Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #45

Pesan Kyai Sepuh 

Oleh: Jendra Wiswara

Malam itu sangat indah suasananya. Langit cerah. Terlihat jutaan bintang berkumpul. Bulan berpendar. Udara sejuk. Angin berhembus sepoi-sepoi. Di sekeliling pondok pesantren yang terdengar suara anak-anak mengaji. Mereka tampaknya tak ada kesulitan dalam belajar. Hal itu membuat hati Nunuk ceria.

Nunuk tersenyum sendiri. Dia menghitung waktu. Malam ini sudah genap tiga bulan dia tinggal di pondok pesantren. Banyak hal baru didapat Nunuk selama di pondok pesantren. Dia bertemu dengan banyak orang. Ya, orang-orang baru, orang-orang hebat, orang-orang berilmu.

Suasana di pondok pesantren telah membius perempuan bahu laweyan tersebut. Dia sepertinya betah berlama-lama di sana. Apalagi bersama ketiga buah hatinya. Entah sampai kapan.

Sekilas Nunuk teringat akan Sahid. Sayangnya, dia belum memiliki keberanian untuk meninggalkan tempat itu. Masih ada yang memberatkannya untuk pergi.

“Mengapa tersenyum sendiri, Dik?” Tegur suara dari belakang mengagetkannya.

“Eh, Mas Iksan,” Nunuk hanya menjawab dengan senyum. Sepintas dia menatap wajah mantan suaminya, hampir-hampir tak berani menentang matanya. Dan sekali waktu melepas pandangan pada sekelilingnya.

Iksan tidak tertikam oleh lirikan Nunuk. Ustad muda itu justru berusaha bersikap sopan pada mantan istrinya.

“Apa yang kamu pikirkan?” Tanya Iksan.

“Aku hanya menikmati suasana di pondok, Mas,” sahut Nunuk melepaskan tatapannya.

“Apakah kamu jadi pergi ke Demak?”

“Menurut Mas Iksan bagaimana?” Nunuk balik bertanya.

“Entahlah. Yang bisa merasakan kamu. Aku tidak punya jawabannya.”

“Aku masih bingung, Mas. Di sini aku merasa tenang. Ada anak-anak. Ada Mbak Siti Maimunah. Aku mulai akrab dengannya.”

“Dia wanita hebat.”

“Aku tahu itu. Tak banyak wanita seperti Siti Maimunah.”

“Lalu apa yang menjadi pikiranmu?”

“Terkadang pikiranku melayang-layang tidak tentu, jauh ke Demak. Hanya berupa khayalan saja.”

Nunuk merasakan ada gendang bermain dalam hatinya. Sekali ditabuh, gendang itu berbunyi makin kencang. Dan sekarang gendang itu sedang ditabuh Iksan.

Setiap kali membicarakan Demak, Nunuk merasa cemas. Setiap kali menyebut nama Sahid, hatinya gelisah. Apakah Nunuk sedang dimabuk cinta? Namun orang yang dicintai tidak mengenal cinta kecuali cinta pada Kekasih.

“Sungguh aku merasa yang namanya kebahagiaan usianya lebih pendek daripada kepedihan. Dan setelah perpisahan takkan ada lagi pertemuan. Kalau pun ada pertemuan, kapan bisa bertemu lagi.”

“Kau terlalu larut dengan perasaanmu sendiri, Dik. Kita sudah berulang kali membicarakan Mas Sahid.”

“Aku tahu itu, Mas. Tapi perasaan ini tak bisa dibohongi. Dulu Gendro Swara Pati selalu mengikuti ke mana pun aku pergi dengan keangkaramurkaannya. Kini Mas Sahid yang terus ada di pikiranku dengan perasaan yang sulit diungkapkan.”

“Aku memahami perasaanmu, Dik!”

“Maaf, Mas. Aku terlalu banyak merepotkanmu.”

“Tidak usah dipikirkan. Aku juga bersyukur kita pernah menjadi suami istri. Dan sekarang kita diberi anak-anak yang sholeh dan sholehah.”

“Amin.”

Sebenarnya kalau mau jujur, Iksan juga tak bisa membohongi perasaannya. Jauh di lubuk hatinya, dia masih punya perasaan terhadap Nunuk. Hanya saja ustad muda itu berusaha untuk mengendapkan perasaannya. Tak bisa dia memaksa Nunuk untuk mencintainya lagi. Sebab hati perempuan itu telah berpindah ke orang lain.

