Karya HP Berlage: Gedung Singa dan Mijn Indiesche Reis
Sekelompok pecinta warisan budaya lintas negara menggagas sebuah proyek BerlagediNusantara. Tujuannya agar isi pemikiran Berlage dapat dijangkau secara luas dan menjadi bahan diskusi tentang warisan bersama, yakni arsitektur dekolonisasi, identitas budaya, dan keberagaman di Indonesia dan Belanda.
REKAYOREK.ID Ada sebuah rencana besar yang digagas oleh sekelompok pecinta warisan budaya lintas negara. Adalah Time Amsterdam, Urban Discovery Asia dan Konsorsium Kota Tua Jakarta. Mereka menggagas sebuah proyek BerlagediNusantara. Yaitu sebuah kegiatan bersama antar pecinta warisan budaya, yang merasa bahwa “Mijn Indiesche Reis”, sebuah jurnal perjalanan seorang arsitek terkenal Hendrik Petrus Berlage pada 1923, yang dibukukan pada 1931.
Buku berjudul “Mijn Indiesche Reis” (Perjalanan Hindia Belanda Ku) oleh arsitek HP Berlage ini berisi gabungan pengalaman, pengamatan, pemikirannya, juga sketsa dan bahkan puisinya. Dalam tulisan personil ini, selain perjalanan fisiknya, ia juga menuliskan perjalanan spiritual yang ia alami.
Jurnal ini diisi dengan pengamatan, kritik, dan pemikiran filosofis mendalam tentang arsitektur dan masyarakat, termasuk pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Jurnal ini cukup moderen. Apa yang ditulis Berlage pada 1923 masih relevan hingga saat ini, era abad 21. Tahun depan 2023, perjalanan Berlage ke Hindia Belanda genap 100 tahun.
Dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage ke Hindia Belanda (Indonesia), para pecinta warisan budaya lintas negara, yang tergabung dalam proyek BerlagediNusantara, perlu menyajikan isi buku Mijn Indiesche Reis dalam bentuk kekinian di era moderen ini.
Tujuannya adalah agar isi pemikiran menarik Berlage dapat dijangkau secara luas dan menjadi sebuah bacaan yang menarik dan kontribusi berharga dalam diskusi tentang warisan bersama, arsitektur dekolonisasi, identitas budaya, dan keberagaman di Indonesia dan Belanda.
Pengalaman HP Berlage pada 1923 adalah mimpi perjalanannya ke Indonesia. Untuk mewujudkan mimpi itu, ia harus menaiki kapal uap ke Hindia Belanda. Ia mulai menyaksikan Surga Nusantara pada 28 Februari 1923. Ia menghabiskan waktu selama 3 bulan di Tanah Surga ini. Grup musik legendaris, Koes Ploes, dalam lagunya menggambarkan Tanah Surya ini begitu suburnya sehingga “tongkat kayu dan batu bisa menjadi tanaman”.
Selama tiga bulan itu Berlage berkunjung ke Padang (Sumatra), Batavia, Bogor, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Blitar, Surabaya dan Bali. Banyak pengalaman yang dapat diperoleh Berlage sehingga merubah hidupnya.
Ketika ia kembali ke negaranya, ia bagai terlahir kembali di muka bumi. Ia menjadi orang yang baru. Ia terlalu terpesona dan telah jatuh cinta dengan negeri yang tidak akan ia lihat kembali. Ia seolah merasa bingung di negerinya sendiri.
Negeri Nusantara telah menyulap Berlage terlahir kembali. Ini semua karena pengalaman perjalanannya yang tidak hanya pengalaman fisik, tapi juga pengalaman spiritual yang luar biasa.
Dari sketsa sketsa yang ia buat selama dalam perjalanan, semua menunjukkan potret kebudayaan Nusantara yang total berbeda dari kebudayaan di negerinya (Belanda). Ia menggambar candi candi, rumah rumah adat dan keadaan lingkungan perkampungan. Salah satunya adalah perkampungan di Surabaya. Ia menggambar kampung Arab, kampung Pecinan dan dermaga kali yang menjadi sentra perdagangan. Hanya ada tiga sketsa tentang kota Surabaya.
Gedung Algemeene “Singa” maatschappij
Antara Gedung Singa dan HP Berlage adalah tentang waktu. Gedung Singa, yang nama formalnya adalah De Algemmene Maastchappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam yang diarsiteki oleh HP Berlage, dibangun tahun 1901. Sementara Berlage sendiri datang di Surabaya pada Mei 1923.
Ketika Gedung Berlage dibangun di jalan Jembatan Merah Surabaya pada 1901, Berlage memang tidak berada di Surabaya. Ia ada di Belanda.
