Bahu Laweyan #51
Mulai Berjalan
Oleh: Noviyanto Aji
Hari di mana Nunuk memutuskan perkara penting dalam hidupnya disambut hujan deras. Selama seharian hujan turun dengan lebatnya. Bersamaan derasnya air yang turun dari langit dan membasahi atap, menangislah Nunuk dalam suasana tersebut. Dan suara tangisnya pun tenggelam di balik guyuran hujan lebat. Sedih dia mengenangkan perjalanan yang akan dilaluinya. Akankah dia bertahan melalui semua itu. Dia masih ragu.
Bagaimana pun juga hati Nunuk akan merasa salah bila keinginan suaminya tidak dipenuhi. Kendati Sahid tidak memberatkan apapun padanya.
Nunuk hanya berdiam diri. Badannya tak bisa dibawa bangkit. Sepertinya dia harus menguras pikirannya lebih dalam lagi. Sekaligus menguatkan tekadnya untuk memenuhi permintaan sang suami.
Hingga akhirnya Nunuk membulatkan tekad. Dia harus berangkat memenuhi permintaan Sahid. Entah apa yang bakal terjadi di jalan, dia pasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa.
Ya, betapa sakralnya keputusan yang diambil Nunuk. Sampai-sampai setiap hari dia harus meminta pertimbangan pada Fatimah. Namun perempuan bahu laweyan tersebut tidak langsung mengambil keputusan. Dia masih harus merenung selama seminggu baru berani memutuskan.
“Saya tahu perjalanan ini akan berat dilalui. Tapi semua sudah saya pasrahkan sama Yang Maha Kuasa. Mbak Fatimah saben hari terus menguatkan mental saya. Dia tidak merayu. Sebab segala keputusan ada di tangan saya. Kalau pun saya menolak, Mbak Fatimah akan memaklumi. Sementara keputusan yang saya ambil memang amat berat. Melakukan perjalanan keliling Walisanga tidaklah mudah. Belum lagi saya harus berjalan kaki. Entah akan sampai berapa hari. Akhirnya keputusan itu saya ambil. Saya bersedia memenuhi permintaan Mas Sahid.”
Kepada Fatimah, Nunuk lantas menyampaikan keputusannya. Mendengar hal itu, Fatimah tak kuasa menahan haru. Tenggorokan Fatimah terasa tercekat sesuatu dan kering. Jantungnya berdekup kencang. Tiba-tiba dia merasa mau menangis untuk melampiaskan rasa harunya.
“Aku tidak tahu harus bilang apa, Dik. Aku hanya bisa mendoakan semoga kau bisa melalui semua ini,” tuturnya.
Fatimah menangkap pundak Nunuk. Pandangan matanya yang redup seolah mencengkram kuat Nunuk. Mereka saling berpandang-pandangan amat dekat. Seolah sama-sama saling mengetahui isi hati masing-masing.
“Aku tahu, Mbak. Setelah kupikir-pikir, aku tidak bisa mengesampingkan urusan ini. Aku tahu ini berat, tapi aku yakin ini adalah waktu terbaik buatku.”
“Insya Allah, ini adalah waktu terbaikmu. Waktu terbaik kita sebagai manusia adalah saat kita merasa membutuhkan Allah. Sedangkan asbab adalah menjadi pengingatmu terhadap apa yang tersembunyi dalam waktu aslimu itu. Dan kebutuhan-kebutuhan mendasar (pada Allah) itu tidak bisa dicampakkan oleh sesuatu di luarnya.”
“Aku juga merasa begitu, Mbak. Menyadari betapa manusia butuh Allah setiap saat, dan karenanya manusia harus kembali mengakui akan kerendahan dirinya di hadapanNya. Ketauhidan adalah bentuk kerendahan manusia pada Allah, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah.”
“Benar, Dik. Apabila Allah telah membuatmu merasa bosan dengan makhluk, maka ketahuilah, bahwa Dia hendak membukakan untukmu pintu keintiman denganNya. Allah menerangi alam lahir makhlukNya dengan cahaya, dan menerangi rahasia hati dengan cahaya sifatNya, sesuai dengan kehendakNya. Agar pedihnya ujian terasa ringan, hendaklah kita mengetahui bahwa Allahlah yang tengah mengujimu. Dan karena yang menimpakan takdirNya kepadamu adalah Dzat yang juga biasa memberimu sebaik-baik pilihan dalam hidup. Semoga Allah meridhoi perjalananmu.”
“Amin.”
