisyaratkan untuk pergi.

“Assalamualaikum,” kata Nunuk sembari memalingkan wajahnya. Langkah kakinya diseret menjauh dan makin jauh meninggalkan keluarga tersebut.

Perjalanan Nunuk ke makam Sunan Bonang tidak butuh waktu lama. Rupanya jarak dari rumah Intan ke makam hanya 45 menit. Dan sesingkat perjalanannya, keberadaan Nunuk di makam Sunan Bonang juga singkat.

Di Tuban, Nunuk sebenarnya punya teman baru. Namanya Dewi Sartika. Wanita ini pernah bertemu Nunuk di makam Sunan Gunungjati. Dia sempat mengambil secarik kertas yang tertulis alamat temannya tersebut. Akan tetapi buru-buru keinginannya diurungkan.

“Di Tuban ini ada Dewi Sartika. Haruskah aku mampir? Ah, tidak. Jika aku mampir pastilah bakal merepotkan dia. Mungkin lain kali saja,” gumam Nunuk seraya memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam tas.

Nunuk melanjutkan perjalanan menuju Sunan Drajat yang terletak di Lamongan.

Karena sudah terbiasa dengan perjalanan berat, kali ini perjalanan ke Lamongan hanya membutuhkan waktu satu hari. Tiba di makam Sunan Drajat, hari sudah senja. Perempuan Bahu Laweyan itu memutuskan untuk beristirahat di sebuah mushola. Esoknya, perjalanan dilanjutkan kembali.

Perjalanan berikutnya sudah dibayangkan Nunuk. Gresik. Di situ dia akan bertemu dengan pria gila bertelanjang dada yang pernah bertemu di Yogyakarta. Pria yang awalnya dianggap gila. Pria tanpa nama yang belakangan diakuinya sebagai seorang wali.

Mungkinkah Nunuk dapat bertemu dengannya. Berguru padanya. Atau, jangan-jangan semua itu hanya angan-angan belaka. Bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengannya, sementara dia sendiri tidak tahu alamat yang dituju.

Bayangan pria gila masih nampak samar-samar dalam ingatannya. Pria itu seolah mengingatkannya pada Sahid. Sama-sama berilmu tinggi. Sama-sama memiliki keunikan. Segala tindak tanduknya sulit dijangkau nalar. Lalu siapa sosok pria gila tersebut? Apakah dia satu ilmu dengan suaminya? Satu guru? Hampir semua kyai-kyai sepuh mengenal Sahid. Apakah sosok pria misterius itu juga dikenal para ulama?

Batin Nunuk bergejolak mengencangkan peristiwa pertemuannya dengan pria gila tersebut. Lambat laun bayangannya memudar seiring dengan rasa kantuk yang mulai menjalari. Tak lama Nunuk pun terlelap dalam tidur.

Dan untuk kedua kalinya, Nunuk bermimpi aneh. Mimpi pertama Nunuk terjadi saat ziarah ke makam Sunan Gunungjati. Saat itu dia bermimpi disuruh Sahid ke Pangandaran untuk melawan Gendro Swara Pati. Mimpi kedua beda lagi. Nunuk bermimpi melihat banyak orang berbaju putih menaiki sebuah tangga terbuat dari batu yang tersusun rapi. Mereka naik ke tangga menuju ke sebuah bukit yang tingginya lumayan curam. Nunuk tertegun. Dia tidak berani mengikuti langkah orang-orang berbaju putih. Hingga tiba-tiba seorang dari mereka menyenggolnya dan sekilas menatap Nunuk sembari tersenyum. Saat itu terdengar suara dzikir berkumandang dari setiap bibir mereka. Nunuk tersadar dari lamunan. Pelan-pelan dia mengikuti anak tangga sembari tangannya berpegangan pada bahu tangga.

Sesampai di atas bukit, Nunuk melihat begitu banyak orang berbaju putih duduk bersila. Mereka menghadap ke Barat. Bukit itu berundak-undak. Ada yang duduk di barisan paling bawah. Ada yang paling atas. Sementara di bagian paling atas ada sebuah mushola.

Nunuk tertegun.

“Tempat apa ini?” Batinnya bertanya.

Orang-orang nampak khusyuk duduk bersila dengan kepala tertunduk dan mulutnya mengucapkan lafal Allah. Terdengar diucapkan serentak. Hingga bunyinya menggema sangat kencang seakan menembus dinding-dinding nurani.

