Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Hutang-Hutang Kebudayaan dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda

Oleh: Emha Ainun Nadjib

HUTANG ialah suatu keadaan di mana kita berkewajiban membayar sesuatu. Di dalam pengertian pergaulan, hutang ialah suatu bentuk perjanjian antara satu fihak dengan fihak lainnya. Tetapi hutang kebudayaan lebih bersifat perjanjian dengan diri sendiri (berasal dari sikap atau prinsip perkembangan dan kemajuan). Apa yang semestinya dikerjakan (:diberikan) tetapi tidak dikerjakan, berarti menciptakan hutang. Seorang pengukir kayu yang pada jam itu semestinya bisa mengerjakan sebuah ukiran, namun ia tak mengerjakannya, tanpa manfaat lain yang dihasilkan, bermakna ia telah berhutang kepada dirinya sendiri.

Pengertian hutang kebudayaan tentu saja amat kompleks, apabila hal itu diproyeksikan kepadanya. Ia multidimensional. Berlaku di masing-masing sektor, atau saling bergesekan, berkaitan, sebab menyebabkan atau dukung mendukung. Berlaku juga dari kasus seorang anak muda yang melewati beberapa tahun usia remajanya tidak untuk menanamkan bekal yang baik dan kuat bagi hari tuanya, sampai soal ketidak-seiramaan kebijaksanaan berbagai sektor budaya masyarakat yang akan menentukan wajah dan isinya besok pagi. Hal terakhir lni merangkum baik “pos-pos pembudayaan” yang bersifat ketentuan-ketentuan formal (umpamanya kebijaksanaan import film), maupun yang bersifat “pembudayaan alamiah” (umpamanya pertumbuhan orientasi tertentu yang lebih banyak didorong oleh naluri murni anggauta-anggauta masyarakat sebagai manusia) — meskipun keduanya berada atau merupakan suatu kebulatan gosok dan gerak.

Oleh karenanya, apabila pembicaraan ini harus memusatkan perhatian pada golongan kaum muda, maka apapun yang terjadi, dan yang menjadi keadaan mereka, harus tidak dilihat sebagai sebuah kasus yang berdiri sendiri. Melainkan sebagai tahapan yang sama sekali tidak terpisah dari pengaruh dan akibat dari tahapan-tahapan sebelumnya. Sementara itu harus disadari, seperti yang selalu menjadi missi dari setiap perbincangan semacam ini — ia sendiri, kasus anak muda hari ini, adalah menanam benih bagi hari esok. Lepas dari kenyataan bahwa batasan antara kaum muda dan kaum tua adalah sesuatu yang samar, tetapi berbicara tentang anak muda tentu harus dengan berbicara tentang apa yang telah dan sedang dilakukan oleh orang-orang tua.

(II)
Hutang kebudayaan amat berbeda dengan hutang materi, terutama karena kebudayaan adalah suatu dinamik dari proses waktu. Hutang uangpun ber kembang karena batasan waktu menentukan jumlah bunga, tetapi hutang kebudayaan lebih dari itu. Essensi kebudayaan adalah gerak, dan setiap hutangnya tertangguhkan, waktu selalu berbuat amat banyak untuk makin menumpuk-gandakan jumlahnya, kwantitatif maupun kwalitatif. Perhubungan dan kausalitas antar berbagai gejala kultur, memiliki kepekaan yang menyeret secara halus para penghuninya untuk makin tertimbun. Issue “klassik” bahwa prestasi tehnologi modern ternyata tidak merupakan jawaban bagi ideal kebudayaan manusia yang selalu diimpikan, dan sementara itu para penciptanya sendiri kewalahan membayarkan ongkos-ongkos dan effek-effeknya — merupakan contoh soal yang paling gamblang dari tertindihnya manusia abad ini oleh hutang-hutang kebudayaannya. Kebudayaan yang ideal, minimal bagi saya, ialah yang merupakan dorongan bagi manusia untuk “berjalan melingkar” menuju mata-airnya. Jika hutang-hutangnya tak mampu dibayar, maka tidak benarkah bahwa mereka sedang berlari mundur. Namun tentu berlari mundur adalah berhutang.

