REKAYOREK.ID Tawa ceria anak-anak berebut bola memecah sunyi, di gang kecil antara tembok lusuh yang menggelantung dan rumah-rumah berbahan kayu di sepanjang jalan Panjaitan. Sore itu, di Kampung China Kota Bengkulu.
Dari beberapa rumah toko yang ada hanya sebagian kecil yang masih buka. Bahkan, tidak sedikit rumah yang dari depan tertutup rapat seperti tak berpenghuni.
Tak banyak memang, Sedikit bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lama berupa rumah berbahan kayu. Sebagian besar sudah berupa rumah tembok, umumnya dua lantai. Kebakaran pada tahun 1990-an telah menghancurkan rumah-rumah tua berbahan kayu itu.
Pecinan di Kota Bengkulu yang biasa disebut Kampung China terletak di Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk Segara. Terletak persis di depan gerbang Benteng Marlborough yang merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris sekaligus gudang penyimpanan rempah membuat Kampung China strategis pada jamannya. Jaman old, abad ke-19.
***
Waktu itu tiba juga. Saya akhirnya bisa berkunjung ke Bengkulu, yang selama bertahun-tahun hanya kenal lewat buku dan kisah-kisah yang digenggam bagai pusaka oleh pendiri bangsa Ini: Sukarno.
Ini perjalanan pertama. Awal November 2017, tidak terlalu panjang. Tapi cukup untuk sedikit mengerti tentang tali-temali diantara kisah orang-orang yang mengagumkan buat saya.
Saya Mengagumi kisah Sukarno. Saya mengagumi Fatmawati. Saya mengagumi Raflesia. Saya mengagumi Benteng Marlborough. Dan, tentu saja saya mengagumi kawan saya yang berbaik hati meluangkan waktu untuk mengajak saya menelusuri Bengkulu di hari-harinya yang biasa, yang tak ditulis sejarah.
Kami memasuki Bengkulu Pagi. Saat mentari masih redup, sementara daun-daun masih basah oleh embun. Saya tertegung. Bengkulu ini benar-benar kota kecil dengan kisah besar.
Tak ada sentuhan kapitalis. Rumah Makan dengan papan reklame tanpa sentuhan artistik, Hotel yang tak lebih tinggi dari lima lantai, pasar-pasar radisional, bengkel mobil, dan toko-toko kelontong. Selebihnya, orang-orang yang lalu-lalang dengan landai.
Setelah sarapan lontong Tungjang. Kami menuju jalan tempat masjid jami’. Bangunan tua berwarna kelabu itu, berada di lintasan yang sibuk di tengah kota. Dari papan pengumuman kecil di depannya, masjid ini direnovsi Sukarno pada masa diasingkan karena perjuangannya.
Dan kini, tempat bersejarah ini berebut perhatian dengan bengkel, Warung makan, dan konter-konter penjual pulsa di kiri-kanannya.
Bengkulu punya beban sejarah yang berat. ini adalah tempat dimana rempah-rempah diperebutkan Inggris dan Belanda. Hingga setengah abad kemudian, Bengkulu menjadi tempat yang terabaikan.
Tentu sulit untuk mencari yang salah. Atau, mencari sebab kenapa itu bisa terjadi. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana Bengkulu menjadi lebih terhormat dan mempunyai arti.
Sama seperti Monas, Bengkulu sebenarnya sudah mempunyai wajah dan kepribadian sendiri. Tak ada satu tempat pun di Republik ini, yang mempunyai ikatan sejarah dengan kolonial, selekat Bengkulu.
Inilah pintu masuk dimana Bengkulu bisa menjadi tempat wisata, yang akhirnya menjadikan tempat ini lebih terhormat dan bermakna.
Mungkin, suatu sore nanti, orang-orang bisa menikmati wisata sejarah di Bengkulu, lengkap dengan segala macam perangkatnya. ada kapal-kapal kayu. Ada zonasi petualangan kuliner ala mister kumpeni. Ada andong seperti masa-masa Sandiwara Monte Carlo ciptaan Sukarno semasa pengasingan. Ada orang kulit sawo coklat berpakaian meneer-meneer Belanda, yang menyambut siapa saja yang datang dengan ramah. Siapa saja bisa menikmati sore di tempat itu.
Suatu sore nanti, Pecinan di Kota Bengkulu kembali menjadi pusat perniagaan Kota, gudang-gudang dengan pintu yang besar-besar menampung hasil bumi yang dikirim dari pelosok Bengkulu. Ada kopi, ada cengkeh, ada lada, ada karet, dan seterusnya, dan seterusnya…
Romantis dan penuh kenangan. Tentu, ini bukan mimpi. Minimal,untuk menjawab kerinduan mereka yang ingin tahu tentang cerita-cerita romantika Bengkulu Jaman Old.
Suatu sore nanti…
-nja