Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #50

Jalani Saja

Oleh: Noviyanto Aji

Sebulan berlalu. Penanggalan bulan pun habis. Hari tidak tahu. Tanggal tidak tahu. Nunuk merasa lupa segalanya. Segala yang menarik perhatiannya telah lebur. Nunuk masih berada di rumah Fatimah. Tak beranjak sedikit pun dari rumah itu, kecuali pergi ke pasar.

Nunuk tak bicara dengan yang lain, kecuali pada Fatimah. Pikirannya tetap tertuju pada permintaan Sahid untuk melakukan perjalanan jauh. Tidak mudah. Perlu mental kuat, dan tentunya keikhlasan.

Hampir-hampir dia susah menerka keinginan Sahid. Berpikir secara logika juga tak mampu. Seolah tak kenal batas. Orang berilmu dan berpengalaman pun belum tentu sanggup menuruti keinginan Sahid. Barangkali hanya orang-orang pilihan saja yang mampu melakukannya.

Apakah Nunuk termasuk orang pilihan? Nunuk tidak tahu. Bisa jadi apa yang dinginkan Sahid merupakan bagian dari menebus dosa-dosanya di masa lalu. Nunuk sadar sesadar-sadarnya. Hal itu dianggapnya sebagai penebusan dosa yang harus dijalani. Dalam hal penebusan dosa, Nunuk tak ingin mendapat belas kasihan dari siapapun. Biar begitu, Nunuk tetap membutuhkan ampunan dari Yang Maha Kuasa. Bagaimana pun jalannya nanti, dia harus mampu melewatinya.

Ya, saat ini Nunuk memang sudah banyak berubah. Dulu sewaktu masih dalam cengkraman Gendro Swara Pati, Nunuk banyak menabrak aturan. Setelah mengenal Iksan dan menjadi istrinya, perempuan bahu laweyan itu menjadi sosok yang alim. Perubahan makin terlihat setelah Nunuk diperistri Sahid. Sayangnya, hal itu tidak cukup di mata Sahid. Sebab yang namanya perubahan butuh proses berliku dan pengorbanan besar.

Keinginan Sahid sepele, namun berat untuk dijalani. Seandainya keinginan Sahid ditolak, apakah Nunuk akan dianggap durhaka, berani melawan perintah suami?

Tidak. Wali Allah itu tidak memberatkan apapun bagi istrinya. Sahid bahkan tidak menghalang-halangi Nunuk apabila permintaannya dirasa terlalu berat. Hanya, Nunuk tetap tidak bisa berpaling dari hal itu. Sekalipun dia mengerti tujuan suaminya baik, namun permintaannya terus memasung pikirannya hingga berlarut-larut. Wajar saja Sahid meminta Nunuk berkhalwat, sebab perempuan yang dinikahinya itu memiliki hati setegar singa.

Tiba-tiba seseorang dari belakang menepuk pundak Nunuk. Dia terpakukan di lantai. Ditariknya pandangannya dan diarahkan ke orang yang menepuk pundaknya.

“Eh, Mbak Fatimah.”

“Kamu tampak lesu, Dik. Sedang memikirkan apa?”

Meski di rumah berdua, Fatimah dapat mengetahui jalan pikiran Nunuk. Apa yang dirasakannya sekarang ini, perasaan yang penuh campur aduk. Perasaan sebatang kara pastilah dirasakan Nunuk di tengah keramaian, dan dia harus menanggungnya seorang diri. Sebenarnya jalan hati sudah terbuka, cuma keberanian belum nampak.

“Aku sedang memikirkan surat Mas Sahid, Mbak.”

“Apakah surat Mas Sahid menganggumu?” Fatimah sebenarnya paham dengan isi surat itu, dia hanya ingin memastikan pendalaman Nunuk.

Nunuk tidak menjawab, hanya mengangguk. Dia menenggelamkan dagunya. Seperti orang yang sedang dilanda kebingungan. Rasa-rasanya bahan keringanan sudah habis dari hatinya. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa.

“Dunia sekarang sudah terlalu kecil buatmu, Dik. Tidak sepantasnya kau terganggu dengan hal itu,” Fatimah mencoba meraih jiwa cadangan Nunuk yang masih dihinggapi keragu-raguan.

“Maksud Mbak Fatimah dunia terlalu kecil?”

“Sekarang tujuanmu adalah Allah. Untuk menuju ke sana tidak boleh ada keragu-raguan.”

“Aku takut, Mbak.”

“Kau seharusnya takut dengan Allah, bukan takut dengan keadaan!” Seru Fatimah.

“Apakah Mbak takut dengan keadaan?” Nunuk bertanya.

