Oleh: Dahlan Iskan
SAYA tidak percaya ini: masak sih tidak ada satu pun mahasiswa yang tertarik mendalami soal Afghanistan. Padahal begitu banyak mahasiswa di universitas Islam di Indonesia. Lebih dari 200.000 orang.
Mungkin saya saja yang gagal mencari siapa ahli Afghanistan di sana. Tidak mungkin tidak ada yang tertarik mendalami masalah negara Islam yang begitu sering menjadi perhatian dunia.
Seorang profesor UIN minta saya agar menghubungi Profesor Khan –bukan nama sebenarnya. Beliau ahli. Ternyata juga bukan ahli Afghanistan. Hanya pernah ke Afghanistan. Itu pun 40 tahun yang lalu.
Pembaca Disway banyak yang menyebut nama Agustinus Wibowo. Ia pernah lama di Afghanistan. Bisa bahasa Pastun. Bisa Mandarin. Sering menulis tentang Afghanistan. Konon sekarang tinggal di Jember. Saya janji akan uber orang itu.
Menjadi wartawan di Amerika rupanya memang lebih mudah. Mereka punya ahli apa saja. Banyak sekali guru besar di Amerika yang ahli tentang Indonesia. Padahal apalah Indonesia di mata Amerika. Bahkan sampai ada yang ahli tentang Rhoma Irama. Ada juga yang ahli tentang wayang kulit.
Ya sudahlah. Saya sendiri juga heran: kok dulu memilih Fakultas Tarbiyah. Saya sih bukan memilih waktu itu. Itulah satu-satunya fakultas yang ada di IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda.
Waktu itu pandangan saya juga sempit. Hanya mau cari fakultas yang kalau lulus cepat mendapat pekerjaan. Kuliah di Fakultas Tarbiyah, kata kakak saya, bisa segera jadi guru agama. Sama sekali tidak memikirkan bahwa Indonesia memerlukan orang yang ahli Afghanistan!
Saya tidak mengikuti CNN atau BBC. Juga tidak mengikuti Al Jazeera atau Al Arabia –kemampuan bahasa Arab saya tidak mencukupi.
Untuk Afghanistan ini saya mengikuti media-media di Pakistan. Tentu dengan sikap skeptis. Juga lewat media-media Amerika. Dengan sikap yang sama.
Saya beruntung pernah sering bertemu orang-orang dari suku Pastun. Juga sering bicara dengan orang dari suku Hazaras.
Pastun menguasai 50 persen penduduk. Hazaras hanya 9 persen –sama dengan suku Tajiks yang juga 9 persen. Suku-suku lainnya amat kecil-kecil.
Orang-orang kaya suku Pastun hampir selalu punya pembantu orang Hazaras. Tidak ada orang Pastun yang mau jadi pembantu atau buruh kasar. Orang Pastun adalah orang dengan mental juragan. Dengan harga diri yang sangat tinggi.
Hazaras memang hanya 9 persen –mirip jumlah Tionghoa di Indonesia– tapi mereka terkonsentrasi di satu wilayah tengah. Yakni di sebelah barat Kabul. Dengan demikian untuk wilayah itu, suara Hazaras dominan. Pemerintahan lokal pun pemerintahan Hazaras.
Konflik di antara Pastun dan Hazaras bukan hanya soal juragan dan pembantu. Masih ditambah soal aliran keagamaan. Pastun adalah penganut Sunni. Hazaras umumnya penganut Syiah.
Kenyataan seperti itulah yang membuat Afghanistan agak sulit mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) yang kaya raya.
Di UEA hanya ada dua ke-emiran besar: ke-emiran Abu Dhabi dan Dubai. Lima ke-emiran lainnya sangat kecil-kecil. Ke-emiran Ras al Khaimah misalnya, hanya berpenduduk 300.000 orang –hanya seperti satu kecamatan di Jawa. Bahkan ke-emiran Ajman luasnya hanya 15 km x 15 km.
Di UEA, pembagian kue kekuasaan dengan mudah dibagi. Presiden UEA harus selalu dari Abu Dhabi. Sedang perdana menteri harus dari Dubai. Lima emir lainnya dapat jatah di kementerian.
Masing-masing emir mengatur pemerintahan mereka sendiri. Pemerintah pusat tidak punya hak ikut campur. Bahkan ketika Dubai nyaris bangkrut 15 tahun lalu –akibat ambisi besarnya untuk menjadi Singapura-nya dunia Arab– pemerintah pusat tidak turun tangan. Emir Abu Dhabi-lah yang menyelamatkan keuangan Dubai. Lewat skema pinjam-meminjam seperti antar negara.
