Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #30

Mencintai dan Dicintai

Oleh: Jendra Wiswara

Sahid tidak pernah berada jauh dari warung Nunuk. Kebiasaannya menjadi kayu bakar. Setelah itu menemui orang-orang warung. Berbicara sebentar dengan mereka. Lalu pamit.

Orang-orang melihat prilaku dan perbuatan Sahid sangat aneh. Kadang di luar nalar manusia biasa.

Sahid sering turun ke kampung. Mengumpulkan anak kecil. Mengajak bercanda. Malah sering main petak umpet dengan anak-anak. Padahal usianya tidak lagi muda.

Di lain waktu, Sahid balik ke warung dengan membawa seekor kucing. Kucing diberi makan dan diajak tidur di surau. Selama empat hari singgah di warung Nunuk, Sahid telah mengumpulkan 10 ekor kucing.

Saat senggang, Sahid sering membagi-bagikan uang ke orang-orang miskin. Orang-orang suka dengan sosoknya.

Ketika hal itu diceritakan ke Nunuk, perempuan bahu laweyan itu bertanya-tanya, dari mana Sahid punya banyak uang. Bukankah dia pernah mengaku tidak punya uang. Untuk makan saja dia tidak bisa bayar. Karenanya Sahid mengganti upah makan dengan membantu mencari kayu bakar di hutan.

Dalam kondisi normal, Sahid senantiasa berdzikir dan beribadah. Namun tidak ada seorang pun yang mengetahui. Tidak juga Nunuk. Begitu juga dalam kondisi tidak biasa, Sahid memilih tidur sepanjang hari. Bahkan tidak melakukan kegiatan apapun. Ibadah pun tidak.

Banyak kejadian aneh dialami Nunuk semenjak Sahid singgah di warungnya. Yang paling aneh, ketika seorang warga bernama Mukhlis baru turun dari gunung Penanggungan. Dia menyempatkan mampir ke warung Nunuk.

Dalam kondisi kelelahan, Muhklis kaget melihat Sahid datang dari hutan membawa kayu bakar. Dia kaget karena Sahid tampak seperti biasa saja. Tidak kelelahan.

“Bapak sudah di sini. Kok cepat,” sapa Mukhlis.

Eh, Mukhlis. Baru datang ya,” balas Sahid kemudian pergi ke belakang warung.

Keduanya saling mengenal satu sama lain. Nunuk heran sekaligus penasaran. Dia pun mengorek informasi soal Sahid.

Mukhlis bercerita, selama empat hari menjadi guide seorang laku ritual di gunung Penanggungan. Dia dan pelaku ritual menginap di tenda selama tiga hari. Hari keempat, mereka turun.

Di puncak gunung Penanggungan, Mukhlis cerita bertemu dengan Sahid.

“Aku bertemu dengan dia di puncak, Ning. Itu hari pertama kami tiba di puncak,” cerita Muhlis.

“Benarkah?” Nunuk tidak percaya.

“Dia sepertinya sudah di sana lebih dulu dari kami. Dia bilang tidur di balik batu besar. Dengan alas tidur seadanya. Dia juga tidak bawa tenda seperti kami. Padahal udara gunung sangat dingin, apalagi kalau malam hari.”

“Apa kamu yakin dia orangnya?” Tanya Nunuk memastikan.

“Bagaimana mungkin saya bohong, Ning. Beliau namanya Sahid kan!”

Nunuk mengangguk.

“Kalau saya bohong, bagaimana mungkin saya tahu namanya. Sebab saat bertemu, kami berkenalan di puncak. Dia menyebutkan namanya.”

Mukhlis kembali bercerita, setiap hari kerjaan Sahid di puncak hanya sholat dan sholat. Selepas sholat dia hanya berdzikir.

“Saya tidak pernah melihat orang sekhyusuk itu dalam beribadah. Kalau sudah sholat, dia seperti patung. Dia banyak bergerak. Seperti orang semedi,” tutur Mukhlis.

Nunuk tidak cerita ke Mukhlis jika sebenarnya Sahid sudah empat hari berada di warungnya. Takutnya Mukhlis kaget.

Selama empat hari itu, Sahid tidak pergi ke mana-mana. Namun yang membuatnya heran, bagaimana mungkin Sahid berada di puncak gunung. Padahal jarak tempuhnya bisa mencapai 4-5 jam. Itu pun waktu normal.