Malam itu, untuk yang terakhir kalinya, kedua perempuan itu memandangi hujan lebat yang tiada kunjung berhenti. Ada suatu perasaan tersisih yang dirasakan keduanya dan membekas di hati. Yang paling terasa tentu Nunuk. Dulu dia pernah merasa tersisih dari dunia. Yakni dengan memutuskan tinggal di hutan selama 6 tahun. Dan sekarang, dia akan kembali tersisih dari dunia.
Orang-orang pasti takkan memikirkan beratnya beban yang dilalui Nunuk, baik selama masih ada Gendro Swara Pati yang bersemayam di tubuhnya maupun setelah makhluk halus itu pergi. Beban paling berat yang dirasakannya adalah ketika dia tersisih dari dunia. Namun justru hal itu yang menjadi waktu terbaik bagi Nunuk.
Meski merasa menjadi orang tersisih, Nunuk tidak lagi mengkhawatiran berbagai jalan menuju Allah yang banyak dianggap orang membingungkan. Yang dikhawatirkanya saat ini adalah jika sampai hawa nafsu menguasai dirinya. Ya, alam ini pada lahirnya merupakan tipuan, dan batiniyahnya adalah pelajaran. Nafsu memandang pada tipuan lahiriyahnya, sementara qolbu memandang kepada pelajaran yang tersimpan di dalamnya.
Menjadi orang arif bukanlah yang apabila menyampaikan isyarat lalu merasa Al-Haq lebih dekat kepada dirinya daripada yang diisyaratkan. Melainkan orang arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena kefanaannya dalam proses mencapai wujudNya dan kekhusukannya dalam penyaksian (syuhud) terhadapNya. Untuk sampai ke sana, harus disertai dengan amal bukan dengan lamunan.
Nunuk merasa bahwa ketersisihan dirinya dari dunia merupakan salah satu amal yang harus dijalani. Tak baik dia menunda amal saleh guna menantikan kesempatan yang lebih luang. Sebab hal itu termasuk tanda kebodohan jiwa. Karena itu perjalanan hakiki akan menjadi singkat manakala manusia dapat melipat jarak dunia, sehingga dapat melihat akhirat lebih dekat ketimbang melihat dirinya sendiri.
***
Pagi-pagi benar sebelum Subuh di surau berbunyi, Nunuk telah menyiapkan pakaian seadanya untuk bekal ganti di perjalanan. Fatimah membantu bahkan memberi pakaian miliknya. Tidak banyak pakaian yang dibawa.
Untuk bekal makanan, Fatimah hanya menyiapkan seadanya. Sekedar cukup dimakan sehari. Tak lupa Nunuk membawa botol air kecil. Selebihnya Nunuk tidak membawa bekal apapun. Dan seperti wejangan Fatimah, Nunuk tidak membawa uang sepeserpun. Sebab hal itu hanya akan menjadi beban di kemudian hari. Sama seperti yang dilakukan Sahid.
Setelah semua persiapan selesai, adzan Subuh terdengar bertalu-talu. Dan untuk terakhir kalinya Nunuk dan Fatimah menggelar sholat berjamaah. Nampak kekhusyukan diantara mereka. Suasana begitu sakral. Tak henti-hentinya Fatimah menangis saat membaca surat-surat Alquran. Sesekali dia berhenti dan melanjutkan bacaannya. Nunuk yang menjadi makmum juga tak kuasa menahan haru.
Begitu Subuh terlewati, Fatimah beranjak dari tempat pengimaman dan diikuti Nunuk. Untuk sekalian kalinya kedua perempuan itu saling berpelukan. Saling dekat. Hati dan hati bersentuhan. Tak ada hijab. Sama halnya dengan orang arif yang tidak terhalang hijab saat melihat Al-Haq. Sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, barang tentu sesuatu itu telah menutupiNya. Dan bila ada tutup bagiNya, maka tentu wujudNya akan terkurung oleh sesuatu tersebut. Sesuatu yang mengurung itu bisa jadi alam akal dan alam pikir, sehingga menjadi dinding tebal yang menghalang-halangi.
“Aku pamit, Mbak!” Nunuk memandangi Fatimah untuk yang terakhir kali, begitu pula sebaliknya.
“Hati-hati di jalan, Dik. Manfaatkan perjalananmu untuk senantiasa mengingatNya. Sering-seringlah shalat di tengah perjalananmu. Sebab shalat merupakan penyucian hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban. Shalatmu akan menjadi sarana bermunajat sekaligus sumber penyucian hati. Di dalam shalatmu terbentang luas rahasia Allah. Di situ Allah tahu kelemahan dirimu,” pesan Fatimah.
“Akan selalu kuingat pesan Mbak Fatimah.”