Di Afghanistan –kalau jadi bentuk negaranya adalah ke-emiran– pasti Pastun yang menjadi pimpinan negara dan pimpinan pemerintahan. Hanya apakah ibu kota akan kembali pindah ke Kandahar belum ada tanda-tanda ke sana. Kota Kandahar adalah kota terbesar kedua. Lebih dekat ke Pakistan. Di situlah Taliban didirikan. Di wilayah itu, suku Pastun lebih dominan.
Saya belum tahu bagaimana di wilayah yang didominasi suku Tajiks. Apakah suku Tajiks bisa bersatu atau terbagi juga ke dalam berapa ke-emiran.
Sedang di wilayah Hazaras rasanya hanya akan ada satu ke-emiran. Paham Syiah membuat mereka lebih tunduk ke satu imam.
Apakah Hazaras akan mendapat tempat yang layak? Itu masih tanda tanya besar. Itu memerlukan jiwa besar Pastun untuk bisa menerima apa yang mereka anggap sebagai ”kasta terendah” itu.
Di UEA memang ada jabatan presiden dan perdana menteri. Tapi itu hanya istilah saja. Sistem pemerintahannya murni otoriter kerajaan. Bukan presidensial, bukan pula parlementer.
Di Afghanistan mungkin akan ada dewan tertinggi emir. Semacam Syuriah di NU atau Dewan Syuro di PKS. Lalu ada Tanfidziah yang akan memegang pemerintahan.
Memang masih tanda tanya besar: benarkah pemerintahan Taliban 2.0 ini –pinjam istilah komentar di Disway– lebih moderat. Apakah tidak akan muncul tekanan dari bawah untuk menerapkan syariat Islam secara lama.
Juru bicara resmi Taliban pusat memang sangat menjanjikan: wanita boleh bekerja dan sekolah. Semua pejabat lama dimaafkan. Pers independen dibolehkan terus berjalan.
Tapi di lapangan bisa agak berbeda. Saya melihat televisi Amerika. Senin lalu seorang wartawati mencegat pasukan pejuang Taliban bersenjata. Yakni sehari setelah Taliban merebut ibu kota Kabul. Wartawati itu memakai jilbab, dengan wajah tanpa penutup.
Si wartawati bertanya: apakah orang seperti saya bisa diterima?
Jawab: bisa.
Wartawati: Dengan pakaian muslimah seperti ini?
Jawab: iya
Wartawati: tanpa penutup wajah seperti ini? (sambil menyodorkan wajah cantiknya).
Jawab: tidak bisa, harus pakai penutup.
Itu menggambarkan betapa beda antara pendapat elite dan akar rumput.
Kalau pun Taliban 2.0 akan lebih moderat dari mana mereka belajar berubah?
Karena mereka punya markas di Qatar? Karena tekanan Amerika? Karena tekanan calon investor baru mereka, Tiongkok? Atau karena negara-negara Arab sendiri juga sudah banyak berubah?
Yang jelas, mereka yang 20 tahun lalu masih berumur 10 tahun, sekarang sudah berumur 30 tahun. Mereka sudah mengenal HP sampai ke pelosok. Mereka juga aktif mengirim delegasi ke berbagai negara lain –termasuk ke Indonesia dan Tiongkok.
Sebenarnya kita sedang berharap pemerintahan baru segera terbentuk. Agar komando segera terstruktur. Jangan sampai kedahuluan munculnya tekanan-tekanan liar dari bawah.
Tapi sudah dua hari ini belum ada indikasi pemerintahan baru itu segera terbentuk. Amerika tidak mungkin lagi kembali ke Afghanistan. “Kita tidak pernah punya misi mendemokrasikan Afghanistan,” ujar Presiden Amerika Serikat Joe Biden ke media kemarin.
Tujuan Amerika sudah tercapai: menghancurkan Al Qaida dan membunuh Osama Bin Laden. Merekalah yang dituduh mendalangi penyerangan menara kembar di New York 11 September 2001 lalu.
Dengan mengalahkan Afghanistan, Amerika telah menghibur rakyatnya yang sedih akibat peristiwa New York itu. Itulah hiburan senilai Rp 30.000 triliun.
Angka itu juga telah menghibur banyak orang, termasuk Anda. Bukankah Anda pernah merasa menggunakan uang secara sia-sia?
Janganlah bersedih. Ingat saja Amerika. Mereka juga telah membelanjakan dana segitu banyak untuk tidak menghasilkan apa-apa.[]
Sumber: disway