Di antara orang-orang itu Nunuk melihat satu pria duduk di barisan paling depan dan paling atas sembari menghadap ke arah Timur. Bedanya, pria itu tidak mengenakan baju putih. Melainkan hanya mengenakan sarung dan bertelanjang dada.

“Pria itu…?” Sahut Nunuk lirih.

“Pria gila!” Gumamnya mulai celingukan, menoleh ke sana kemari. Yang dilihatnya hanya pemandangan dari atas bukit. Dia melihat kota-kota berada di bawahnya. Nun jauh di sana, dia juga bisa melihat laut yang terhampar sangat panjang. Bibir pantainya meliuk-liuk seperti ular tanpa ujung.

Nunuk berusaha mendekat. Dia berjalan dengan cara memutar-mutar karena di depannya tertutupi oleh orang-orang berbaju putih. Setiap orang yang dilewatinya sama sekali tidak bereaksi. Semangat mereka seolah tak bisa terhenti dengan kehadiran Nunuk. Nampaknya kesalikan mereka telah disingkapkan sehingga mampu menembus batas gaib. Mereka telah meminta kepada Yang Gaib untuk dipindahkan dari keadaannya yang sekarang kepada keadaan yang lain. Dan Yang Gaib telah memerintahkan untuk menyembah dengan sepenuhnya kepada nurNya yang absolut, bukan pada pantulan-pantulan.

Nunuk terus berjalan mendekati pria gila yang duduk di deretan paling atas. Belum sampai di atas, Nunuk tiba-tiba dikagetkan dengan suara pria tersebut.

“Apa yang kau cari masih berada di depannya. Tidakkah itu cukup?” Kata-kata pria itu membuat Nunuk terdiam.

“Jika kamu sungguh mencari kebenaran, maka kamu akan diarahkan untuk menggapai terbukanya selubung. Atau sebaliknya, kamu masih berada pada penderitaan makhluk secara terus-menerus akibat syirik halus hingga muncul selubung-selubung lain yang pada akhirnya kebenaran sejati tertutupi.”

Nunuk merasa tersindir dengan ucapan pria gila tersebut. Tak sepatah kata meluncur dari bibir Nunuk. Dia hanya diam membisu dan menunduk. Sindiran itu seperti membuat Nunuk kesulitan bernafas.

Ya, ucapan pria itu sangat tepat. Jalan menuju Allah sangat banyak, sebanyak nafas manusia. Nafas-nafas itu telah menggumpal dan membentuk kepatuhan dan kepuasan. Sehingga manusia pun disiapkan pada tujuan awalnya yakni pencarian akan kesempurnaan dan keesaanNya.

“Kamu terlalu banyak berpikir. Selalu menunggu gangguan makhluk. Sehingga melahirkan penderitaan-penderitaan. Dan setiap penderitaan yang muncul merupakan sifat dari dunia ini. Maka, hal tersebutlah yang dapat memutus kedekatanmu denganNya. Sementara Yang Gaib telah menempatkanmu di dalamnya,” lanjut pria gila tersebut.

Usai mengucapkan kata-kata mantiqnya, tiba-tiba suasana berubah. Nunuk seperti terseret dalam gelombang besar. Tubuhnya dijungkalkan menjauh. Terbang ke angkasa. Melintasi ruang dimensi lain. Dan setelah dibawa terbang, tubuhnya dijatuhkan ke bumi.

“Allahuakbar,” ucap lirih Nunuk yang terbangun dari tidurnya. Dilihatnya sekeliling, sepi. Dilihatnya waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Nunuk menyadari bahwa tadi dia sedang bermimpi. Tapi mimpi itu seperti nyata.

***

Nunuk beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan agak sempoyongan. Tangannya menggapai pegangan. Lalu menuju tempat wudhu. Setelah berwudhu dia kembali ke mushola untuk sholat malam.

Usai sholat, Nunuk mencoba menafsirkan mimpi tadi.

“Tempat itu seperti makam. Tapi makam siapa? Tempat itu berada di ketinggian yang paling tinggi. Aku harus segera ke sana.”

Nunuk tidak menunggu waktu Subuh tiba. Setelah sholat dua rakaat, atau tepatnya pukul 3 dini hari dia langsung berberes dan meneruskan perjalanan. Meski suasana masih diliputi gelap gulita, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk segera tiba di Gresik.

“Aku bisa subuhan di luar sana.”

Kali ini tujuan Nunuk adalah makam Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim.

