Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #56

‘Pekerjaan’ Sahid

Oleh: Jendra Wiswara

Dunia rupanya tak sempit. Bahkan tak selebar daun kelor. Ke mana Nunuk melangkah, sosok Sahid selalu membayangi. Wali Allah itu seperti ada di mana-mana. Hati Nunuk terbebani. Memang semua jalan telah terbuka. Biar begitu ganjalan dalam batin Nunuk bukan tidak menegangkan. Akan selalu mendebarkan. 

Setiap kali mendengar nama Sahid, batinnya bagai kereta luncur. Naik turun. Senantiasa dihinggapi kerinduan mendalam pada sosok menawan hati tersebut. Semestinya sejak pernikahannya, Nunuk berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Sayang, yang didapat malah sebaliknya. Nunuk merasa getir bila mengenangkan pelukan pertama dan terakhir Sahid usai mengusir Gendro Swara Pati.

Hati perempuan dipercaya seluas dan sedalam samudera. Sukar ditebak. Malaikat pun tak bisa menebaknya. Apalagi manusia. Namun siapa sangka, hati Nunuk terbuka lebar. Dapat dilihat dan dirasa. Malah mungkin, dapat dipegang. Karena dia tak bisa berpura-pura.

Dalam hal cinta, manusia kerap berpura-pura. Yang namanya percintaan ibarat bumi yang berputar pada porosnya. Nanti akan kembali ke itu-itu lagi. Agar cinta tak dipandang sebelah mata dan juga cinta tidak merasa membosankan, manusia kadang menyiasatinya dengan kepura-puraan. Hanya kepura-puraan itu tak berlaku bagi Nunuk. Sebab dia tidak pandai berpura-pura. Menyembunyikan perasaan terdalamnya justru akan membuatnya makin terjerumus. Ujung-ujungnya pelampiasan.

Di relung hati terdalam, Nunuk merasa kehilangan dan ketakutan terhadap orang yang dicintainya sejujur hatinya. Penderitaan batinnya bertumpuk-tumpuk. Akibat cinta, orang bisa jadi kentir dan tidak waras. Beruntung Nunuk masih punya Allah. Semua penderitaan itu telah dia curhatkan pada Sang Kekasih. Hatinya menjadi lapang, meski kadang penderitaan itu muncul kembali.

Ya, ketika bersama Dewi Sartika, Nunuk menjadi begitu sensitif mendengar nama Sahid diungkit-ungkit. Sebenarnya bukan itu saja, saat Kyai Sepuh di Kediri bertemu Sahid di depan Ka’bah dan juga Kyai Sepuh yang mengantarkannya dengan perjalanan kilat, nama yang disebut itu selalu membuat hatinya rapuh.

“Apakah Mas Sahid orangnya memiliki ciri-ciri berkumis tipis. Ramputnya lurus. Kulitnya kuning tapi tidak seberapa kuning, mungkin karena sering berjalan jadi kesannya kotor. Bila berdekatan dengannya, tidak pernah tercium wangi-wangian. Aroma tubuhnya tidak berbau alias tawar meski tubuhnya tidak terawat dan kotor. Di samping pipinya ada cekungan. Kalau diperhatikan dengan seksama cekungan di pipinya akan terlihat. Sesekali di dahinya terlihat belahan seperti huruf alif tegak lurus baik saat dia tersenyum atau saat berbicara?” Tanya Nunuk memastikan pada Dewi.

“Iya, benar.”

Nunuk berhenti bicara. Selanjutnya memejamkan mata. Mengenangkan kembali sosok lelaki yang dinikahinya di kaki gunung Penanggungan. Dia hafal sehafal-hafalnya sosok suaminya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semua ciri-cirinya. Karakternya. Kebiasaannya. Semakin dia memejamkan mata, semakin terhanyut dia. Gambaran Sahid seakan terlihat jelas di ujung pelupuk mata. Lelaki itulah yang dulu dan kini tetap memukau hatinya, menentramkan jiwanya.