Yang namanya cinta memang selalu menakjubkan. Apalagi bila dilihat dari mana datangnya cinta. Iksan sampai sekarang masih mengagumi dan memuja kecantikan Nunuk. Namun mengharapkan kehadiran cinta kembali, rasanya sulit. Iksan paham betapa dalamnya cinta dia pada perempuan yang telah memberinya tiga anak. Karena itu dia akan patuh pada kehendak cinta, karena cinta tak bisa dipaksa.

Iksan tak mau terancam oleh belenggu cinta yang justru akan menjatuhkan dirinya untuk kesekian kalinya. Jadi, biarlah rahasia cinta disimpan di hatinya. Sampai kapan, sampai Nunuk membuka lagi ruang untuknya.

“Oh iya, Mas Iksan apa tidak ada kelas malam ini?”

“Malam ini ada seseorang yang hendak bertemu.”

“Mas mau bertemu orang!” Seru Nunuk memastikan.

“Tidak sendirian.”

“Dengan siapa, Mas?”

“Dengan kamu.”

“Aku.”

Iksan mengangguk.

“Siapa orangnya, Mas?”

“Kyai Sepuh. Beliau ingin bertemu dengan kau, Dik. Selama ini beliau selalu menanyakanmu.”

“Masya Allah, Mas. Apa aku tidak salah dengar. Untuk apa beliau bertemu dengan aku. Aku bukan siapa-siapa.”

“Justru bukan siapa-siapa itu yang membuat Kyai Sepuh ingin bertemu. Beliau tahu kau sudah menikah dengan Sahid.”

“Apa Mas Iksan yang memberitahu.”

Laki-laki itu menggeleng.

“Kalau begitu beliau tahu dari mana?” Tanya Nunuk.

“Dari Mas Sahid.”

Deg, jantung Nunuk langsung menggila mendengar nama itu. Dia menatap Iksan dengan tatapan tajam. Namun buru-buru dia berpaling. Suasana di pondok pesantren serasa goncang. Nunuk sendiri yang membuat goncang dengan pikiran-pikiran tidak karuan.

“Apa benar begitu, Mas!” Nunuk kembali memastikan, “Apa Kyai Sepuh bertemu dengan Mas Sahid?”

“Kalau bertemu sudah pasti, Dik. Semua yang kau ceritakan soal Mas Sahid sudah aku ceritakan ke beliau. Mungkin beliau juga ingin dengar ceritanya dari kau langsung.”

“Aku harus ngomong apa dengan Kyai Sepuh, Mas!”

“Kita lihat saja nanti. Kau siap-siap saja. Setelah anak-anak tidur, kita temui Kyai Sepuh.”

“Iya, Mas.”

***

Malam kian larut. Semua orang sudah tertidur. Termasuk anak-anak Nunuk. Setelah menunaikan sholat Isya, Nunuk pun bersiap menemui Kyai Sepuh. Di luar sudah menunggu Iksan.

“Mas, sudah lama menunggu di sini.”

“Lumayan, Dik. Anak-anak sudah tidur?”

“Sudah.”

“Mari,” Iksan mengajak Nunuk mengikuti langkahnya.

Selama melangkah menuju ndalem (kediaman) Kyai Sepuh, Nunuk tak berkata barang sesuatu. Tak dapat dia menahan keingintahuannya untuk mendengar cerita dari Kyai Sepuh soal Sahid. Kesadarannya telah tersihir oleh cerita Kyai Sepuh yang bertemu dengan Sahid.

“Assalamualaikum,” Iksan uluk salam.

“Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari dalam rumah.

Itu Kyai Sepuh sedang duduk sendirian. Usianya belum benar-benar sepuh. Meski begitu banyak keriput di wajahnya. Tutur bahasanya lembut dan teratur. Nadanya lirih. Tapi masih bisa didengar dengan jelas. Yang membuat Nunuk takjub, ingatan Kyai Sepuh masih cukup kuat.

Kyai Sepuh mengenakan kopiah hitam, baju seadanya, dengan bawahan sarung bercorak. Sama sekali tidak mengesankan seorang kyai. Bahkan menurut Iksan, Kyai Sepuh tidak pernah bersedia dipanggil dengan sebutan kyai. Hanya orang-orang di lingkungan pondok saja yang memanggilnya demikian. Di luar pondok, dia dipanggil bapak atau abah.

Yang unik dari Kyai Sepuh, dia tak pernah bersedia berdakwah di luar pondok. Karena dia merasa bukan seorang ulama. Sehingga warga pun tidak berani mengundangnya untuk berdakwah. Untuk urusan berdakwa diserahkan pada Iksan dan ustad-ustad pondok lainnya. Tapi bukan berarti Kyai Sepuh tidak mengajar. Kyai Sepuh justru selalu mengajar santri-santri dewasa dan para pengajar. Biasanya Kyai Sepuh mengaji setiap malam Jumat.

