Bahu Laweyan #7
Mengecoh Makhluk Halus Dengan Tidak Berhubungan Intim
Oleh: Noviyanto Aji
Esok hari pasca kejadian malam itu, Nunuk melarang suaminya bekerja. Bayu heran dengan permintaan istrinya. Padahal, dia tengah bersiap untuk berangkat kerja.
“Mas, hari ini jangan kerja dulu ya. Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke Mas,” pinta Nunuk.
“Tapi aku harus bekerja. Aku sudah janji pada teman kerja,” balas Bayu.
“Apakah tidak bisa digantikan pekerjaannya. Aku tidak mau Mas Bayu celaka,” iba Nunuk.
“Apa maksudmu celaka. Aku baik-baik saja di kerjaan.”
“Bukan soal baik-baik saja. Ini menyangkut aku dan Mas Bayu. Pokoknya hari ini jangan kerja dulu ya,” rengek Nunuk.
“Kamu pagi-pagi sudah ngelantur,” Bayu tetap tidak menghiraukan rengekan istrinya.
“Tapi Mas, aku pengin hari ini pulang ke bapak. Kalau bisa bersama Mas Bayu.”
“Bukannya masih bisa hari Minggu. Sekarang masih Kamis. Atau Sabtu saja, aku bisa kerja setengah hari.”
Bayu tetap ngotot untuk berangkat kerja. Sementara Nunuk berusaha melarang.
Sebenarnya Nunuk tidak masalah jika hari itu suaminya berangkat bekerja. Dia tidak khawatir dengan gangguan makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya.
Nunuk masih meyakini, makhluk tersebut tidak mungkin akan menganggu pernikahannya yang usianya masih terlalu dini. Namun, makhluk itu juga tidak akan berhenti untuk menganggu.
Dengan menampakkan wujud ke Bayu, berarti itu peringatan makhluk tersebut siap menyerang suami Nunuk sewaktu-waktu. Karenanya Nunuk berusaha mencegat suaminya agar bisa segera menyampaikan keinginan bercerai sedini mungkin.
“Makhluk itu menampakkan wujud. Biasanya tidak begitu. Ini pertanda makhluk itu bisa sewaktu-waktu menyerang Mas Bayu. Saya berharap bisa secepatnya bercerai dengan Mas Bayu. Jalan ini terpaksa saya ambil demi keselamatan suami. Saya tidak ingin Mas Bayu jadi korban keganasan makhluk halus tersebut.”
Karena permintaan Nunuk tidak digubris Bayu, akhirnya Nunuk memberanikan untuk menyampakan keinginannya.
“Mas, aku ingin kita bercerai!” Seru Nunuk.
Mendengar hal itu, Bayu langsung kaget. Dia tidak menyangka ucapan istrinya begitu menyakiti hatinya.
Bayu menatap wajah istrinya. Agak lama. Dia berusaha menyelami isi hati istrinya. Tapi tidak bisa. Keinginan Nunuk bercerai itu seperti menampar dirinya.
“Kamu ngawur. Kita baru saja menikah. Masih hitungan hari kita menikah. Dan sekarang kamu mau minta kita cerai. Kamu kerasukan setan dari mana?” Kata Bayu dengan nada tinggi.
Nunuk yang berhasil menarik perhatian suaminya agar tidak berangkat kerja itu, bersikap santai. Hatinya ditenangkan sebelum menjawab pertanyaan suaminya. Sejenak Nunuk menarik nafas panjang.
“Aku kerasukan bahu laweyan, Mas!” Seru Nunuk pelan.
“Apa maksudmu?”
“Kalau kamu mau dengarkan ceritaku, hari ini aku ingin Mas Bayu jangan berangkat bekerja.”
Laki-laki itu menjadi risau. Permintaan aneh istrinya akhirnya membuat Bayu mengurungkan niat berangkat bekerja.
“Baiklah, Nuk. Hari ini aku tidak bekerja. Aku ingin tahu masalahmu.”
“Terima kasih, Mas!”
***
Meski agak susah menjelaskan latar belakang dirinya dan masalah yang tengah dihadapi kepada Bayu, namun Nunuk berusaha untuk tetap tegar.
“Sebetulnya sudah sejak awal aku ingin menjelaskan masalah ini padamu, Mas. Tapi aku takut. Aku takut Mas Bayu akan meninggalkanku. Aku kira dulu sudah selesai. Makhluk itu tidak akan datang lagi. Tapi sejak kejadian semalam dan kemarin siang, kini ketakutan itu datang lagi,” cerita Nunuk.
“Makhluk apa, Nuk. Kejadian apa. Aku tidak paham maksudmu?”
“Mas tadi tanya aku kerasukan setan apa. Dalam tubuhku ini ada makhluk halus jahat yang terus mengikuti kemanapun aku pergi.”
“Aku masih belum paham.”
“Di kampung, orang-orang takut berteman denganku. Aku disebut mereka sebagai perempuan bahu laweyan. Perempuan yang dikutuk. Kuceritakan padamu, Mas. Mantan suami-suamiku dulu, mereka tidaklah meninggalkanku. Tapi mereka semua mati dengan mengenaskan. Jika hal ini sampai terjadi lagi terutama pada dirimu, aku tidak bisa menanggung akibatnya.”
Bayu mendengarkan Nunuk dengan serius. Hatinya sedikit bergetar. Matanya menerawang jauh. Cerita istrinya itu seperti sebuah mitos. Antara percaya dan tidak percaya. Sayangnya, Nunuk menceritakan hal itu dengan bersungguh-sungguh.
Nunuk sendiri berhenti bercerita. Dia balik menatap suaminya yang kini tengah berpikir setelah mendengar ceritanya. Berharap ada balasan omongan dari suaminya.