“Saat tadi kita berjalan bersama, kita memiliki tinggi yang hampir sama. Bila saya berdiri dengan Mas Sahid, tinggi dia sekira segini,” Nunuk mengangkat tangan kanannya lalu seperti memperagakan gerakan hormat dan merapatkannya di atas telinga, menunjukkan pada Dewi tinggi badan Sahid.

“Iya, tidak salah.”

“Boleh tahu dia berada di Tuban berapa lama?” Tanya Nunuk.

“Kurang lebih seminggu,” balas Dewi.

“Dia tidur di mana?”

“Tidak mesti. Kadang di rumah. Kadang pergi entah ke mana. Ada yang bilang dia tidur di mushola. Lain waktu dia tidur di rumah-rumah warga.”

“Apakah Mbak Dewi sering melihat Mas Sahid dalam keadaan biasa, bukan saat berdakwah?”

“Sesekali. Sewaktu dia di rumah bersama suami. Saya sering memperhatikannya.”

“Apakah dia lebih suka bergaul dengan anak-anak kecil ketimbang dengan orang dewasa di saat waktu luang?”

“Iya, benar. Dia sangat menyukai anak kecil. Sering mengajak anak-anak bermain. Dia juga disukai anak-anak. Di lain waktu, anak-anak pernah datang ke rumah ramai-ramai mencari Mas Sahid untuk diajak bermain. Mereka seperti ada yang mengkomando. Padahal masih anak-anak.”

“Apakah dia suka keliling dari satu rumah ke rumah lain. Terutama kaum fakir miskin dan orang-orang jompo?”

“Soal itu saya tidak tahu. Cuma kata warga, dia memang sering mendatangi warga miskin. Mereka suka berbicara dengannya. Semua orang yang didatanginya memiliki kesan sangat indah.”

“Dari raut wajahnya tidak pernah mengesankan seperti orang yang memiliki beban. Tak pernah sekalipun terlihat kesedihan. Selalu bahagia. Wajahnya pun berseri-seri. Seolah-olah dunia ini telah digulungnya.”

“Benar sekali, Mbak. Seumur hidupku, tak pernah melihat lelaki dengan wajah berseri-seri seperti itu.”

“Terakhir, apakah Mbak Dewi pernah melihat dia sholat?”

“Tidak pernah.”

“Insya Allah, bila ciri-cirinya sesuai yang disebutkan tadi. Berarti dia memang Mas Sahid suami saya, Mbak. Dialah Wali Allah.”

“Allahu Akbar.”

Sejenak Nunuk menatap mata Dewi, dan saking beningnya mata itu seakan pengelihatannya dapat menembus sampai ke otak. Berharap di otak Dewi dapat ditemukan sosok Sahid dalam gambaran yang disebutkan tadi.

Sementara Dewi buru-buru mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan. Sekedar ingin memastikan sebuah kebenaran yang ada di hadapannya.

“Astagfirullahaladzim,” Dewi mengucap istigfar berulang-ulang atas ketidaktahuannya bahwa sosok yang ditemuinya adalah seorang Wali Allah.

Nunuk mendiamkan hal itu. Dia tak mau mencampuri keterkejutan Dewi. Sebab, perasaan dia juga sedang berkecamuk.

“Maaf Mbak Nunuk,” Dewi berkata, “boleh saya bertanya?”

“Iya, Mbak.”

“Soal pertanyaan sholat tadi. Kenapa Mbak Nunuk menanyakan apakah saya pernah melihat Mas Sahid sholat?”

“Karena dia tak pernah mau dilihat orang saat sedang beribadah. Jikalau dia sedang sholat berjamaah, biasanya dia hanya jadi makmum. Bagi dia, ibadah merupakan puncaknya bermesra-mesraan dengan Kekasih.”

“Subhanallah,” Dewi buru-buru mengucap kalimat thayyibah dan melanjutkan dengan pertanyaannya, “Mbak Nunuk pernah melihat dia sholat?”