(III)
Dari kerangka dasar di atas, muncul pertanyaan: Apa gerangan hutang anak-anak muda kita?

Jawabannya barangkali, hutang itu berbanding sama dengan seberapa jauh jarak antara kadar dan frekwensi yang semestinya bisa diperbuat oleh mereka dengan yang kini telah mereka perbuat dan yang telah menjadi (tentu saja dengan tidak mengabaikan takaran minimal dan maksimal yang mereka miliki secara mendasar). Hal ini sudah barang tentu tidak dalam pengertian verbal. Umpamanya, kita tidak bisa melarang seseorang untuk tidur saja selama lima hari selama seminggu sebagai suatu hak pribadi, sepanjang ia tidak secara langsung merupakan gangguan bagi mekanisme lingkungan. Seorang anak muda dibiayai oleh orang tuanya untuk sekolah, kemudian masuk Fakultas Kedokteran dan ia suntuk di atas meja praktikum dan ruang studinya, sampai akhirnya berhasil, kerja jadi dokter, dapat uang banyak, beristri, beranak — dan sekedar itu saja — lantas mati. Ia sama sekali tidak menyalahi hukum apapun, bahkan moral-sosialpun, atau barangkali kepada dirinya sendiri. Untuk tata pandangan masyarakat dewasa ini kondisi tersebut bahkan bisa disebut ideal. Umumnya masyarakat kita enggan berpikir, apalagi bersikap, bahwa umpamanya eksklusivisme proffesi (bisa eksklusivisme keilmiawanan atau mungkin kesenimanan, bisa juga eksklusivisme orientasi mengejar materi di mana sekian ragam proffesi tersebut hanyalah medium), sebenarnya merupakan suatu bentuk hutang kebudayaan, yang menjadikannya berada jauh dari — sebutlah — integritas budaya atau kesadaran bermissi sebagai manusia-budaya.

Seorang anak muda yang lain, sementara itu, yang hidup di desa, mewarisi kerja ayahnya sebagai petani, tuntas di tanah dan air sawah serta lampu sentir di rumah gedeknya, dengan keluguan dan kesetiaan alamiah yang terpancar amat dominan mewarnai hidupnya — tidak juga menyalahi hukum apapun, meski ia buta huruf, tak pernah nonton TV atau tak punya keinginan untuk membeli sepeda motor. Anak muda yang ini cenderung hanya disebut terbelakang, belum modern. Tetapi apabila dilihat bahwa desa, dalam keadaannya yang masih murni, lebih mengandung kesetiaan, kedamaian atau ketenteraman tertentu yang makin kurang dimiliki oleh orang-orang di kota — sehingga seakan-akan alam kehidupan desa lebih dekat dengan yang dirindukan oleh jiwa-dalam manusia — maka logikanya, modernisasi (minimal apa yang selama ini disebut modernisasi) adalah salah satu indikator dari hutang-hutang di atas.

Benarkah hal ini? Benarkah modernisasi mengandung anasir-anasir tertentu, atau setidaknya effek, yang menciptakan jarak seperti yang tertulis di atas?