“Semua manusia juga takut dengan keadaan. Kadang mereka takut dengan kefakiran. Sehingga menghalalkan segala cara berbuat nista. Mereka takut rejeki hilang dalam dirinya. Sehingga membudak pada sesama. Padahal di balik semua itu ada kekuatan Maha Gaib yang selalu melindungi kita. Dia selalu ada untuk kita.”

“Bagaimana kita bisa menyingkirkan rasa takut akan keadaan ini?”

“Rasa takut adalah lumrahnya manusia. Tak perlu disingkirkan. Rasa takut harus kita sikapi dengan rasa syukur. Mungkin kita menganggap keadaan tak pernah berpihak pada kita. Tapi bagi mereka yang pandai bersyukur, keadaan justru berpihak pada kita.”

Nunuk memperhatikan bibir Fatimah yang berbicara dengan tenang sekali. Mungkin pengalaman hidup telah mengajarkan padanya untuk tidak takut melawan keadaan. Sepertinya Fatimah hendak menunjukkan pada Nunuk agar tak lagi gentar menghadapi setan-setan yang bertengger di dadanya. Setan-setan itulah yang sering membuat keadaan manusia jungkir balik. Sehingga hati dipenuhi keragu-raguan dan ketakutan. Akibatnya, manusia gampang menderita.

“Aku harus bagaimana, Mbak?”

“Pilihlah yang menurut hati nuranimu baik. Maka, itulah pilihanmu.”

“Aku sebenarnya masih takut bepergian sendiri, Mbak.”

“Bagi seorang wanita bepergian sendiri memang tidak mudah. Banyak ulama berbeda pendapat soal ini. Ada yang berpendapat wanita harus ditemani suami atau mahramnya jika bepergian selama tiga hari. Ada pendapat yang membolehkan. Di sini ‘illat-nya bukan adanya mahram atau tidak, tetapi ’illatnya demi masalah keamanan. Adanya suami atau mahram, hanya salah satu cara untuk memastikan keamanan saja. Yang dimaksud aman adalah tidak ada perampok, begal, penjahat, dan sejenisnya. Sehingga kalau pun wanita itu punya rasa takut, hendaknya rasa takut itu hanya kepada Allah saja.”

“Apakah masih memungkinkan bagi seorang wanita bepergian sendiri?”

“Adiy bin Hatim pernah berkata, “Ketika aku sedang bersama Nabi SAW tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan”. Maka beliau berkata, “Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?”. Aku jawab, “Belum pernah aku melihatnya namun aku pernah mendengar beritanya”. Beliau berkata, “Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah”. (HR. Bukhari).”

Dan ternyata benar, di akhir hayatnya Adiy bin Hatim sempat menyaksikan apa yang pernah disampaikan Rasulullah SAW. Adiy bin Hatim berkata, “Akhirnya aku melihat seorang wanita bepergian sendirian dari Hirah hingga tawaf ke Baitullah. Dia tidak merasa takut kepada apapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Dan aku termasuk yang mendapatkan kekayaan Kisra bin Hurmuz. (HR. Bukhari).”

“Soal itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Bahkan selama seribu tahun Universitas Al-Azhar di Mesir, salah satu universitas tertua di dunia, masih mempersoalkan ini. Tapi kemudian universitas ini membuka kuliah untuk para wanita dari seluruh penjuru dunia. Para wanita ini datang ke Mesir tanpa mahram atau suami. Begitu juga universitas di Saudi Arabia membuka kuliah untuk para wanita dari seluruh penjuru dunia. Karena keadaan yang mengharuskan ada ulama dari kalangan wanita. Tapi saat ini keadaan sudah aman. Aku tidak tahu apakah universitas yang membuka kuliah untuk para wanita sudah tidak mempertentangkan soal itu. Rasa-rasanya sudah tidak lagi. Wallahua’lam.”

“Bagaimana dengan negeri kita, apakah sudah aman bagi seorang wanita bepergian sendiri?”

“Yang namanya penjahat pasti selalu ada. Bahkan di negara yang aman sekalipun. Yang jelas kondisi saat ini tidak seperti jaman baheula. Dan keamanan itu juga tergantung dari cara kita bersikap. Seorang wanita yang suka mempertontonkan aurat, tentu akan mengundang perhatian orang untuk datang.”

Nunuk memikirkan kembali kebenaran kata-kata Fatimah. Apa yang dirasakannya terasa jungkir balik. Semua ketakutannya perlahan menyingkir dan melarikan diri. Dia harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan baru, suka atau tidak. Kini ada titik terang dari pilihan Sahid. Nunuk akan mengambil jalan yang dilalui suaminya, meski hal itu sulit. Bayangannya masih tertuju pada jalan-jalan yang nantinya akan dilalui. Jalan panjang. Tak ada ujungnya. Apalagi dia harus melaluinya dengan berjalan kaki seperti yang dilakukan Sahid.