Nunuk diam. Memejamkan mata lagi. Mengenang saat-saat indah sholat berjamaah dengan Sahid di surau, tengah hutan. Lalu kepalanya dianggukan.

“Pernah sekali, Mbak.”

“Di mana?”

“Panjang ceritanya. Saat itu Mas Sahid menjadi imam.”

“Bagaimana cara dia sholat?”

“Sama seperti orang-orang biasa. Hanya saja saat sholat dia sempat meminta ijin pada saya.”

“Ijin untuk apa?”

“Ijin untuk menjadi imamnya. Ijin apakah saya bersedia untuk sabar saat dia menjadi imam.”

“Kenapa harus minta ijin?”

“Karena yang dia baca seluruh ayat-ayat Alquran,” kenang Nunuk.

Sekarang giliran Dewi menatap mata Nunuk dengan tenang. Dia sungguh-sungguh tidak mengerti. Tanpa sadar airmatanya meleleh. Dewi merasai semua cerita itu telah menggoyangkan ruang batinnya. Kebenaran tidak lagi separuhnya terbuka, melainkan seluruhnya.

Setidaknya dengan cerita Nunuk itu, Dewi dapat menghela nafas bebas. Memang hanya kata-kata yang dicurahkan. Akan tetapi bila kata-kata itu digabung dengan saat dia bertemu Sahid, maka benaknya seperti membuat perhitungan sendiri.

“Mbak Dewi,” sapa Nunuk masih dalam keterharuannya.

Eh, iya. Kenapa Mbak?” Dewi seperti tersadar dari lamunannya.

“Apakah Mbak Dewi bersedia menceritakan soal Mas Sahid selama berada di Tuban?”

Dewi mengangguk.

***

Dewi mulai bercerita. Suatu hari suaminya kedatangan seorang tamu dari jauh. Tamu itu mengenalkan namanya. Sahid.

Orangnya sopan. Bijaksana. Dia seorang yang taat beribadah, meski Dewi maupun suaminya tak pernah melihatnya beribadah. Namun ketaatan Sahid dapat dilihat saat sedang berdakwah keliling kepada setiap orang yang ditemui.

Dewi tidak tahu tujuan Sahid mendadak datang ke rumahnya. Dia mengira Sahid juga seorang ulama seperti suaminya. Bedanya, pembawaan Sahid sangat tenang dan berwibawa. Dia sama sekali tidak mengesankan seorang Wali Allah. Hanya saja setiap orang yang ditemuinya merasakan kesejukan hati setelah bertemu dengannya.

Orang bimbang akan hilang kebimbangannya. Orang takut akan hilang rasa takutnya. Orang berani akan melahirkan keteguhan hati. Orang berdosa akan luluh keegoisannya karena merasakan dosa-dosanya. Orang taat beribadah akan semakin mantap keyakinannya. Orang bahagia seperti merasakan meminum air surga bila bertemu Sahid.

“Begitulah sosok Sahid yang saya rasakan dan orang-orang kampung rasakan. Setiap kali dia berbicara mampu menghancurkan tembok-tembok hati yang keras. Saya tidak pernah menemui orang yang begitu besar karomahnya seperti dia. Saya dan suami selalu merasakan hal-hal baik pada diri Sahid. Dia selalu membawa kebahagiaan pada semua orang,” cerita Dewi.

“Apakah suami Mbak sebelumnya pernah mengenal Mas Sahid?” Tanya Nunuk.

Dewi menggeleng.

“Suami saya tidak kenal. Tapi Kyai suami saya mengenalnya. Saat pertama datang, dia bercerita kenal dengan Kyai suami saya. Dia menceritakan segala hal terkait pondok pesantren suami saya di Rembang. Cerita yang disampaikan tidak banyak orang tahu kecuali Kyai dan orang-orang pesantren. Itulah yang membuat suami saya haqqul yaqin. Terlebih sosok Mas Sahid senantiasa membawa kesejukan bagi kami.”