Adapun rumah Kyai Sepuh masih berada dalam lingkungan pondok pesantren. Di rumah itu Kyai Sepuh tinggal seorang diri. Dulu ada istrinya. Namun beberapa tahun lalu istrinya telah berpulang. Sementara kelima anaknya telah berumah tangga dan menetap di luar pondok. Dua anaknya mengajar di pondok, sementara tiga lainnya mengajar di pondok lain.

Monggo pinarak (silahkan masuk),” sapa Kyai Sepuh sopan dengan bahasa Jawa kental.

Iksan mendekat dan mencium tangan Kyai Sepuh. Lalu duduk bersebelahan. Sementara Nunuk langsung duduk di tempatnya. Tidak ikut mencium tangan karena bukan muhrim. Posisi duduk Nunuk berhadapan dengan Kyai Sepuh.

“Ini Nunuk, ibu dari anak-anak saya, Kyai!” Iksan mengenalkan Nunuk.

“Iya.” Kyai Sepuh menatap Nunuk. Tapi yang ditatap tidak berani menatap balik.

“Saya Nunuk. Maaf jika selama di pondok telah menyusahkan.”

“Tidak ada yang disusahkan, Nduk. Iksan sudah kuanggap anak sendiri. Anak-anak Iksan juga kuanggap seperti cucuku. Jadi kamu juga bagian dari keluarga di sini.”

“Injeh, Kyai,” balas Nunuk ragu dan perlahan.

“Bagaimana dengan Kangmasmu Sahid?” Pertanyaan Kyai Sepuh langsung menohok.

“Maaf, Kyai,” ucap Nunuk berhati-hati, “Sejak peristiwa itu, saya sudah tidak lagi bertemu dengan Mas Sahid.”

Sebelumnya, Kyai Sepuh sudah banyak diberitahu oleh Iksan soal cerita Sahid dan Nunuk. Dan, nampaknya ada sesuatu yang hendak disampaikan Kyai Sepuh.

Ah, orang itu benar-benar membuat orang susah,” ujar Kyai Sepuh seperti menghakimi.

Nunuk tidak berani bertanya. Dia hanya diam mendengarkan Kyai Sepuh bercerita.

“Jadi, kamu benar-benar menunggu Kangmasmu selama 6 tahun di hutan.”

“Injeh, Kyai.”

“Kau telah mendapat kemuliaan dari Wali Allah, Nduk!” Kali ini nada bicara Kyai Sepuh tidak lagi menghakimi.

Nunuk penasaran tapi masih belum berani bertanya.

“Kau berkhalwat selama 6 tahun, itu sebenarnya merupakan ujian dari Allah. Seberapa besar kesabaran dan keikhlasanmu. Kau telah luruh dari dunia. Waktu 6 tahun bukan waktu yang singkat. Yang namanya anugerah Ilahiah tidak akan datang dengan sendirinya kecuali dengan permohonan. Dia tidak akan hilang oleh sebab, tidak akan datang dengan satu bentuk dan dalam waktu khusus. Sedangkan jalan setan biasanya berlawanan dengan karakteristik tersebut.”

“Kau telah membuktikan kesabaranmu. Yang tersisa darimu hanyalah rahasia-rahasia hati. Saat itu apabila Dia melihat ke dalam hatimu, didapati hatimu bak Arsy-Nya. Dia adalah peti besi tempat penyimpanan berbagai rahasia kegaiban sekaligus berbagai jenis aib. Dia juga merupakan wadah cahaya sekaligus kegelapan yang menakutkan. Dia yang ruh di dalamnya ditabiri dengan bentuk dari berbagai sumber ajaib yang keindahan dalam setiap unsurnya ditampakkan di depan malaikat. Seperti kata Syeh Abdul Qadir, ketika kita yakin, disingkapkan bagi kita tirai dan jika bukan karena perkataan jujur, tidak akan terangkat hijab.”

“Dan Allah menjawab permohonanmu dengan mengirimkan Sahid. Tidaklah Allah menciptakan alam semesta tanpa maksud. Dia menjadikan semua yang ada di bumi dan di langit untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Merinding Nunuk mendengar jawaban Kyai Sepuh.

“Karena buah kesabaranmu, Sahid pun datang. Kedatangannya pun tanpa ada maksud lain, kecuali hanya Allah. Dia selalu menyebut Kekasih. Itu karena telah ditampakkan Nurul Haq mengalahkan semua cahaya-cahaya, dan cahaya-cahaya itu padam ketika Nuruk Haq nampak. Sebagaimana padamnya cahaya lampu ketika nyatanya cahaya matahari. Saat itu tak ada yang lebih tampak kecuali Nurul Haq. Dialah Wujud Mutlak, Maha Tampak.”