Lalu…
“Jadi kamu minta kita bercerai karena ini?” Tanya Bayu.
Nunuk mengangguk.
“Ini seperti mimpi. Ceritamu seperti tidak masuk akal,” sahut Bayu menggeleng.
“Apa semalam ketika Mas Bayu berteriak itu mimpi!” Nunuk kembali mengingatkan Bayu kejadian semalam.
“Semalam aku memang melihat wajahmu berubah menjadi wujud menakutkan. Aku tidak tahu apa ini kebetulan. Atau kejadian itu karena aku kecapaian sehingga terbawa perasaan,” kata Bayu masih tidak percaya dengan kejadian semalam.
“Itu bukan perasaan Mas Bayu. Kejadian itu benar-benar nyata. Itulah wujud makhluk halus jahat yang bersemayam di tubuhku. Sebelum kejadian itu, rumah di kampung diserang angin topan dari dalam rumah. Bukan dari luar. Bapak melaporkan semua isi rumah berantakan. Aku yakin itu sebuah pertanda. Dan kejadian barulah pada malam hari saat Mas Bayu melihat wujud asli makhluk itu.”
“Lalu, apa kaitannya kita bercerai dengan makhluk itu?”
“Apa kamu tahu apa itu bahu laweyan, Mas?”
Bayu menggeleng.
“Perempuan bahu laweyan seperti aku ini, kata orang-orang tua, telah dikutuk sejak lahir. Setiap kali aku menikah, maka pasanganku akan beresiko menanggung kematian. Aku awalnya tidak percaya. Tapi setelah suami-suamiku meninggal, aku mulai percaya.”
Nunuk lantas menceritakan bagaimana suami pertama hingga ketiga meninggal. Hal itu dirasa Bayu hanya kebetulan saja.
“Suamimu meninggal karena sudah takdir, Nuk!” Seru Bayu.
“Semua memang sudah takdir, Mas. Tapi prosesnya itu yang tidak ada kebetulan. Proses kematiannya hampir sama, diganggu makhluk halus yang bersemayam di tubuhku. Dan kali ini aku tidak menyangka jika makhluk itu berani menampakkan wujudnya padamu, Mas. Itu artinya dia sudah bersiap untuk menyerangmu, menjadikanmu korban selanjutnya.”
“Tapi aku tidak mau menceraikanmu, Nuk. Aku terlalu sayang sama kamu.”
“Aku tahu Mas. Aku juga sayang sama Mas Bayu. Apalah arti kasih sayang jika kematian selalu mengintai kita. Andai aku punya jalan lain, aku pasti akan menempuh jalan lain itu agar kita selalu bersama.”
“Kamu yakin hanya ini satu-satunya cara. Apa sebaiknya kita pergi ke bapak dulu. Barangkali ada orang pintar yang bisa membantu kita.”
“Aku tidak yakin, Mas. Sudah berbagai cara aku coba. Bapak pun sudah sering minta bantuan orang pintar. Sebelum aku memutuskan menikah denganmu, kami sudah bertemu beberapa orang pintar.”
“Apa kamu yakin itu?” Bayu masih berusaha meyakinkan Nunuk agar tidak bercerai, kendati sebenarnya dia sendiri merasa ketakutan dengan cerita istrinya tadi.
“Aku yakin Mas, jika kita tetap terus bersama sebagai pasangan suami istri, nyawa Mas Bayu yang akan terancam,” sahut Nunuk mulai meninggalkan derai airmata.
Melihat itu Bayu mulai menyeka airmata istrinya. Dengan penuh kasih sayang, Bayu memandang wajah memelas istrinya. Diciumnya dahi istrinya. Dirapatkan dahinya ke dahi istrinya. Kasih sayang itu akan segera disudahi.
Laki-laki itu lalu memeluk istrinya dengan perasaan hancur.
“Aku menyayangimu, Nuk!”
“Aku juga Mas. Aku tidak mau kehilanganmu!” Balasnya.
Hari itu, keputusan bercerai telah dibuat. Malamnya, menjadi penantian malam yang panjang bagi Nunuk dan Bayu.
Masing-masing insan belum rela berpisah. Mereka masih belum puas mereguk kebahagiaan sebagai suami istri. Nunuk dan Bayu bercengkrama di kamar. Mereka tidak saling melepaskan diri. Hanya saja, malam itu batas yang tidak boleh dilanggar.
Ya, baik Nunuk maupun Bayu tidak mau melanggar batas-batas itu. Tidak ada hubungan mesra-mesraan. Tidak ada hubungan layaknya suami istri. Sebab, ada penyekat yang memisahkan mereka. Penyekat itu adalah makhluk halus yang bersemayam di tubuh Nunuk.
“Malam itu saya dan Mas Bayu hanya berbaring di tempat tidur. Kami tidak ngapa-ngapain. Kami tidak melakukan hubungan suami istri. Mungkin ini cara mengecoh makhluk tersebut. Yah, dengan cara tidak melakukan hubungan intim. Untuk sekali waktu, hal ini bisa kami lakukan. Tapi untuk selanjutnya, pilihannya kami tetap harus berpisah. Mas Bayu sendiri sudah tahu resikonya. Makhluk itu bisa sewaktu-waktu hadir dalam kehidupan kami. Dia trauma melihat wujud makhluk tersebut. Dan, malam itu memang tidak terjadi sesuatu hal aneh. Semua terasa tenang. Damai. Aku bahagia. Mas Bayu bahagia. Esoknya, Mas Bayu kemudian pergi ke kantor Pengadilan Agama untuk mengajukan permohonan cerai.” [bersambung]