“Apakah aku harus berjalan kaki, Mbak?” Nunuk bertanya lagi.

“Seperti yang tertulis di surat itu. Kamu memang harus berjalan. Aku sendiri tidak tahu mengapa Mas Sahid meminta hal itu. Tapi aku pernah mendengar cerita seorang santri yang diminta Mas Sahid untuk berjalan. Dia berjalan kaki selama berhari-hari tanpa membawa bekal hingga sampai yang dituju.”

“Tanpa bekal!” Seru Nunuk.

“Tanpa bekal. Dan selama di perjalanan santri tersebut dilarang untuk meminta-minta.”

“Mengapa bisa begitu, Mbak?”

“Aku sendiri tidak tahu, Dik. Nyatanya dia berhasil melakukan apa yang diperintahkan Mas Sahid. Ada banyak hal di dunia ini tak bisa dijelaskan dengan nalar. Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, terutama bagi Muslim laki-laki dan Muslim perempuan. Karena itu dalam menuntut ilmu jangan setengah-setengah. Harus bersungguh-sungguh. Aku yakin santri tersebut sangat total dalam menuntut ilmu. Yang dikejarnya hanya ilmu Allah, dan Allah senantiasa melindunginya di mana pun dia melangkah.”

Cerita Fatimah makin terang benderang, juga makin jauh dan jauh, terasa Nunuk tidak lagi membutuhkan bumi sebagai tempat berpijak.

“Tapi aku masih ragu untuk melakukan perjalanan ini, Mbak!” Seru Nunuk.

“Apakah karena tempatnya yang jauh?”

“Tentu. Aku membayangkan sepertinya sulit dilalui. Butuh waktu berhari-hari.”

Fatimah melihat wajah Nunuk dengan penuh kasih. Dia tahu perempuan di hadapannya belum memiliki keberanian untuk melangkah. Atau boleh jadi keberanian itu sudah ada dalam diri, tinggal mengeluarkannya saja. Dan memang keberanian harus ditumbuhkan dalam diri. Namun Fatimah tidak berusaha untuk merayu apalagi memaksa. Dia hanya berusaha memberi pemahaman dan menerangkan dengan baik. Toh, pilihan kembali pada Nunuk.

“Dik, apakah kamu sebelumnya pernah membayangkan tinggal di tengah hutan?” Tanya Fatimah.

Nunuk menggeleng. Lalu menunduk.

“Aku tak pernah membayangkan bagaimana hidup di tengah hutan, di bawah kaki gunung Penanggungan.”

Perempuan bahu laweyan itu tak dapat menyembunyikan kegetiran hidupnya selama tinggal di tengah hutan. Bibirnya yang tipis kemerahan bicara terus terang mengenai perasaannya terdalam yang tak pernah diketahui seseorang. Dan pada hari itu, Fatimah adalah orang pertama yang mampu mengusik pendalamannya.

Nunuk memang pernah menceritakan hal itu pada Iksan. Tapi sebatas cerita pengalaman. Bukan perasaan.

“Aku sebenarnya tidak tahu bagaimana bisa bertahan selama 6 tahun di tengah hutan. Perasaan takut, sedih, menderita, dan kesepian, semua kualami selama di sana,” kata Nunuk tanpa tedeng aling-aling.

Nampaknya Fatimah tetap membiarkan Nunuk mengungkapkan jerit hatinya.

“Aku sebenarnya mau menangis saat itu. Tapi tak ada seorang pun yang dapat kujadikan sandaran. Akhirnya dalam kepasrahan itu, semua kutumpahkan pada Allah semata. Aku menangis padaNya. Setiap hari. Setiap malam. Berdoa semoga pertolongan segera datang. Seiiring dengan adanya pertolongan itu, aku berdoa supaya dapat dipertemukan lagi dengan anak-anakku.”

Fatimah terenyuh mendengar cerita Nunuk. Tanpa sadar airmata meleleh di pipinya. Dan dia buru-buru menyekanya.

“Bagaimana kau bisa punya pikiran untuk tinggal di hutan, Dik?”

“Entahlah, Mbak. Semua terlintas begitu saja di pikiranku.”

“Apakah kau takut dengan makhluk halus itu?”