“Bismillah,” Nunuk mengucap Basmalah sebelum melangkahkan kaki meninggalkan mushola.

Suasana masih sepi. Nyaris tidak ditemui seorang pun di jalanan. Hanya suara nafas Nunuk memburu dengan kencang di tengah keheningan malam. Terkadang tubuhnya menghilang dari balik malam karena tidak adanya cahaya penerangan. Terkadang dia muncul lagi saat melewati penerangan. Kendati Nunuk sangat bersemangat dalam perjalanannya, tetapi dia tidak mau terburu-buru. Langkahnya gontai. Mulutnya tak berhenti komat kamit menyebut asmaNya.

Tak terasa waktu Subuh telah tiba. Suara adzan terdengar saling berbalas-balasan. Nunuk mempercepat langkahnya menuju suara adzan paling terdekat. Dilihatnya sebuah masjid hanya berjarak beberapa meter darinya. Nunuk tidak melihat sekelilingnya. Dia langsung masuk ke masjid dan menunaikan kewajibannya.

Setelah selesai sholat, Nunuk keluar dan hendak meneruskan perjalanan. Baru beberapa langkah dia dikejutkan oleh pemandangan yang di luar nalar. Nunuk terkejutnya saat melihat sebuah papan nama bertuliskan makam Sunan Maulana Malik Ibrahim.

“Apakah aku sudah tiba?” Nunuk bertanya dalam hati.

Dia kembali memastikan tujuannya tersebut dengan bertanya kepada beberapa orang yang baru keluar dari masjid.

“Maaf Bu, apakah benar ini makam Sunan Maulana Malik Ibrahim?” Tanya Nunuk pada seorang ibu.

“Benar, ini makamnya,” jawab wanita tersebut sembari menunjuk.

“Apakah ini Gresik?” Tanya Nunuk lagi.

“Ini memang Gresik,” balasnya.

“Terima kasih, Bu,” dan sebelum wanita itu berlalu sempat menganggukkan kepala dan tersenyum.

Sementara Nunuk masih terpaku di tempatnya. Dia merenung perjalanannya dari Lamongan hingga Gresik yang membuatnya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa tiba di Gresik hanya dalam waktu satu jam dan ditempuh dengan berjalan kaki. Jika dihitung waktu normal, seharusnya Nunuk tiba di perbatasan Gresik-Lamongan. Ini justru sebaliknya, Nunuk tidak hanya tiba di Gresik melainkan sudah berada tepat di depan makam Sunan Maulana Malik Ibrahim.

Perjalanan kilat ini seperti cerita sepeda onthel Sahid yang dapat tiba di waktu dan tempat secara kilat. Orang-orang menyebutnya sepeda onthel Sahid ditarik malaikat. Begitu juga dengan pengalaman Nunuk saat diantar oleh Kyai Sepuh. Dia mendadak tiba di depan makam Sunan Gunungjati dalam waktu singkat.

Perjalanan kilat yang dialami Nunuk ini merupakan hasil dari perjuangan berserah diri pada keputusan dan penerimaannya sebagai hamba. Nunuk meyakini bahwa Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir dan meliputi semua waktu. Dan semua waktu digulung sesuai dengan kehendakNya. Pencari spiritual yang dimulai dengan cahaya akan diakhiri dengan cahaya kesenangan dan cahaya kenikmatan. Maka, ditunjukkan lah penampakan batin yang dapat mengungkap apa yang disembunyikan dan topeng-topeng pada akhirnya akan terlepas. Alam lahir dan batin Nunuk dihubungkan oleh kekuatan-kekuatan yang menyatukannya dengan Al-Haqq sebagai Pemelihara seluruh alam.

Perjalanan spiritual Nunuk tercerahkan dengan kualitas niatnya, dengan perbuatan-perbuatannya, dengan ibadah-ibadahnya. Segala langkah Nunuk selalu bertindak sesuai kehendakNya dan tidak mengalami suatu pertentangan atau kebingungan sedikitpun. Karena dia telah diliputi nur ilahiah. Nur itulah yang mencari mereka, bukan mereka yang mencari nur.

Dalam hal ini Nunuk melihat Allah secara terus menerus, dalam keadaan sepi maupun ramai, dalam keadaan sedih maupun senang. Nunuk merasakan dirinya bukan miliknya sendiri. Bahwa dirinya adalah milik Al-Haqq. Keadaan batin Nunuk ini telah melampuai keadaan untung dan rugi yang selalu melekat pada diri manusia pada umumnya.

