Gedung Singa, Antara Budaya dan Entitas Perusahaan
REKAYOREK.ID Nama Gedung Singa semakin populer. Namanya tidak hanya didengar secara lokal dan nasional, tapi juga sudah menginternasional. Gedung ini dikenal dan dihargai para arsitek dan seniman di manca negara, khususnya Eropa. Gedung Singa bukanlah Kandang Singa.
Gedung Singa adalah sebutan untuk sebuah bangunan yang didesign oleh arsitek terkenal di Belanda dan Eropa. Yakni Hendrk Petrus Berlage. Ia disebut Bapak Arsitektur Moderen di Belanda dan penjembatan antara tradisionalis dan modernis. Teori Berlage mengilhami sebagian besar kelompok arsitektur Belanda pada tahun 1920-an, termasuk Tradisionalis, Mazhab Amsterdam, De Stijl and Obyektivis Baru.
Disebut Singa karena di depan pintu masuk utama terdapat sepasang Singa bersayap. Penggambaran Singa bersayap ini jelas bukanlah Singa lokal, tetapi sosok Singa dari manca negara seperti Mesir. Senimannya adalah Joseph Mendes Da Costa.
Dalam budaya Mesir Kuno, hewan singa dianggap sebagai salah satu hewan yang mempunyai hak istimewa. Singa dengan nama latin Panthera leo dikaitkan dengan matahari dan Firaun, elemen hidup dan mati terkuat di Mesir Kuno.
Karenanya, pada dada kedua Singa, yang dibuat Seniman patung Joseph Mendes Da Costa, terdapat simbol matahari. Citra singa juga digunakan untuk objek kehidupan sehari-hari, seperti dengan kursi dan tempat tidur. Tidak hanya itu saja, citra dari singa itu juga bisa digunakan sebagai perlindungan.
Menurut pemerhati dan pegiat sejarah Dedy Endarto, Singa adalah hewan suci yang menjadi kendaraan sang Budha Gautama pergi ke nirrwana.
“SINGA atau SIMHA dalam pemahaman keagamaan HINDU BUDHA, merupakan hewan kendaraan atau wahana dari Sri Bhatari Durga. Selain merupakan lambang hewan yang perkasa, juga dikonotasikan sebagai hewan penjaga kesucian suatu lokasi. Tak heran bila kita bisa temui adanya ornamen hias berwujud singa di candi-candi. Misal Candi KIDAL dan Candi BOROBUDUR”, jelas Dedy yang juga sebagai founder Museum Online Wilwatikta.
Dedy menambahkan bahwa selain dikenal sebagai perwujudan dari dewa Wisnu saat murka ketika turun ke dunia atau disebut NARASINGHA, perwujudan itu berupa manusia berkepala Singa dengan gigi dan kuku yang tajam, siap mencabik lawannya dan merupakan pelindung bagi umat Wisnu atau Waisnawa.
Di Indonesia, penggambaran singa sebagai pelindung tempat suci juga dapat ditemui di klenteng klenteng, baik yang berbentuk arca atau patung, relief maupun lukisan. Penggambaran tersebut bukanlah tanpa alasan karena dalam ajaran buddha singa memang merupakan hewan yang suci.
Umumnya penggambaran bentuk Singa di Indonesia tidak realistis karena masyarakat jawa pada masa itu memang tidak pernah melihat singa. Sebab singa sendiri memang tidak pernah hidup di wilayah Jawa maupun wilayah Indonesia lainnya. Sehingga wajar apabila penggambaran singa baik di candi Borobudur dan klenteng klenteng sangat jauh dari bentuk fisik singa saat ini.
Jika berkunjung ke kebun binatang kebun binatang yang ada di Indonesia, misalnya Surabaya, koleksi hewan Singa disebutkan berasal dari India.
Dari zaman ke zaman, Singa telah menjadi lambang kekuatan dan kekuasaan di berbagai budaya dan benua seperti dii Eropa, Asia dan Afrika. Singa diberi julukan sebagai “Raja Hutan” dan “Raja Binatang”.
Jika dibandingkan penggambaran hewan Singa di tempat tempat suci seperti di candi candi dan klenteng, maka bentuk mereka tidak serealistis dengan gambaran Singa di Gedung Berlage di Surabaya. Bentuk sepasang Singa bersayap ini secara anatomi sangat realistis. Sepasang Singa bersayap ini hasil karya Seniman patung Joseph Mendes da Costa (4 November 1863 – 20 Juli 1939).
Ia adalah seniman yang dalam hidupnya sudah pernah melihat hewan Singa sehingga bisa menggambarkan anatomi Singa secara mendetail. Berbeda dengan orang orang Jawa yang kala itu tidak pernah melihat hewan Singa sehingga penggambaran singa di candi Borobudur tidak realistis.
Tapi mereka mengatahui makna hewan Singa. Akhirnya secara ekstensif, Singa dibuat sebagai patung, lukisan, literatur, bendera nasional, film modern, dan lambang tim olahraga di dunia.
Nilai Budaya Lebih Lestari
Singa sebagai lambang nilai nilai budaya masih hidup dan bisa menerobos lorong waktu dan ruang. Tidak demikian dengan nama dan eksistensi perusahaan yang pernah bertempat di Gedung Singa di jalan Jembatan Merah Surabaya.
Perusahaan, yang pernah bertempat dan berkantor di gedung karya HP Berlage di Surabaya ini, telah mati. Namanya De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam. Kini namanya tinggal nama. Bahkan nama perusahaan, yang pernah bertengger di atas atap gedung, kini sudah tidak ada. Publik tidak mengenal lagi nama perusahaan De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam.
Tetapi publik masih mengenal karya trio seniman: HP Berlage (arsitek), Joseph Mendes Da Costa (seniman patung) dan Jan Toorop (seniman lukis keramik). Karya bersama itu dikenal dengan nama Gedung Singa, bukan lagi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam.
Singa masih hidup. De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam sudah mati.
Singa sebagai perlambang kekuatan, perlindungan, kesucian menjadi nilai budaya dan sejarah bersama antara Surabaya (Indonesia) dan Amsterdam (Belanda) serta Dunia. Meski perusahaan yang pernah memakai lambang singa sudah mati, tetapi nilai dari lambang singa ini tetap hidup dan akan tetap hidup yang dapat digunakan sebagai dasar pijakan kerjasama antar dua bangsa (bilateral) dan antar bangsa bangsa di dunia (multi lateral).
Karenanya, Gedung Singa di Surabaya menyimpan makna penting yang universal. Secara fisik gedung moderen karya Berlage ini membuka karya arsitektur moderen dunia, bahkan mengawali karya karyanya di negerinya sendiri. Gedung Berlage di Surabaya dibangun pada 1901. Kemudian gedung Beurs van Berlage di Amsterdam (1903), Jachthuis Sint-Hubertus (1920) dan Kuntsmuseum Den Haag (1935).
Gedung Singa karya Berlage di Surabaya paling kecil dibandingkan dengan karya karya Berlage lainnya, tetapi mempunyai nilai paling besar sebagai ekspresi karya Berlage.@Nanang