Gedung ini menjadi monumental karena terhitung gedung paling moderen di Surabaya ketika memasuki abad 20. Gedung ini tampil beda di lingkungannya. Tidak hanya tampil beda dalam design arsitektur, ia juga berani mengusung makna filosofi, seni dan budaya.
Pewarnaan pada Gedung tidak monokrom sebagaimana umumnya, tetapi sudah berani hadir dengan warna terakota, biru, ungu dan kuning seperti tampak pada mosaik keramik lukis. Termasuk menghadirkan kolaborasi antara arsitek (HP Berlage), seniman patung (Joseph Mendes Da Costa) dan seniman lukis porcelen (Jan Toorop).
Karena Gedung Singa menjadi karya masterpiece Berlage yang paling indah di Hindia Belanda (Indonesia), maka selayaknya Surabaya ambil peran dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage di Hindia Belanda, khususnya Surabaya.
Karya Berlage di Surabaya bisa menjadi jembatan untuk lebih mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda karena disana ada nilai bersama (sejarah, seni dan budaya).
Selain buku “Mijn Indiesche Reis”, juga ada Gedung Singa sebagai karya nyata Berlage di Surabaya. Di dalam buku catatan harian itu ada sketsa sketsa kampung Ernis Surabaya: Kampung Arab, Kampung Pecinan dan demaga kali dengan aktivitas perahu. Karenanya dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage di Surabaya, Gedung Berlage bisa menjadi jujugan dan bahkan sebagai venue untuk merayakannya.
Apa kata mereka tentang Peringatan 100 tahun?
Seorang arsitek dan Wakil Rektor II, Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Dr. Ir. R.A. Retno Hastijanti, MT. mengatakan bahwa sebagai seorang arsitek, tentu ini menjadi momen penting untuk menggali dan memahami perkembangan arsitektur di Indonesia.
“Ini juga membuat Indonesia ada di peta dunia dalam konteks arsitektur, karena ternyata di Indonesia tersimpan banyak bentukan arsitektur yan berskala dunia dan ikonik. Karya HP Berlage adalah salah satu diantaranya”, tambah Hasti yang juga sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya.
Sebagai seorang pemerhati cagar budaya dan warga surabaya, bagi Hasti ini menjadi momen penting untuk merenungkan bahwa orang luar negeri saja sangat perhatian pada karya karya arsitektur yang menjadi salah satu cagar budaya kota Surabaya.
“Lantas bagaimana dengan kita, “pemilik” dari Cagar Budaya tersebut? Saya berharap, momen Ini akan memotivasi para “pemilik” CB untuk bisa lebih merawat dan menjaga kelestarian CB tersebut dengan strategi strategi yang sesuai”, tambahnya.
Sementara seorang dokter pengagum HP Berlage, Winanda Denis Kurniawan, memandang bahwa peringatan 100 tahun kehadiran Berlage di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) adalah sebagai apresiasi kepada seorang arsitek yang berhasil menorehkan namanya sebagai seorang pembaharu.
“Tidak peduli latar belakang kita dari bangsa mana, kita menghargai seorang pribadi dan sebuah karya manusia, yang akan terus dihargai dan dipelajari di masa mendatang”, kata dokter yang akrab dipanggil Denis.
Denis melanjutkan bahwa peringatan itu bisa dipandang sebagai upaya bersama dalam i proses rekonsiliasi sejarah dua bangsa, yang saling terjalin sejak abad 17.
“Ini adalah jembatan dua bangsa yang membawa banyak pelajaran untuk keduanya. Berlage meninggalkan suatu karya reformis di kala itu, yang sangat berbeda dengan arsitektur bangunan di sekitarnya kala itu. Beliau juga meninggalkan catatan field observation mengenai berbagai facet kebudayaan bumiputera. Semua itu adalah warisan yang bisa dipelajari masyarakat kedua negara”, jelas Denis.
Selain itu Denis juga memandang ini adalah kesempatan unik yang bisa membuka potensi-potensi lain yang bahkan jauh di luar ranah arsitektur. Ada beberapa potensi dari aspek diplomatis, politik cagar budaya, dan ekonomi yang bisa dimanfaatkan dari peringatan 100 tahun perjalanan Berlage ke Indonesia.
Ir. Andy Mappajaya, MT., dosen arsitektur ITS melihat bahwa peringatan 100 tahun Berlage di Surabaya ini menjadi momen penting untuk bersama sama mempedulikan karyanya di Surabaya yang tidak terurus.
“Tinggalan Berlage di Surabaya sangat penting namun tidak terangani dan tersentuh pihak Pemerintah Kota Surabaya dan pemiliknya sendiri. Monggo sareng sareng (red: Mari bersama sama) iinisiasi bagaimana melestarikannyai”, pungkas Andy yang sangat memperhatikan peninggalan cagar budaya kota Surabaya.@Nanang