Nunuk masuk ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Saat matahari terbit dari ufuk Timur, perempuan Bahu Laweyan tersebut keluar dari peraduan dan kembali meneruskan perjalanan menuju makam Sunan Giri.

Makam Sunan Giri terletak di wilayah Kebomas. Lokasinya tak jauh dari makam Sunan Maulana Malik Ibrahim.

Tiba di makam Sunan Giri, Nunuk menapaki anak tangga. Konon lokasi makam Sunan Giri adalah yang tertinggi di Gresik. Saat itu dia langsung teringat dengan mimpinya bertemu dengan pria gila. Sayangnya, lokasi makam Sunan Giri tidak sesuai dalam gambaran di mimpi Nunuk.

Di makam Sunan Giri, Nunuk menghabiskan banyak waktunya untuk merenung. Dia sengaja tidak melanjutkan perjalanan untuk terakhir kalinya di makam Sunan Ampel Surabaya, karena bayangan pria gila itu selalu menghampiri.

Hingga senja tiba, Nunuk tetap tidak beranjak dari lokasi makam. Pasalnya, keinginannya untuk bertemu dengan pria gila sangat kuat. Naluri Nunuk mengatakan bahwa dia tak lama lagi akan bertemu dengan pria gila tersebut.

Hingga waktu Isya berakhir, Nunuk akhirnya memutuskan untuk turun dari makam Sunan Giri. Sesampainya di bawah suasana nampak ramai. Orang-orang hilir mudik dari bawah naik ke atas dan sebaliknya.

Di tengah keramaian itu, Nunuk melihat sekelompok orang berbaju putih berjalan ke arah Utara. Lalu muncul lagi orang berbaju putih mengendarai motor berboncengan. Juga ke arah yang sama. Tak jauh dari mereka atau tepatnya di belakangnya, muncul lagi kelompok berbaju putih.

Kali ini Nunuk berhasil menyusul mereka dan mencegatnya. Nunuk lantas memberanikan diri bertanya.

“Assalamualaikum,” Nunuk ulum salam.

“Walaikumsalam,” balas mereka serempak.

“Maaf, kalau boleh tahu bapak-bapak pada mau ke mana?”

Dengan ramah seorang dari mereka menjawab, “Kita mau ke Giri Kedaton,” jawabnya.

“Giri Kedaton?” Nunuk belum pernah mendengar nama itu.

“Kalau boleh tahu di sana ada apa?”

“Ngaji rutin. Monggo kalau mau ikut,” ajak salah satu dari mereka.

Nunuk tidak mengiyakan juga tidak menolak. Hanya senyum bibirnya yang mengembang. Setidaknya itu sudah menjawab rasa penasarannya. Sedangkan kelompok orang berbaju putih tadi segera berlalu dari hadapan Nunuk.

Karena masih dihinggapi rasa penasaran, Nunuk mengikuti mereka dari belakang. Dia sebenarnya ingin memastikan saja apakah lokasi yang disebutkan tadi sesuai dengan gambaran dalam mimpinya.

Nunuk melihat sekelompok orang tadi berada di ujung jalan. Mereka berbelok dan berjalan lagi. Tak jauh dari situ, ada sebuah gang kecil. Lokasinya di perkampungan penduduk. Mereka berbelok dan menghilang dari pandangan.

Nunuk makin penasaran dan mempercepat langkah. Dari gang itu, Nunuk melihat orang-orang berbaju putih menaiki anak tangga berbatuan yang cukup tinggi. Dari bawah, mereka terlihat sangat kecil. Hanya sekelebat baju putihnya saja yang terlihat karena penerangan sangat minim.

“Masya Allah, tempat apa ini? Apakah ini menuju Giri Kedaton?”

Nunuk terus mengikuti mereka. Pelan-pelan Nunuk menaiki anak tangga. Di sekelilingnya terlihat rumah-rumah warga. Sesaat kemudian Nunuk diperlihatkan pemandangan alam Gresik dari atas Giri Kedaton.

Dia sempat terhenti. Memejamkan mata dan mulai terlihat jelas mimpi-mimpinya. Tempat Nunuk berdiri persis dalam mimpi-mimpinya.

“Apakah pria itu ada di atas sana?” Batin Nunuk.