Untuk menemukan jawabannya, harus kita jernihkan dulu pengertian modernisasi secara murni, dengan yang selama ini di dalam mekanisme sosial kita disebut modernisasi. Saya lebih cenderung menganggap letak essensi modernisasi ialah pada tatanan sikap mental, daripada wujud-wujud materiil yang dicapai oleh abad ini dalam pelayanan kebutuhan berbagai sektor kehidupan manusia. Pengertian ini barangkali bertentangan, setidaknya berbeda, dengan umumnya anggapan orang di mana warna-warna permukaan dari kehidupan sosial disebut sebagai modernisasi. Sarana transportasi yang sangat mengeffektifkan berbagai keperluan komunikasi, penggunaan hasil-hasil produksi tehnologi dalam bidang-bidang industri, pertanian, kedokteran dan lain sebagainya, masih bisa dianggap sebagai contoh soal dari prestasi sikap mental tertentu yang dikandung oleh modernitas, meskipun ia meminta juga ongkos-ongkos langsung maupun tak langsung. Akan tetapi jika sekedar gaya kehidupan kota, mode, gemerlapan pakaian atau mobil mewah, dipandang sebagai anasir modernisme yang secara otomatis mengangkat derajad prestige sosial, maka itu jelas bukan gerak dari modernisasi.

Kita juga berhadapan dengan kenyataan bahwa implementasi dari pada modernisasi lebih teraksentuir ke kecenderungan westernisasi. Itupun tidak dalam prinsip yang cukup essensiil dan tidak dengan pemilihan yang selektif dan waspada. Tentu akan berbeda keadaannya apabila kita mengambil manfaat secara dewasa umpamanya soal rasionalisme dengan kadar yang konsisten dan kreatif, dengan apabila kita sekedar ambil oper produk-produk Barat secara “tinggal makan” dan konsumtip. Akan jauh berbeda manfaat yang kita peroleh jika kita menimba pelajaran : sikap mental yang bagaimana yang menjadi sumber dicapainya sekian tinggi prestasi tehnologi Barat — dari pada jika kita sekedar memakai produksi-produksi mereka, sekedar makan masakan orang sambil sedikit saja menghayati api dapur di mana masakan itu diolah. Dan kita tentu akan ‘tetap tidak dinamis (: salah satu unsur modernisme) dalam pengolahan sikap mental, apabila kita abai untuk menyadari bahwa Apollo bisa ke bulan atau pertarungan Ali-Spink di New Orlean detik itu juga bisa diikuti dari Temanggung, hanyalah dimungkinkan oleh tradisi pengabdian yang setinggi-tingginya kepada kreativitas ilmu pengetahuan.