“Satu lagi, sering-seringlah berpuasa. Aku yakin di tengah perjalananmu nanti, kau akan sering berpuasa karena memang di situ kau merasakan kefakiranmu.”
“Iya, Mbak!”
“Aku senantiasa mendoakan yang terbaik buatmu. Sampaikan salamku pada Mas Sahid.”
“Bagaimana Mbak bisa yakin nanti aku bertemu Mas Sahid?”
“Entahlah aku punya keyakinan kau akan bertemu dengan Mas Sahid.”
“Insya Allah, Mbak!”
Nunuk mencium tangan Fatimah dan kembali memeluknya.
“Assalamualaikum,” kata Nunuk.
“Waalaikumsalam,” dibalas Fatimah.
Dan perjalanan perempuan bahu laweyan pun dimulai.
Pagi itu udara terasa sangat sejuk. Nunuk dapat mencium bau tanah setelah semalaman diguyur hujan. Matanya sempat terpejam membauinya. Jalanan agak sedikit becek. Tapi hanya bagian-bagian tertentu saja. Suara-suara burung di pagi hari menyambut keberangkatannya. Ayam jantan berkokok juga turut menyambutnya.
Sebelum pergi, Nunuk sempat menoleh ke belakang. Melihat wajah terakhir Fatimah, dan rumah sederhana yang ditinggalkannya. Lalu secepat kilat dia memalingkan badan. Berjalan gontai tapi pasti. Tak ada keragu-raguan lagi dalam dirinya. Sekian menit, Nunuk pun menghilang dari pandangan Fatimah.
Selama berjalan, banyak orang menegur sapa padanya. Orang-orang yang lalu lalang itu hendak pergi ke pasar. Nunuk membalas sapaan mereka dengan senyum ramah. Hingga tibalah dia di sebuah jalan raya. Nunuk celingukan. Mana rute yang akan diambil. Sedikit merenung.
“Bismillah,” ucapnya.
Rute pertama yang diambil adalah makam Sunan Kalijaga. Sebab lokasi itu yang paling dekat. Meski begitu, untuk berjalan kaki lokasinya tetap lumayan jauh. Selama berjalan kaki, Nunuk merasakan sensasi yang tidak biasa. Ya, dia merasakan kakinya seperti ada yang menggerakkan. Tangannya yang mengikuti langkah kaki juga seperti ada yang menggerakkan. Matanya yang mengawasi sepanjang jalan juga merasa ada yang menggerakkan. Deru nafasnya yang keluar masuk juga seperti ada yang menggerakkan. Nunuk dapat merasai semua anggota tubuhnya bergerak, dan seperti bukan atas kemauan dia yang menggerakkan.
Lalu berucaplah Nunuk di sepanjang perjalanan itu: “Allah…Allah…Allah…”
Bibirnya tak berhenti berdzikir. Dia seperti menghitung setiap langkah kaki yang dihentakkan ke bumi. Terus dan terus. Tak sedetikpun dia berhenti berdzikir. Tanpa terasa, Nunuk pun tiba di makam Sunan Kalijaga. Meski perjalanan yang ditempuhnya tidak memakan waktu lalu, perempuan itu sepertinya tenggelam dalam kondisi spiritual tinggi. Sehingga dia tidak merasakan apapun setiba di makam Sunan Kalijaga.
Di makam Raden Sahid, Nunuk melihat banyak orang. Dia pun pergi bersama mereka. Membaur. Membaca surat-surat yang dia bisa. Dan ketika orang-orang selesai berdoa dan berlalu dari hadapannya, Nunuk tak beranjak dari tempat duduknya. Dia terus-terusan berdzikir. Hingga melupakan orang-orang di sekitarnya. Setelah dua jam berlalu, perempuan itu kemudian duduk menepi di pinggir makam namun dengan bibir tak henti-hentinya menyebut asma Allah.
Pada hari itu, Nunuk mengalami sebuah kondisi spiritual yang sangat berat. Seperti ada yang membisikinya untuk terus melanjutkan perjalanan. Dan perjalanan berikutnya menuju makam Sunan Kudus. Lokasi Kudus lebih jauh lagi. Setidaknya butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke sana. Sekali lagi, karena Nunuk merasa dekat padaNya, dimana setiap langkahnya adalah dzikir, maka perjalanan berjam-jam itu dilaluinya dengan mudah.
Di makam Sunan Kudus, Nunuk tidak lama-lama. Usai berdoa, Nunuk kembali meneruskan perjalanan. Kali ini menuju makam Raden Umar Said atau biasa dikenal Sunan Muria. Lokasinya masih berada di wilayah Kudus. Bedanya perjalanan menuju Muria agak jauh dan berat. Belum lagi dia harus naik ke puncak Gunung Muria.