Mendadak dari belakang seseorang yang menyenggolnya dan membuyarkan lamunan. Beberapa orang berbaju putih secara tak sengaja melewati Nunuk sembari tersenyum.

“Ini persis dalam mimpiku. Aku yakin dia ada di atas sana,” gumamnya.

Sebelum melanjutkan naik ke atas, Nunuk sempat menoleh ke belakang barangkali ada orang yang hendak naik. Mengingat anak tangga itu tidak lebar dan Nunuk ingin memberi jalan agar tidak bersenggolan lagi. Ternyata di bawah sudah tidak ada orang. Sepertinya orang yang menyenggolnya tadi adalah orang terakhir. Dan, hanya dalam hitungan detik orang itu sudah hilang dari balik bukit.

“Sepertinya dia orang terakhir,” ujarnya.

Nunuk tidak sabar untuk mempercepat langkahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, Nunuk berhasil sampai di atas bukit. Dilihatnya pemandangan yang indah dari atas bukit. Dia melihat sekelilingnya dan seperti berada di atas awan. Giri Kedaton memang berada di lokasinya yang paling tinggi di Gresik. Dia bisa melihat lampu-lampu berkelipan di bawah sana.

Dari atas bukit itu, Nunuk juga melihat sekumpulan orang-orang berbaju putih sedang memasuki mushola yang berada di paling atas. Mereka duduk bersila menghadap kiblat. Sementara di barisan paling depan duduk seorang pria menghadap ke arah Timur seperti sedang memberi petuah. Pria itu mengenakan sarung dan baju berwarna abu-abu. Tampilannya sangat sederhana. Pria itu tak lain adalah pria gila yang ada dalam mimpi Nunuk.

Dari luar mushola Nunuk memperhatikan dengan seksama pria gila tersebut. Ada yang aneh. Ya, Nunuk merasakan ada yang janggal. Sosok pria gila itu memang sedang memberi wejangan pada santri-santrinya. Tetapi itu bukan dia.

Nunuk celingukan ke sana kemari. Berharap seseorang yang dicari ada di sekelilingnya. Sayangnya tidak seorang pun terlihat.

“Dia telah membohongi banyak orang,” celetuknya dalam hati.

Nunuk berlari mengelilingi bukit. Memutari mushola. Yang ada malah bertemu punden dan makam. Nunuk turun anak tangga di belakang mushola atau sebelah Barat. Tidak bertemu siapapun. Naik lagi dan turun ke anak tangga di sisi Selatan. Tidak ketemu juga. Upayanya tidak berhenti sampai di situ, dia naik lagi dan turun ke anak tangga saat masuk. Nafasnya memburu dengan hebat. Tetapi dia tidak mempedulikannya. Tujuannya hanya ingin bertemu pria gila dan menyudahi kebohongannya.

“Aku harus menemukan dia. Kebohongan ini harus diakhiri,” kata Nunuk sambil merengut.

Meski sulit menemukan pria gila tersebut, namun Nunuk dapat merasakan bahwa pria itu berada tidak jauh darinya.

Setelah ngos-ngosan mencari keberadaan pria gila, akhirnya Nunuk berhenti di sebuah langgar. Matanya tertuju pada sosok pria yang sedang sholat di dalamnya. Pria itu tidak asing. Pakaiannya sama dengan pria yang berada di atas mushola Giri Kedaton.

“Itu dia. Aku harus menegurnya,” batin Nunuk.

Belum sempat membuka pintu langgar, pria gila sudah berdiri di hadapan Nunuk.

“Kamu sudah di sini,” ujarnya dengan santai.

“Kyai telah berbohong,” tegur Nunuk.

“Berbohong!” Serunya tidak tahu dengan yang dimaksud oleh Nunuk.

“Yang mengajar santri di atas sana bukan kyai. Kasihan para santri dibohongi,” kata Nunuk.

“Aku tidak berbohong, Nduk. Dari tadi aku di sini. Aku lagi malas mengaji. Hanya ingin bermesraan dengan kekasihku,” jawabnya.

“Lalu siapa yang mengajar santri di atas sana?”

“Maksudmu orang yang mirip aku?”

Nunuk mengangguk.

Pria itu terdiam. Lalu memejamkan mata dan tersenyum.

“Kenapa kyai tersenyum?” Tanya Nunuk heran.

“Kamu ingin tahu orang itu?” Pria itu balik bertanya.

Nunuk mengangguk.

“Dia malaikat bumi.” [bersambung]

Komentar
Loading...