“Saya tidak habis pikir, Ning. Saat kami berpisah, saya duluan yang turun. Kalau dilihat kondisinya, seharusnya kami duluan yang sampai di bawah. Kalau pun dia lebih cepat turunnya, seharusnya dia melewati kami. Sebab jalur yang kami tempuh sama,” terang Mukhlis keheranan.

“Mungkin dia melintasi jalur baru. Kan ada jalur Majapahit. Jalur itu kan jarang dilewati,” kata Nunuk mengalihkan keheranan Mukhlis.

“Iya, Ning. Jalur petilasan Majapahit memang ada. Tapi memutar. Bisa cepat, bisa juga lama. Ya sudah saya pamit, Ning,” kata Mukhlis melangkah pergi.

***

Kepergian Mukhlis meninggalkan tanda tanya besar bagi Nunuk. Keanehan demi keanehan itu hanya bisa diketahui Nunuk. Sementara banyak orang yang hanya melihat keanehan dari luarnya saja.

“Siapa Sahid? Apakah dia seperti yang diceritakan Mas Iksan. Banyak kejadian aneh semenjak kedatangan Sahid. Selama empat hari, saya tidak merasakan kehadiran Gendro Swara Pati dan anak buahnya. Apakah dia benar-benar seorang waliyullah.”

Seemntara Nunuk sendiri tidak pernah berbicara dengan Sahid kecuali urusan kayu bakar. Sebab Sahid orangnya lebih banyak diam. Dia tidak pernah menjawab jika tidak ditanya. Kalaupun ditanya kadang jawabannya selalu nyeleneh. Sulit dipahami orang pada umumnya.

Nunuk melihat Sahid seperti orang jadzab. Berbuat dan bertingkah seenaknya sendiri. Dia sama sekali tidak memiliki kekhawatiran terhadap apapun. Dia tidak pula bersedih. Hatinya selalu riang.

“Dari raut wajahnya, saya tidak pernah mendapati Sahid bersedih. Dia bertingkah seenaknya sendiri. Sahid seperti dalam kondisi jadzab. Seringkali melakukan perbuatan di luar nalar manusia biasa.”

Saat keadaan sepi, dia mengambil ranting dan memukul-mukulkan ke sesuatu. Seperti seseorang sedang menghalau sesuatu.

Di lain waktu, dia hanya mengenakan sarung dengan bertelanjang dada. Dia sama sekali tidak merasakan kedinginan. Bahkan pernah suatu hari Nunuk mendapati Sahid tidur bertelanjang dada semalam suntuk.

Kesukaan Sahid gemar bermain dengan anak-anak dan kucing.

“Ada 10 ekor kucing dikumpulkan Sahid. Kucing-kucing itu sangat jinak padanya. Selalu menemani tidur. Kalau juragannya tidur, kucing-kucing itu menunggui di surau hingga bangun. Jika Sahid ketemu anak-anak, betapa senangnya dia. Persis anak kecil.”

Hingga suatu hari Nunuk memberanikan pada Sahid soal kegemarannya itu.

“Kenapa Mas Sahid suka dengan kucing?” Tanya Nunuk.

“Semua orang suka kucing,” jawabnya.

“Tapi tidak seperti Mas Sahid.”

Ah, sama saja. Kucing kan makhluk Allah. Nabi saja suka dengan kucing,” sahutnya ringkas.

Jawaban Sahid yang mengkaitkan Nabi SAW dan kucing membuat Nunuk penasaran. Memang benar Nabi suka dengan kucing. Tapi tidak semua manusia melakukan apa yang dilakukan Sahid. Laki-laki itu setiap gerak dan geriknya selalu meneladani Rasulullah kendati perbuatannya dianggap nyeleneh. Buktinya, dia selalu diikuti kucing. Dan yang membuat Nunuk heran, kucing-kucing itu seperti tunduk pada Sahid.

“Lalu dengan anak-anak?” Nunuk bertanya lagi.

“Ada apa dengan anak-anak?” Tanyanya balik.

“Mas Sahid sering bertingkah seperti anak-anak kalau bertemu mereka. Kulihat Mas Sahid sering membelai, mengusap, dan mencium mereka. Kadang mengajak bermain bersama.”

“Apa salah?”

“Tidak sih. Cuma aneh. Padahal mereka bukan anak Mas Sahid. Lagipula untuk apa bermain dengan anak-anak!” Seru Nunuk.

“Ha…ha…ha…dunia ini serba aneh. Saya suka bermain dengan anak-anak dibilang aneh. Padahal yang kuajak bermain adalah mereka yang tidak punya dosa. Hati yang suci dan bersih. Sementara ada manusia yang suka bermain-main dan bersekutu dengan jin, minta pertolongan pada jin, mengikui perintah jin ketimbang perintah Tuhannya, berbuat dosa agar terbebas dari jin, toh biasa-biasa saja,” kata Sahid seolah menyindir Nunuk.