Kesadaran terhadap pengabdian spirituil semacam ini yang saya pikir merupakan kekurangan kita, atau merupakan “gerak yang hilang” segera setelah kita “hidup modern”. Kenyataan ini sangat ironis kalau diingat bahwa missi pengolahan kepribadian atau mentalitas sebenarnya merupakan tradisi yang “klassik”. Ilmu silat umpamanya, yang merupakan perbendaharaan budaya manusia yang cukup purba, bahkan beresensi pada proses pengolahan mentalitas. Apalagi jika kita benarkan bahwa banyak nilai-nilai spiritualitas yang dewasa ini terdesak oleh arus penuhanan materialisme, tidak lain adalah warisan yang dulu hidup subur dalam kehidupan “orang-orang belum modern”. Jika hal ini benar, maka apa yang selama ini kita sebut sebagai modernisasi, bukanlah era baru yang tercipta oleh genre mutakhir, sebab alam hidup modern ternyata menjadi contoh yang gamblang pula dari ketimpangan tatanan sikap mental manusia. Era baru itu hanyalah prestasi tehnologi, prestasi keilmuan, prestasi otak, serta pengabdian mabuk kepada materialisme. Mentalitas Gadjah Mada yang dinamis, effektif, sigap dan menjangkau ke depan — oriented — kenapa bukan sikap mental modernis? Sebuah desa di Indonesia yang kini penuh sepeda motor, TV, mode, serta pengabdian yang terpusat penuh kepada pencarian benda-benda dan angka-angka, tetapi tanpa tatanan sikap mental sedemikian rupa, bahkan harus dengan memberikan bayaran hilangnya banyak dimensi dan tradisi spirituil — kenapa dengan bangga kita sebut “telah modernisir diri”? Anak-anak muda kita, ngebut dengan motor pembelian Bapaknya serta dengan knalpot terbuka, melahap habis majalah-majalah pop, melaris-habiskan kaset-kaset cengeng Edy Silitonga, mendukung pemasaran film-film mobil dan rumah mewah dan gaya hidup borjuis, jojing rock ‘n roll diskotik, hidup tenggelam dan mabuk dalam kehidupan pop, seperti larutan tanah yang menjadi satu dengan arus coklat air sungai, yang tidak tahu apapun tentang sungai itu — kenapa wajah ini diassosiasikan sebagai indikasi-indikasi dari modernitas? Mahasiswa-mahasiswa kita yang masuk Tehnik atau Kedokteran untuk suatu tujuan konkrit materialisme, yang masuk fakultas-fakultas sosial dengan tidak cukup banyak yang bertolak dari suatu idealisme sosial, yang masuk fakultas sastera tanpa keterlibatan minat serta tradisi dengan mekanisme perkembangan kesastraan, yang masuk fakultas dakwah sambil sibuk membayangkan di Instansi mana kira-kira kelak ia bisa berkantor, atau yang masuk fakultas filsafat tanpa pernah mampu mengatasi bombasme dan nihilisme kefilsafatan karena kurang mengusahakan perimbangan keterlibatan sosial kultural dengan realitas hidup masyarakat serta balance-balance psychologis dalam dirinya sendiri — kenapa cukup syah untuk memproklamasikan diri termasuk dalam golongan kaum intelektuil modern? Anak-anak remaja kita yang umumnya kurang memiliki ketahanan mental terhadap ujian proses waktu, yang ingin cepat sampai, yang dimanjakan oleh tradisi kenikmatan Konsumtif, yang gampang menggugurkan idealisme, dari mahasiswa-mahasiswa yang umumnya kurang mampu memiliki penalaran atas dasar idealisme perjuangan kemahasiswaannya sebagai subjek-subjek terpenting dalam proses pembudayaan (baik dalam bidang politik, sosial, maupun kultural sehari-hari), sampai cewe-cewe kita yang gampang jadi pelacur hanya oleh keringkihan idealisme yang tak mampu menguasai keterpepetan ekonomis, atau yang gampang memampangkan paha dan buah dada·di majalah-majalah pop karena menyangka para produser film akan secara cepat menaikkan pangkatnya, atau gadis-gadis yang berdegam-degam dadanya menunggu calon suami yang menjelang Insinyur agar segera bisa digandolinya — kenapa ini semua tidak merupakan ironi bagi idea kita tentang modernitas?

Saya sadar bahwa assumi di atas sama sekali bukan hasil dari misalnya pengukuran sosiografis yang rapi, atau dari angket-angket yang barangkali diperlukan sebagai persyaratan methodologis untuk membaca kenyataan-kenyataan sosial. Gejala-gejala umum yang saya sebut itu hanyalah impressi dari pergaulan sosial. Saya pikir banyak sekali segi-segi dari keadaan suatu masyarakat, terutama motivasi-motivasi atau latar belakang dari perilaku sosial, yang hampir mustahil bisa dibaca kebenaran-nya dari informasi para responden. Dan saya memang tak pernah bisa mengingkari bahwa cerminan-cerminan yang terpantul dari keseharian pergaulan sosial, yang membutuhkan kepekaan-kepekaan tertentu serta daya analogi imajinatif, lebih terasa sebagai realitas. Di samping itu, pendekatan-pendekatan lewat forum diskusi, ceramah, ataupun obrolan warung kopi, saya rasakan amat menggarisbawahi. Oleh karenanya saya selalu sampai pada tekanan permasalahan, bahwa soal tatanan sikap mental (yang saya aksentuasikan lagi ke soal idealisme dan orientasinya) jelas merupakan bilik tertutup dari problema anak-anak muda kita, yang harus dibuka. Ini kalau kita semua menginsyafi bahwa hutang-hutang itu musti mulai dilunasi.