“Apa tujuan Mas Sahid datang ke Tuban?”

“Sampai saat ini saya tidak tahu tujuan dia apa dan mau apa. Yang jelas saat ditanya suami saya, Mas Sahid bilang ingin sekedar mampir untuk bersilaturahmi. Dan silaturahmi ini membawa kebaikan bagi orang-orang di sekelilingnya,” tuturnya.

“Dia seperti dapat membaca segala permasalahan yang setiap orang hadapi. Di situ dia memberi banyak pemahaman pada kami. Setiap pemahaman itu seolah-olah menjadi solusi atas permasalahan kami. Karena itu kami beranggapan bahwa Mas Sahid adalah seorang ulama besar,” kenang Dewi.

“Apa saja yang disampaikan Mas Sahid pada orang-orang?”

“Banyak hal. Mungkin cara penyampaiannya itu yang tidak biasa.”

“Tidak biasa bagaimana?”

“Tidak seperti umumnya ulama yang berceramah di hadapan khalayak. Siapa saja yang dia temui, itulah cara dia berdakwah. Kadang dia berdakwah sambil jagongan di warung-warung kopi, di rumah-rumah warga, dan di mushola. Tidak mesti. Sesuka dan semau dia. Melihat ilmu agama yang disampaikan pada orang-orang, suami saya menganalogikan begini: ‘apabila kepala Mas Sahid dibelah, itu isi kepalanya kitab-kitab semua’.”

“Subhanallah!” Seru Nunuk.

Mata Nunuk seketika berkaca-kaca mendengar cerita Dewi. Cerita soal ‘pekerjaan’ Wali Allah itu membuat hatinya luluh. Meski sudah menjadi istrinya, sejauh ini Nunuk masih kesulitan menebak jalan pikiran Sahid. Seluruh cerita Sahid, baik dari yang dia alami sendiri maupun dari orang-orang, sudah direkam dalam memorinya. Namun rasa-rasanya, memori yang tersimpan itu tidak akan cukup merekam semua hal baik dalam diri Sahid.

Sampai saat ini Nunuk belum sepenuhnya mendapatkan jawaban atas kemisteriusan sosok suaminya tersebut. Mungkin seperti yang Dewi katakan, bahwa Lauh al-Mahfudz merupakan gudang rahasia terbesar alam semesta berupa lembaran-lembaran mutiara yang putih. Karena kerahasiaannya yang terjaga itulah, hanya para malaikat utama atau hamba Tuhan lainnya yang dianggap layak.

“Saya memang belum lama menjadi istri Mas Sahid. Setiap kali mendengarkan cerita orang-orang soal dia, saya seperti mendapat pemahaman dan pengalaman baru. Dia tidak seperti suami-suamiku sebelumnya,” urai Nunuk.

“Suami-suami?” Dewi tersentak kaget.

“Mas Sahid adalah suami kesembilan saya. Hampir semua laki-laki yang saya nikahi berakhir tragis. Mati mengenaskan. Semua akibat ulah Gendro Swara Pati,” sesalnya.

“Gendro Swara Pati?” Dewi makin bingung mendengarnya. Wanita itu merasakan sebuah pendalaman yang teramat pedih dirasakan Nunuk.

“Dia makhluk halus yang pernah bersemayam di tubuh saya, Mbak. Selalu haus tumbal nyawa manusia. Saya dulu disebut orang-orang sebagai perempuan pembawa petaka. Bahu laweyan. Banyak dosa-dosa yang pernah saya perbuat. Hingga akhirnya saya bertemu Mas Sahid. Dia datang dan berhasil mengusirnya. Di situlah kami menikah. Tapi setelahnya, Mas Sahid pergi. Berkelana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat. Dari surat itu saya mengikuti jejaknya. Hingga sampailah di sini,” Nunuk bercerita blak-blakan. Sekiranya hal ini dapat mengobati segala penderitaan yang selama ini disembunyikannya.