Nunuk langsung terdiam mendengar hal itu. Kata-kata Sahid seperti menampar wajahnya dengan sangat keras. Nunuk merasa yakin bahwa Sahid bukan orang sembarangan. Meski terkesan jadzab, dalam diri Sahid terdapat maqam seorang wali.

Secara kasat mata, Sahid memang mengesankan diri berpaling dari Allah. Sejatinya bukan itu. Dia justru berpaling dari dunia. Hatinya setiap detik selalu menghadap ke Allah untuk berdzikir dan beribadah.

Sikap jadzabnya telah menggulung dunia dan akherat. Dia tidak lagi tergiur urusan dunia dan akherat. Urusannya hanya dengan sang kekasih. Sahid selalu berada dalam suatu keadaan merdeka, lepas dalam kapasitasnya sebagai manusia. Sebab yang tampak jelas padanya hanya sifat-sifat Allah (tajalli).

“Aku sudah lama bermain-main dengan jin, Mas. Selalu diperdaya oleh jin. Hatiku kotor. Aku perempuan penuh dosa. Apakah perbuatanku dapat dimaafkan oleh Allah,” Nunuk mulai menyadari kesalahannya.

“Apa yang kamu mau?” Tanya Sahid.

“Sebelumnya mantan suamiku bilang aku disuruh menunggu, bahwa nanti akan ada laki-laki yang bakal menjadi suamiku dan hanya dia yang dapat membunuh jin itu.”

“Jin yang kamu maksud itu, namanya Gendro Swara Pati!” Seru Sahid yang diiyakan Nunuk.

“Bagaimana Mas Sahid tahu?”

“He…he…he…aku sudah bertemu dengan dia,” sahut Sahid dengan cengengesan.

“Masya Allah, apa benar itu Mas. Apa yang dia lakukan Mas?” Tanya Nunuk.

“Tidak melakukan apa-apa. Aku lihat dia bersama ribuan bangsa jin lain.”

“Apa Mas Sahid tidak takut?”

“Ha…ha…ha…takut apa toh, Nuk. Bahwa jin itu lebih hebat dari manusia. Jangankan jin, manusia itu lebih mulia kedudukannya dari malaikat.”

Kata-kata Sahid menusuk hati Nunuk. Meski terkesan mengentengkan segala urusan dan mengatakan ketidatakutannya pada jin, terutama Gendro Swara Pati, namun kata-kata Sahid dilandasi oleh iman yang kuat. Beda dengan mantan-mantan suaminya yang dulu meremehkan jin, hingga menjadi korban jin. Sebaliknya, laki-laki di hadapannya itu tidak takut dengan jin karena dia sedang dilanda kecintaan yang tinggi pada sang kekasih.

“Bagaimana manusia lebih mulia dari malaikat, Mas?”

“Sudah menjadi kesepakatan, bahkan sebuah keniscayaan, kalangan awam dari manusia lebih mulia dari kalangan awam golongan malaikat. Manusia sebagai yang disujudi lebih mulia daripada malaikat yang mensujudinya. Bagaimana manusia lebih mulia padahal manusia memiliki akal dan nafsu sedangkan malaikat dicipta dari cahaya. Meski malaikat mengajari para nabi, bukan berarti yang mengajari lebih hebat. Sebab sejatinya bukan malaikat yang mengajari, melainkan Allah Swt. Manusia harus mencintai dan dicintai oleh Allah Swt. Caranya dengan berserah diri. Menaklukan secara total hawa nafsu. Seperti yang dilakukan Ashif ibn Barkhiya saat memindahkan istana Ratu Balqis ke kerajaan Nabi Sulaiman dalam waktu sekejab mata, lebih cepat dari jin Ifrit,” beber Sahid.

Nunuk mendengarkan dengan seksama penjelasan Sahid. Hatinya merasa yakin, bahwa laki-laki di hadapannya adalah calon suaminya yang terakhir.

“Beberapa hari ini aku selalu memperhatikan Mas Sahid. Saat Mas Sahid tidur, aku selalu berbicara denganmu, Mas. Aku yakin kau pun terjaga. Kini aku semakin yakin dengan tujuan hidupku. Bahwa Allah adalah segala-galanya. Tadi Mas Sahid bertanya aku mau apa. Aku mau Mas Sahid menjadi imamku.”

[bersambung]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...