“Gendro Swara Pati. Mungkin iya, awalnya. Tak tahu berapa banyak dosa yang sudah kuperbuat gara-gara makhluk jahat itu. Tapi semenjak menikah dengan Mas Iksan dan dibekali ilmu agama, aku tak takut lagi dengan Gendro Swara Pati. Saat itu yang aku khawatirkan hanya keselamatan anak-anakku. Aku tak pernah memikirkan diriku lagi. Berada di hutan justru semakin membuatku khusyuk mendekatkan diri pada Allah. Aku tak mau lepas dari Allah lagi. Karena hanya Dia yang mampu menolongku. Aku tidak takut lagi, Mbak.”

Sampai di sini Fatimah diam-diam menaruh takjub pada perempuan di hadapannya. Banyak cerita, banyak perjuangan Nunuk penuh liku, cerita petualangan yang tak ada habisnya, yang awalnya untuk ditelan sendiri kemudian dibagikan pada Fatimah. Pengalaman hebat yang membikin orang jadi rendah hati dan mudah memberikan perhatian pada sesama. Ceritanya mungkin akan bertambah panjang seandainya Nunuk mengikuti kehendak Sahid untuk berjalan ke tempat-tempat para Wali.

“Dik,” Fatimah berkata kalem pada Nunuk, “Mendengar ceritamu, sungguh aku terharu. Kau tinggal di hutan selama 6 tahun lamanya, itu bukan perkara mudah. Itu berarti Allah telah menuntun dan melindungimu. Tak ada orang yang sanggup melakukan seperti yang kau lakukan.”

“Di sana juga ada orang.”

“Tapi niat dan tujuannya berbeda. Kau melakukan itu karena ingin mencari pertolongan dari Allah. Kau korbankan waktumu. Kau korbankan perasaanmu. Kau rela berpisah untuk waktu yang sangat lama dari anak-anakmu. Tak semua orang mampu melakukannya. Pada akhirnya segalanya berbalas dengan kebaikan. Kau mampu bertahan hidup selama 6 tahun di hutan karena kau sebelumnya tak pernah membayangkan. Yang kau tuju saat itu hanya pertolongan Allah.”

“Jadi aku harus bagaimana, Mbak?”

“Kau yang lebih tahu, Dik. Apapun pilihanmu, aku hanya bisa mendukungmu saja. Jika kau pilih kehendak Mas Sahid, maka kau jangan ragu lagi. Tak perlu membayangkan seberapa jauh perjalananmu. Insya Allah kau pasti dapat melaluinya.”
“Jika aku pilih sesuai permintaan Mas Sahid, haruskah aku membawa bekal di perjalanan?”

“Terserah kau, Dik. Sebab dalam surat Mas Sahid hanya ditulis ‘berjalan’. Kau membawa bekal pun tidak masalah. Alangkah baiknya tidak membawa bekal. Sebab bekal atau harta dunia hanya akan menjadi bebanmu di perjalanan. Kira-kira seperti itu yang sering dilakukan Mas Sahid. Selama aku hidup bersamanya, dia sekalipun tak pernah memikirkan harta dunia. Seperti halnya bayi yang baru dilahirkan, tanpa membawa apapun ke dunia. Begitulah manusia. Harta dunia cuma titipan. Tapi yang namanya titipan bisa berbuah petaka. Karena itu titipan harus dikembalikan kepada yang berhak dengan cara menyedekahkan hartanya. Kata Rasulullah, manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat untuk manusia. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiraan yang engkau masukan ke hati seorang mukmin, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau membayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya.”

Hari itu obrolan kedua perempuan tersebut seperti mendapat hidayah. Tanpa ada angin, tiba-tiba hari terlihat gelap. Rupanya mendung sedang bergelayut. Lalu menaburkan gerimis ke seluruh isi alam. Bukti keagunganNya telah tiba menyapa mereka. Baik Nunuk maupun Fatimah tenggelam dalam suasana bisu. Saling mengenangkan pribadi masing-masing.

Dan sebelum menutup obrolan, Nunuk memungkasi dengan pertanyaan terakhir. “Mbak Fatimah, kalau boleh tahu apa yang terjadi dengan santri tadi?”

“Selepas dia berjalan, Mas Sahid menyuruhnya pulang. Dia dilarang lagi balik ke pondok.”

“Dia diusir dari pondok?”

Fatimah mengangguk.

“Kok bisa begitu?”

“Karena dia sudah mendapatkan ilmu Allah. Maqam orang berbeda-beda. Ada yang butuh bertahun-tahun untuk menimba ilmu. Ada yang singkat. Tanpa diberi pemahaman, dia sudah bisa menguasainya. Orang menyebutnya laduni. Setelah di rumah dia kemudian berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Santrinya banyak. Dia kini menjadi pendakwah.” [bersambung]

Komentar
Loading...