Dewi menggigit bibirnya cukup keras. Cerita Nunuk langsung menusuk kalbunya. Menyakitkan. Dia tahu apa itu bahu laweyan. Dulu sering mendengar cerita bahu laweyan dari kakeknya. Dewi menganggapnya itu hanya cerita rakyat, atau lebih mendekati dongeng. Namun begitu bertemu Nunuk, dia baru percaya bahwa sosok bahu laweyan itu benar-benar ada. Bila mengenangkan kembali cerita kakeknya dan cerita Nunuk, sulit dibayangkan kehidupan perempuan bahu laweyan, yang setiap kali menikah akan mendapati suami-suaminya meninggal dengan cara tragis. Betapa pahit perjalanan Nunuk. Begitulah yang ada di benak Dewi, menimbulkan banyak pikiran.

“Maaf saya tidak bermaksud mengungkit masa lalu Mbak Nunuk. Saya tadi sekedar bercerita soal Mas Sahid saja,” kata Dewi.

Ah, tidak apa-apa, Mbak. Saya juga tidak keberatan bercerita, itu jika Mbak Dewi tidak keberatan mendengar cerita saya.”

“Saya sama sekali tidak keberatan!” Serunya.

“Saya berani bercerita begini karena sudah menganggap Mbak Dewi sebagai teman. Saya tidak pernah menceritakan hal ini pada orang lain kecuali pada orang-orang yang saya anggap sebagai keluarga.”

Tak terasa hari mendekati Magrib. Sementara awan mendung terlihat menggelayut di atas sana. Lampu-lampu makam Sunan Gunungjati mulai dinyalakan. Saling berpancaran di mana-mana. Hal itu membuat pikiran-pikiran diri juga merasa terang benderang. Nunuk menyudahi ceritanya. Masih banyak cerita yang bisa disampaikan. Toh, dia tidak sedang terburu-buru. Pun Dewi tidak keberatan mendengar cerita bahu laweyan.

“Sebentar lagi adzan Magrib. Setelah ini Mbak Nunuk mau ke mana?” Tanya Dewi.

“Sepertinya saya harus bermalam di sini, Mbak!”

“Di makam.”

Nunuk mengangguk.

“Sebaiknya di penginapan saja?” Ajak Dewi.

Nunuk menggeleng.

“Bagaimana saya menginap di sana. Saya tidak punya uang untuk bayar sewa penginapan.”

“Biar saya yang bayar. Nanti kita bisa bermalam di tengah kota. Saya tahu penginapan yang bagus. Di sana juga ada makanan enak. Lokasinya tidak jauh dari sini. Kita bisa naik ojek ke sana,” sahut Dewi.

Nunuk menggeleng lagi.

“Mbak Dewi, saya tidak bisa naik kendaraan. Saya juga tidak bisa membeli makanan.”

“Kenapa? Apakah Mbak Nunuk kehabisan bekal?”

“Saya diperintahkan untuk berjalan kaki.”

“Apaaa…! Berjalan kaki!”

“Iya, Mbak. Saya diperintahkan Mas Sahid berjalan kaki. Tidak boleh naik kendaraan. Saya juga disarankan tidak membawa bekal, termasuk uang. Sebab hal itu akan menjadi hambatan bagi saya. Meski begitu saya dilarang meminta-minta. Namun bila ada seseorang yang menawarkan makanan, saya tidak boleh menolak.”

“Bagaimana Mbak Nunuk mengatasi rasa lapar di sepanjang perjalanan?”

“Saya puasa.”

“Bagaimana cara berbukanya bila tidak ada makanan yang disantap?”

“Insya Allah masih ada air. Saya berbuka dengan air. Alhamdulillah, selama ini ada banyak jalan untuk berbuka. Sepertinya Allah tidak henti-hentinya memudahkan perjalanan hambaNya. Jika saya merasa lapar, ada saja makanan yang bisa saya santap meski hanya secukupnya.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...