(IV)
Tatanan sikap mental bisa diterjemahkan menjadi uraian yang kompleks dan detail, tergantung dari mana kita bertolak dan seberapa jauh kita memberinya perspektif. Kita bisa berangkat dari sekian segi pelaksanaan sosial, tetapi bisa juga berlandas pada essensi-essensi kefilsafatan baik sebagai manusia-individu maupun sebagai manusia-budaya, sehingga bisa terumuskan batasan minimal serta tahapan maksimal dari hasil budaya mereka.

Secara elementer, keutuhan gerak jiwa hidup manusia ialah apabila dicapai keseimbangan aktivitas dari semua anasir psychologis (tentu saja juga phisis)nya, yakni hati, rasa dan otak. Dalam perspektif kultural, keutuhan itu ialah terciptanya mobilitas keseimbangan antara hasil-hasil dari ketiga unsur itu dalam wujud budaya. Bagaimana ketiganya bertumbuh mekanis dan seimbang, tanpa salah satu menindas yang lain. Bentuk-bentuk feodalisme yang sering terdapat dalam masyarakat tradisionil, mithos dan kultus kepada Raja serta keluarganya, misalnya, adalah eksploitasi atas rasa dan hati (:unggah-ungguh, subasita, dst) yang tidak rasionil, serta merupakan penindasan terhadap tumbuhnya kreativitas otak. Akan tetapi banyak hal dalam tata perhubungan kehidupan “modern” (mekanisme di daerah-daerah urban industrialis, effek dari prinsip perekonomian dlsb) sering merupakan penindasan terhadap hati, di mana manusia-manusia saling berhubungan dalam mekanisme itu lebih sebagai fungsi-fungsi, alat dari struktur gerak pola suatu perhubungan.

Itu sekedar contoh. Tetapi kita tidak sedang akan membangun suatu dunia baru dengan bertolak dari nol. Sehingga sebenarnya tantangan dan pertanyaan bagi sikap mental manusianya ialah, untuk kondisi ini, bagaimana ia merespons gejala-gejala itu, berusaha menguasainya dan mengusahakan terpeliharanya tatanan sikap mental dalam dirinya agar tetap seimbang. Dan permasalahannya untuk anak-anak muda kita, sebagai pemegang kendali kebudayaan hari ini dan esok pagi, sejauh mana mereka memiliki kesadaran tentang hal itu dan seberapa jauh mereka cukup kreatif dan mengusahakan langkah-langkah untuk mampu mengolah kondisi itu.

Tetapi soalnya memang tidak sesederhana yang mampu diucapkan oleh teori-teori. Anak-anak muda kita sekarang ini adalah pewaris-pewaris okey, pewaris kemerdekaan politis yuridis formil negeri ini — tetapi juga, tidak saja pergeseran nilai dan orientasi kulturil kehidupan masyarakat, melainkan juga bertumbuhnya berbagai effek dan ongkos-ongkos dari pergeseran itu di dalam diri mereka. Karenanya bahwa hutang-hutang kebudayaan itu makin mereka ciptakan, sesungguhnya adalah hal yang cukup wajar terjadi. Inilah yang pada awal tulisan ini saya sebut bahwa membicarakan anak-anak muda, harus dengan memperbincangkan gerak langkah orang-orang tua sebelumnya.

