Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Ita Surojoyo Terbitkan Buku Anak Pertama Beraksara Jawa

Buku yang dipersembahkan untuk anak Nusantara ini mengajarkan tentang pesan moral sebagaimana sifat Sio Tikus.

REKAYOREK.ID Satu lagi sebuah buku lahir dari salah satu anggota Begandring Soerabaia. Ita Surojoyo. Buku ini dipersembahkan untuk anak Nusantara. Isinya tentang pesan moral tolong menolong dan peduli sosial.

Pesan ini sesuai dengan Sio Tikus, yang menaungi mereka yang lahir pada 1948, 1960, 1972, 1984, 1996, 2008, dan 2020. Dengan Sio Tikus, yang bersifat suka menolong kepada sesama, Ita berbagi makna yang dikisahkan lewat penokohan seekor Tikus yang menjadi gambaran Sio Tikus.

Buku baru Titi Tikus Ambeg Welas Asih karya Ita Surojoyo. Foto: Ita

 

Ita, yang akrab dipanggil Tata, menggambarkan penokohan seekor Tikus, yang dipanggil Titi. Ringkasnya buku untuk anak Nusantara ini berkisah tentang sifat tolong menolong dari seekor tikus kepada sesama binatang.

Menurut sumber CNN Indonesia bahwa mereka, yang berada di bawah naungan Sio Tikus, dikenal sebagai pribadi yang cerdas (smart), tenang, menarik, agresif, serba bisa, dan suka menolong.

Kisah Titi

Buku yang dipersembahkan untuk anak Nusantara ini, mengajarkan tentang pesan moral sebagaimana sifat Sio Tikus. Salah satunya yaitu suka menolong. Ita Surojoyo memandang sifat suka menolong ini sesuai dengan salah satu dari 18 nilai karakter pendidikan nasional. Yaitu Peduli Sosial.

Pesan moral itulah yang ia gambarkan dalam cerita fable yang mengangkat tokoh Titi Tikus. Titi Tikus adalah sosok yang tinggal bersama ibunya di sebuah lorong sudut kota Surabaya. Kota Surabaya dibuatnya sebagai setting tempat. Karenanya ilustrasi dalam buku ini menggambarkan ikon ikon kota Surabaya seperti gedung Balai Pemuda dan lambang kota Surabaya: ikan Hiu dan Buaya.

Titi Tikus bercerita tentang jiwa tolong menolong. Foto: nng/Begandring

 

Apalagi pada halaman halaman awal dengan jelas dan literatif dituliskan “Surabaya saiki wis dadi kutho sing resik tenan” (Surabaya sekarang jadi kota yang benar benar bersih). Bahkan, keragaman budaya Surabaya juga menjadi perhatian Ita dalam cerita Titi Tikus.

Menjelang akhir cerita dikisahkan bahwa Titi Tikus bergegas pulang untuk menemui ibunya yang dikabarkan oleh seekor burung bahwa ibunya mendapat banyak makanan pada suasana bulan Desember ketika perayaan Natal dan Idul Fitri jatuh berdekatan.

Belum lagi ditambah dengan perayaan umat Hindu kala itu. Ramainya suasana pada hari hari besar keagamaan itu seolah lewat dari perhatian Titi Tikus, yang ingin segera pulang untuk melihat ibunya yang kabarnya menerima banyak makanan. Mengapa bergegas ingin pulang?

Titi Tikus bergegas pulang lantaran selama ini ibunya selalu berharap kepada Titi Tikus agar membawa makanan jika pulang. Ibu Titi Tikus, yang tinggalnya di lorong lorong selokan sempit di kota Surabaya itu, sering marah marah kepada Titi karena Titi pulang tidak membawa makanan. Kalau pun dapat makanan, Titi sering memberikan makanan kepada kawan kawannya. Menolong.

Sementara dia pulang dengan tangan hampa. Ibu Titi sempat mengatakan kepada Titi bahwa perilaku Titi adalah penyakit. Alasannya, disaat dia sendiri dan ibunya sedang membutuhkan makanan, justru dia memberikan makanan pada pihak lain. Sampai sampai badan Titi sendiri kurus akibat kurang makan. Titi memang tidak menyadari bahwa perilakunya dengan membagi bagikan makanan kepada pihak lain adalah penyakit. Begitu pikir ibunya.