“Sahid itu memang orang-orang pilihan. Aku mengenalnya sudah lama. Dia sahabat sekaligus guru. Meski usianya lebih muda dari aku, tapi ilmunya lebih tua dari aku.”

Nunuk mendengarkan cerita Kyai Sepuh dengan seksama. Kupingnya dibuka lebar-lebar.

“Setelah Sahid pergi dari hutan. Kami sempat bertemu. Dia berpesan padaku untuk menyampaikannya padamu.”

“Di mana Kyai bertemu dengan Mas Sahid?” Nunuk bertanya karena penasaran yang memilin-milin pendalamannya.

“Nduk, aku tidak akan menjawabnya di mana bertemu dengan Kangmasmu. Terlebih menceritakannya padamu. Sebab hal itu hanya akan membuatku riya’. Nanti kau tanya sendiri sama Iksan. Tapi aku mewanti-wanti padamu, jangan ceritakan soal ini pada orang lain sebelum aku mati.”

Nunuk mengiyakan perkataan Kyai Sepuh.

“Kangmasmu Sahid berpesan agar kau segera ke Demak. Di sana ditinggalkan sebuah surat untukmu. Untuk sementara kau tidak perlu mengajak anak-anak dulu. Biarlah anak-anakmu fokus di sini dengan pelajarannya.”

“Injeh, Kyai.”

“Aku tahu jalan yang lalui cukup berat, Nduk. Kau telah melalui banyak rintangan. Menghadapi makhluk halus yang berada di tubuhmu, dan sekarang jalanmu makin berat dengan beristri seorang Wali Allah. Sejatinya, di dalam diri setiap manusia terdapat sebuah maqam. Itu tidak dapat diketahui kecuali mereka yang telah mendapatkan hikmah mencapai maqam itu. Jawaban rahasia alam sangat panjang dan lebar. Kalau memang kau ditakdirkan di jalan ini, maka Allah pasti akan memudahkan jalanmu meski banyak rintangan.”

Nunuk mulai paham pesan Kyai Sepuh. Dia tak mau lagi bertanya-tanya soal Sahid. Tak lagi berangan-angan. Tak tahu lagi apa yang bakal terjadi nanti. Yang jelas hatinya sudah mantap untuk pergi ke Demak. Soal anak-anak, Nunuk yakin mereka akan memahami kepergiannya.

Setelah mendapat pesan Kyai Sepuh, Nunuk dan Iksan undur diri. Tak lupa mereka uluk salam. Iksan mencium tangan Kyai Sepuh. Dan Nunuk mengiringi langkah Iksan.

Suasana pondok semakin senyap. Tak lagi terdengar anak-anak mengaji. Semua sudah terlelap dalam mimpi. Tinggal Nunuk dan Iksan yang duduk di balai-balai bambu. Mereka tak langsung masuk ke kamar masing-masing. Keduanya terlibat obrolan, sekiranya itu merupakan obrolan terakhir bagi mereka.

“Mas, seperti kata Kyai Sepuh, kiranya aku harus segera pergi ke Demak.”

“Iya, Dik. Mungkin ini memang sudah jalan Allah. Kau jaga diri baik-baik. Aku selalu doakan yang terbaik,” Iksan sama sekali tidak menghalangi kepergian Nunuk.

“Bagaimana dengan anak-anak, Mas?”

“Mereka sudah besar. Mereka pasti paham.”

“Aku pikir juga begitu.”

Keduanya terdiam. Saling menatap. Keduanya larut dalam suasana. Namun tak lama, sebab Nunuk langsung teringat cerita Kyai Sepuh yang bertemu dengan Sahid. Hal itu segera ditanyakan ke Iksan.

“Mas, tadi Kyai Sepuh cerita bertemu dengan Mas Sahid. Beliau tidak berani menceritakannya takut riya’. Kalau boleh tahu mereka bertemu di mana?”

“Sebelum aku jawab, aku mau kau berjanji tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun. Dan seperti pesan Kyai Sepuh, cerita ini jangan sampai orang lain tahu kecuali kita. Kecuali jika Kyai Sepuh mangkat.”

“Iya, Mas. Aku janji demi Allah tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun.”

“Kyai Sepuh bertemu Mas Sahid saat sedang sholat Subuh.”

“Di masjid ini atau di ndalem,” Nunuk menebak.

Iksan menggeleng. Agak ragu dia menjawab.

“Di mana Mas?” Tanya Nunuk semakin penasaran.

“Di depan Ka’bah.”

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...