Anak-anak muda kita adalah bayi yang dilahirkan oleh perang brubuh antara spiritualisme timur yang diilutrasikan terutama oleh keluguan, kedamaian dan kerukunan hati masyarakat agraris serta oleh tradisi rituil agamis, melawan raksasa-raksasa materialisme, rasionalisme dan sekularisme yang ditancap-kokohkan benderanya oleh kehadiran bukti-bukti konkrit benda-benda dan gaya yang diproduksi oleh teknologi modern. Saya sama sekali tidak berpendapat bahwa salah satu di antara kedua pihak itu musti diganyang habis. Tetapi kenapa kita harus tertegun jika melihat bayi-bayi itu hari ini cenderung tercerabut dari akar kebudayaannya, karena silau kepada sang raksasa yang memang menggiurkan dan enak dan praktis? Saya barangkali hanya menyayangkan bahwa mereka kenapa tidak jadi raksasa saja sekalian, sepenuhnya memiliki dan mengerjakan seperti apa yang telah dimiliki dan dikerjakan oleh para Bule. Terpaksa disayangkan, sebab hal itu memang mustahil terjadi. Lebih-lebih umumnya mereka hanyalah pembebek-pembebek dalam memakai produk-produk, kurang dalam kreativitas membikin. Kalau toh yang disebut terakhir itu cukup ada juga di antara kita (bukankah cukup banyak ilmiawan kita yang cakap dan kreatif), maka tantangan pokok berikutnya yang harus mereka jawab ialah bahwa masyarakat kita, sebagai subjek kebudayaan, memiliki problem yang berbeda dengan para Bule itu. Yang selama ini kita sebut modernisasi, sebagai contoh kemenangan sang Raksasa, jelas menumbuhkan hutang-hutang, bahkan di negara Barat sendiri, apalagi di sini.

Jadi, gambaran dari hutang kebudayaan di atas, pada anak-anak muda kita, ialah sejauh mana mereka memiliki wawasan tentang wajah dan isi kebudayaan mereka sendiri, dengan pelbagai gejalanya. Pelunasannya ialah apabila langkah-langkah untuk merintis penguasaannya mulai dilakukan. Apabila dari wajah hidup mereka tidak juga terpancar secara cukup kuat dan menyeluruh kesadaran akan idealisme serta ketepatan memilih orientasi, maka hutang itu pasti makin bertumpuk. Saya pikir, hanya jika kesadaran akan idealisme dan kepekaan untuk berorientasi dilangsungkan terus menerus sajalah maka seluruh deretan falsafah (keagamaan, kemanusiaan murni atau konvensi nasional semacam Pancasila) bisa memiliki arti dan karenanya bisa involve serta mewarnai sifat dan mekanisme kehidupan budaya mereka. Kaum idealis makin berguguran dan api idealisme makin buram karena kita selalu kalah dan tenggelam saja dibawa arus yang diam-diam kita ciptakan sendiri. Yang paling ringkih di tengah kehidupan hari-hari ini ialah kesetiaan pada prinsip (bahkan juga kesadaran untuk memiliki prinsip). Dan kesetiaan itulah tubuh dari idealisme. Jika ditanyakan apa gerangan bentuk kenakalan remaja dewasa ini? Bukannya ngebut, narkotik atau berbagai pelanggaran sosial atau moral lainnya — sebab itu hanyalah impuls-impuls. “Kenakalan” mereka yang paling mendasar ialah krisisnya idealisme, krisis wawasan tentang lingkungan budayanya sendiri, krisis orientasi, bahkan krisis introspeksi, krisis kontemplasi. Dan ternyata, krisis-krisis semacam itu juga merupakan “kenakalan” para orang tua. Itu hal-hal yang pokok. Berbagai variantnya bisa kita lihat pada banyak pola tingkah laku yang cenderung a-modern: pemakaian hasil-hasil teknologi tetapi dengan membiarkan penumbuhan borjuasi, berkembang suburnya selera-selera tidak bermutu di dalam menentukan bentuk hiburan atau konsumsi lain terutama yang rochaniah (lihat umpamanya film-film kita yang umumnya makin tak bermutu dan murahan karena apa yang dilakukan pembikin-pembikinnya hanyalah mengeksploatasi selera rendah anak-anak muda kita; lihat juga bagaimana larisnya majalah-majalah pop serta novel-novel picisan; sambil kita bayangkan juga kelompok terbanyak lainnya yang belum lagi cukup terlibat dalam kultur-baca – dst), dan akhirnya juga kecenderungan yang amat kuat akan keluwesan, salah satu ciri menonjol dari sikap mental anak-anak muda kita, yang dari sudut-sudut pandangan terpenting justru menampak sebagai ekspressi dari kelemahan, konsistensi kepribadian, keringkihan untuk gampang berkompromi, serta kurang dipegangnya secara setia unsur-unsur yang menjadi sosok dirinya. Variasi-variasi ini merupakan pernyataan juga dari gerak pangkal mereka’ di dalam mengorientasikan (atau di dalam terorientasikan tanpa kontrol kesadaran wawasan) hidupnya secara tidak terbatas dalam segi-segi kwantitatip, tetapi manja dan ringkih serta cepat letih dalam segi-segi kwalitatip. Sudah menjadi pengertian yang hampir basi bahwa hal-hal tersebut adalah hasil sampingan dari pemanjaan dan penyuburan sikap konsumtip yang ditawarkan oleh produk teknologi mutakhir untuk seluruh bidang kehidupan. Tidak saja pada kalkulator atau AC yang tinggal pakai, tetapi juga pada cara bagaimana seorang Guru memperlakukan anak-muridnya sebagai individu-individu yang semustinya dibiasakan untuk mengasah diri dan membuka makin lebar kunci kreativitas pribadi. Hasil sampingan ini ternyata akhirnya menjadi permasalahan yang cukup primer untuk dibenahi dalam tubuh kehidupan anak-anak muda kita. Pendekatan kita terhadap objek-objek (yang subjek) ini sudah barang tentu tidak terutama terpaku kepada anak-anak muda hari ini, melainkan juga anak-anak muda besok pagi yang sudah berjubel detik ini.