Titi sempat sedih dan menangis akibat dimarahi ibunya tapi ia juga senang karena bisa berbagi kepada sesama. Suatu saat ada seekor burung, yang berterbangan dan hinggap di pohon tabebuya yang sedang mekar di Surabaya. Burung itu kemudian menghampiri Titi, yang sedang berada di bawahnya dan memberitahu Titi bahwa ibunya berkelimpahan makanan dan makan dengan lahapnya. Sementara Titi harus mencari makanan.

Titi lantas berfikir kok ibunya mempunyai banyak makanan dan dari mana makanan itu. Padahal selama ini tidak punya makanan dan menyuruhnya mencari makanan.

Karena kabar si burung itulah Titi bergegas pulang hingga tidak menghiraukan maraknya perayaan hari hari besar keagamaan. Gereja, Masjid dan Pura ramai.

 

Sesampainya di rumah dan bertemu sang ibu, Titi kaget karena sang ibu justru meminta maaf kepada Titi. Di rumah banyak menerima kiriman makanan dari pihak pihak yang selama ini dibantu Titi.

Sing gedhe pangapuramu ya, Ti. Selawase iki awakmu tansah tak seneni jalaran kerep mulih tanpa nggawa pangan. Atimu pancen kebak welasasih marang liyan”, begitu kata ibunya.

(Yang besar pintu maaf darimu ya, Ti. Selama ini kamu selalu ku marahi karena sering pulang tanpa makanan. Hatimu begitu penuh dengan belas kasihan kepada sesama).

Pesan moral pada buku anak Nusantara ini mengajarkan pesan peduli sosial dengan suka menolong antar sesama. Pesan ini adalah sifat Sio Tikus, yang selaras dengan salah satu dari 18 Pendidikan Karakter Nasional. Yaitu Peduli Sosial yang wujudnya suka menolong.

Tentang Buku dan Penulis

Buku untuk anak Nusantara ini berjudul “Titi Tikus Ambeg Welas Asih” dicetak berwarna dengan ilustrasi sesuai dengan isi cerita yang bersetting lokasi di Surabaya. Fable ini ditulis menggunakan tata tulis hasil Konggres Aksara Jawa 2021 di Yogyakarta.

Profil penulis dalam aksara Jawa. Foto: nng/Begandring

 

Mengacu pada tata tulis hasil Kongres Aksara Jawa tersebut, ada tata tulis Mardikawi, Sriwedari, dan KBJ (Konggres Bahasa Jawa), dan yang paling baru adalah tata tulis hasil Konggres Aksara Jawa. Sedangkan tata tulis yang dipakai Ita dalam buku ini adalah tata tulis aksara Jawa yang disederhanakan (simplified Javanese).

Menurut Ita Surojoyo, buku ini adalah bukunya yang pertama yang ditulis dalam aksara Jawa yang disertai dengan terjemahan bahasa Jawa. Baginya ini adalah upayanya dalam memperkenalkan aksara Jawa dan sekaligus mengajarkan nilai nilai moral kepada anak anak.

Karenanya buku ini perlu ada pendampingan oleh orang tua ketika dibacakan kepada anak anaknya. Selain itu juga ada proses pembelajaran sendiri bagi orang tuanya.

Buku ini berisi iv + 44 halaman dengan ukuran 20 cm x 20 cm. Ditulis dengan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Juga disertai belajar singkat bahasa (aksara) Jawa di bagian belakang. Buku ini diterbitkan oleh Diandra Mahasastra, Jogjakarta (2023).

Ita Surojoyo. Foto: ita

 

Ita Surojoyo sudah lama bergelut dengan dunia aksara khususnya Jawa, Kawi dan Bali. Terkesan tradisional memang dengan kepeduliannya di bidang bahasa Jawa, termasuk Kawi dan Bali, tapi ia adalah konsultan pendidikan luar negeri untuk sekolah sekolah di Australia, Canada dan Inggris. Bahkan ia pun suka berkebaya dalam setiap kesempatan dalam upaya memperkenalkan budaya Jawa. Ketika berada di luar negeri pun ia memakai kebaya.

Melalui buku ini, masyarakat bisa semakin belajar aksara Jawa sebagai bagian dari budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Atas terbitnya buku ini, Ita Surojoyo diundang dalam sebuah acara talk show di TVRI Jogjakarta. Semoga akan ada lagi buku buku serupa demi upaya pelestarian budaya sebagaimana diamanahkan dalam UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahasa adalah salah satu dari 10 obyek Pemajuan Kebudayaan.

Bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah (UU 5/2017).@nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...