Dan seperti kejadian sebelumnya, perjalanan Nunuk ke puncak makam Sunan Muria tidak terasa berat, karena keajaiban seakan disingkapkan padanya. Bagi orang-orang yang tertarik kepadaNya, memang akan disingkapkan kesempurnaan DzatNya. Kemudian Dia akan mengembalikan mereka pada penyaksian sifat-sifatNya. Setelah itu, Dia mengembalikan mereka pada bergantung dengan nama-namaNya. Bagi para penempuh jalan spiritual, puncak pencapaian mereka bermula dari ketertarikan kepadaNya.
Bergantungnya Nunuk pada sifat-sifat Rububiyyah (ketuhanan) Allah, laksana sungguh-sungguh sifat-sifat penghambaan (ubudiyyah), membuatnya semakin luruh dalam kondisi spiritual yang tinggi. Keberadaan benda apapun tidak menghalangi Nunuk dari ketawadhuannya pada Allah. Itulah yang membuat dia tidak terhalangi dariNya, bahwa Dia selalu berada di samping makhlukNya.
Di makam Sunan Muria, perempuan itu berhenti. Diputuskanlah dia menginap sebelum esoknya melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Gunung Jati. Bekal makanan terakhir telah habis sewaktu perjalanan menuju Sunan Muria. Rasa lapar mulai mendatanginya. Akan tetapi Nunuk tak punya bekal apapun. Ini adalah ujian pertama bagi perempuan bahu laweyan tersebut. Apa yang harus dia perbuat. Tak ada. Nunuk hanya berdiam diri di masjid Sunan Muria. Mulutnya terus berdzikir.
Tanpa disadari, hari sudah malam. Rasa lapar itu tak berhenti menyerang. Nunuk pun tiba-tiba teringat pesan Fatimah, bahwa meski rasa lapar datang, jangan sekali-sekali meminta sesuatu pada manusia. Pesan itu terus diingat dalam benaknya. Nunuk kini hanya bisa pasrah. Dan sebagai pengganti rasa lapar, Nunuk meraih botol air dari tasnya. Diteguklah air itu sebagai penghilang rasa lapar. Hal itu dilakukannya berulang kali.
Hingga akhirnya seseorang mengejutkan Nunuk dari belakang dengan menepuk pundaknya.
“Mbak,” tepuk seorang wanita tua.
Nunuk menoleh. Dia menghentikan dzikirnya.
“Iya, Bu,” balasnya.
“Dari tadi saya lihat Mbak minum air terus. Apa sudah makan?”
Nunuk menggeleng.
Lantas wanita tua itu merogoh tasnya dan memberikan sebungkus nasi pada Nunuk.
“Ini ada sebungkus nasi. Silahkan dimakan dulu.”
Nunuk meraih nasi bungkus dari wanita tua tersebut.
“Terima kasih, Bu.”
“Kalau boleh tahu apakah ibu peziarah?”
Wanita tua itu mengangguk.
“Apakah ibu bersama rombongan peziarah dan menginap di sini?”
Dia mengangguk lagi.
Nunuk mulai membuka bungkus nasi. Dilihat isinya. Nasi rendang. Masih hangat. Malam-malam begini masih ada orang jualan nasi rendang, pikirnya.
Dan sudah menjadi kebiasaan Nunuk, dia selalu makan pakai tangan seperti yang disunahkan Rasulullah. Apabila salah seorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanan dan minumlah dengan tangan kanan karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya.
“Bismillah. Saya makan dulu ya Bu,” ucap Nunuk minta izin pada wanita tua tersebut.
Nampak wanita tua itu tersenyum bangga melihat Nunuk lahap menyantap makanan pemberiannya.
“Terima kasih, Bu,” kata Nunuk saat baru tiga suapan nasi masuk ke mulutnya.
“Sama-sama, Mbak,” jawab wanita tua itu ramah.
Sebuah keanehan kemudian terjadi. Menginjak suapan nasi keempat dan kelima, Nunuk dikagetkan dengan keberadaan wanita tua tersebut. Ya, wanita tua itu tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Nunuk celingukan ke sana kemari, tak didapatkan seorangpun. Sementara kondisi Gunung Muria terlihat sepi. Sejenak Nunuk memejam mata. Mengenangkan peristiwa yang baru dialaminya.
“Allahuakbar!” Serunya.
Setelah matanya dibuka, Nunuk kembali menyantap makanannya sembari geleng-geleng kepala tersenyum.[bersambung]