Kita bisa mengadakan pengandaian-pengandaian, untuk mengukur seberapa tinggi hutang-hutang kita telah menumpuk, dengan kondisi semacam itu. Barangkali kita tidak perlu bermimpi untuk dalam waktu dekat kita mampu menciptakan keseimbangan antar pembangunan berbagai sektor kehidupan masyarakat kita, sehingga dengan demikian ia bisa merupakan iklim yang menumbuhkan perkembangan yang utuh dan seimbang pula individu-individu masyarakat kita. Bahkan Agama-agama yang dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesiapun tidak usah bermimpi dengan pidato dan khotbahnya untuk mampu melibatkan secara kuat dasar falsafahnya ke dalam setiap gerak kultur pemeluk-pemeluknya — sebab dalam hal ini para juru agama barangkali amat perlu berkotor tangan untuk tidak berdakwah sekedar dengan kata-kata, melainkan dengan keterlibatan sosial yang sejauh dan sedetail-detailnya. Bahkan kitapun sudah senantiasa terbuntu berbicara tentang sistem-sistem dan tatanan-tatanan karena menganggap “revolusi-mentalitas” adalah utopi.

Impian kita sahajakan. Sekedar bagaimana pospos perangsang tumbuhnya gerak kultur bisa kita manfaatkan seefektif mungkin untuk menanamkan benih idealisme dan integritas kebudayaan. Bagaimana TV lebih memperhatikan penyuguhan bukti-bukti kreativitas serta contoh-contoh tradisi kreatif, secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana film-film diwarnai juga oleh iktikad untuk merangsang kreativitas bangsa serta meninggikan mutu kehidupan mereka. Bagaimana pelaksanaan pendidikan formil tidak sekedar berisi pengajaran-pengajaran informatif-konsumtif, tetapi lebih diarahkan untuk merangsang tumbuhnya kreativitas rochani. Bagaimana orang tua tidak hanya menjejali mulut anak-anaknya dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan, hiburan dan konsumsi, tetapi juga selalu memperhatikan langkah-langkah paedagogis untuk membuka kreativitas, daya cari, daya mandiri, serta mengasah kesiapan untuk memiliki dan mengolah dirinya sendiri. Bagaimana setiap medium, perkumpulan-perkumpulan sosial, Pramuka, group kesenian, perguruan silat, bahkan juga kelompok olah raga, tidak abai terhadap pentingnya penumbuhan kreativitas individu lewat sektornya masing-masing.

Tetapi permasalahan kita barangkali baru pada tahap tehnik pemasaran idealisme. Maka jawabannya bagaimana kita berusaha mengenal betul medium-medium pembudayaan itu serta memperhitungkan effektivitasnya. Salah satu segi, anak-anak muda yang terpelajarpun, bahkan kini masih sedang berada pada tahapan permulaan untuk belajar menjadi manusia yang punya kultur membaca. Membaca, sebagai salah satu sarana penumbuhan kesadaran dan penalaran idealisme (padahal membaca Pustaka dan Vista tentu amat jauh berbeda pula), masih belum merupakan kebutuhan pokok. Maka sementara tradisinya terus dirintis, kita juga harus peka terhadap sarana-sarana lainnya. Saya pikir cukup banyak bentuk-bentuk komunikasi sosial lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Media pendidikan formil maupun informil, forum-forum, bahkanpun pertemuan silaturahmi keluarga, kenapa tidak. Apalagi jika kita berpikir juga untuk menambah frekwensi sarana.

(V)

Pemasaran idealisme menjadi masalah primer, sebab setiap jengkal langkah kebudayaan, amat diseyogyakan dilandasi olehnya. Kehidupan manusia hanya bisa diorientasikan secara tepat dan benar, betapa relatif dan tidak bisa seutuhnya pun, apabila kesadaran dan penalaran idealisme benar-benar menjadi sumber geraknya.

Idealisme di sini bisa dalam pengertian yang seluas-luasnya. Seorang petani di pelosok dusun yang relatif belum tersentuh oleh “kultur intelektuil modern”, tidak mustahil memiliki idealisme yang barangkali tidak kalah kuat dibanding kita yang tidak buta huruf. Idealisme mungkin saja beressensi sama tetapi dari sumber kefalsafahan yang berbeda. Idealisme murni kemanusiaan dan alam. Idealisme juga bisa amat diwarnai oleh keagamaan atau banyak isme-isme yang tumbuh secara massif tradisionil maupun yang berasal dari cetusan-cetusan.

Permasalahan idealisme anak-anak muda kita yang berada dalam pusat-pusat jaringan dinamik kebudayaan, tentu saja berbeda dengan problem petani kita di pelosok tersebut. Keinsyafan intelektuil tentang idealisme beserta kemampuan penalarannya, menjadi amat penting, karena dinamik kehidupan masa kini, terutama di pusat-pusat jaringan itu, berhadapan dengan tantangan-tantangan, yang secara umum telah terillustrasikan dari uraian di atas. Petani yang kita sebut itu, yang kurang begitu berurusan dengan arus gerak “modernisasi”, mungkin tak perlu terlalu banyak berkewajiban membayar hutang-hutang kebudayaan, betapapun mereka kita anggap terbelakang, ndeso dan tidak pintar. Tetapi kenyataan kerugian-kerugian spirituil (bahkan juga materiil) yang diderita oleh masyarakat terbaru kita, meminta dihadapi dengan bentuk dan isi idealisme yang lain sama sekali. Saya pikir inilah tantangan utama yang harus dilayani oleh kaum muda kita hari ini. Bahkan lebih dari itu, mereka harus sekaligus merintis pengolahan sejak hari ini agar hal tersebut bisa bertumbuh kuat pada kaum muda besok pagi. Prinsip dasar bahwa setiap bentuk kolektivitas sosial budaya, juga setiap pos kebudayaan (dari bangku sekolah, pengajian di surau, organisasi mahasiswa ekstra universiter, sampai group-group kesenian, dst) mustilah melandaskan diri pada iktikad mengolah kepribadian, tatanan sikap mental, penumbuhan kreativitas dan idealisme, merupakan falsafah kuno yang hari ini terasa makin urgen.[]

sumber: caknun.com

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...