Kebakaran Klenteng Hok Tik Hian dan Peradaban Masa Lalu.
REKAYOREK.ID Hari Jumat bagi sebagian orang dianggap hari yang naas, ada juga yang mengatakan hari sakral. Sementara bagi lainnya, jumat adalah hari hari biasa seperti hari hari lainnya.
Sesungguhnya datangnya susah, bahagia, musibah dan rezeki, Tuhan yang menentukan. Namun manusia wajib menjaga dan berusaha dalam meraih sukses dan menghindar dari musibah serta celaka.
Musibah dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Sesuatu dapat terjadi juga karena adanya hukum sebab akibat. Jika seseorang ugal ugalan dalam berkendara di jalan, maka akibatnya bisa terjadi kecelakaan. Bila membakar obat nyamuk di tempat yang kurang aman, misal diletakkan di atas tempat tidur, maka logikanya akan menimbulkan kebakaran.
Pun demikian dengan nyala lilin, yang sering dijumpai pada rumah ibadah klenteng. Ini berpotensi menimbulkan kebakaran bila tidak dikelola dengan baik.
Musibah kebakaran klenteng sudah banyak terjadi, misalnya Klenteng Poo An Kiong di Blitar (2021), Klenteng Dewi Kwan Im di Singkawang (2018), Klenteng Kong Tik Soe di Semarang (2019), Klenteng Sumber Naga di Probolinggo (2019), Vihara Dharma Bhakti di Jakarta (2015) dan terkini Klenteng Hok Tiek Hian di Surabaya (Jumat, 17/2/2023).
Jika lilin lilin besar, yang sedang menyala, diletakkan di tempat dan lingkungan yang rawan menimbulkan kebakaran, maka akibatnya bisa terjadi musibah kebakaran. Musibah kebakaran di Klenteng Hok Tiek Hian di jalan Dukuh Surabaya pada Jumat (17/2/2023) menjadi salah satu contoh. Untung api tidak melalap bangunan Klenteng.
Benda yang terbakar adalah tumpukan triplek dan kayu serta lemari, yang ditempatkan di dekat lilin menyala di plataran Klenteng sisi timur. Menurut seorang juru parkir setempat, kebakaran itu berasal dari tetesan lilin yang mengenai triplek dan membakarnya.
Sementara menurut petugas Pemadaman Kebakaran, Ridwan, api dari tetesan lilin merembet dan membakar lemari kayu di halaman timur klenteng. Kejadiannya sekitar 11.30 pada hari Jumat, 17 Februari 2023.
Untungnya api dapat dikuasai dengan cepat oleh petugas pemadam kebakaran, yang datang dari berbagai pos Pemadaman Kebakaran di sekitar lokasi kejadian. Ada 8 unit Damkar dikerahkan dalam peristiwa ini. Yakni 1 Unit Tempur dari Pos Pegirian, 2 Unit Tempur dari Rayon 1 Pasar Turi, dan 5 Unit Tim Rescue.
Ketika media ini mendatangi lokasi kejadian pada Sabtu (18/2/2023) terlihat petugas klenteng sedang membersihkan bekas kebakaran. Luberan cairan lilin , yang berwarna merah, terlihat meluber hingga batas pagar klenteng. Sementara bekas jilatan api tampak pada tembok klenteng. Tembok gosong dan mengelupas.
Batas Kawasan Pecinan
Klenteng Hong Tiek Hian terletak di Jalan Dukuh, Surabaya Utara. Klenteng ini berdiri di dekat Sungai Pegirian. Keberadaan klenteng Hok Tiek Hian menjadi pembatas kawasan pecinan di sisi timur.
Sementara batas Pecinan sisi barat adalah sungai Kalimas. Di sana juga ada Klenteng lainnya. Namanya Hok An Kiong atau Klenteng Sukaloka. Lokasinya di pojok jalan Slompretan dan jalan Coklat. Kedua Klenteng ini (Hok Tiek Hian dan Hok An Kiong) seolah menjadi batas wilayah Pecinan Surabaya: batas timur dan barat.
Ini menunjukkan bahwa kawasan Pecinan Surabaya ini cukup luas. Batas selatan adalah jalan Stasiun. Sementara pada batas utara bercampur dengan kawasan kampung Melayu. Secara geografis batas utara ini adalah jalan Kali Mati Wetan, jalan Kalimati Kulon hingga Kali Malang. Dulu jalan ini adalah sungai yang menghubungkan Kali Pegirian dan Kalimas.
Luasan kawasan Kampung Pecinan ini menjadi tanda supremasi etnis (Cina) yang mendiami Surabaya di eranya. Bahkan di sisi timur Kali Pegirian terdapat Klenteng Boen Bio yang berdiri di kampung Kapasan. Klenteng Boen Bio, seperti namanya, adalah sebuah kuil kesusastraan.
Boen berarti kesusastraan dan Bio berarti kuil. Secara bebas Klenteng Boen Bio adalah pusat pendidikan, tempat belajar ajaran Konghucu. Sebagai kuil kesusastraan, Boen Bio berbeda dari dua Klenteng Hok An Kiong dan Hok Tiek Hian. Di Boen Bio tidak ada patung patung dewa dan tidak ada lilin lilin besar yang menyala. Di Boen Bio ada patung Kongchu, yang oleh umat Konghucu dianggap sebagai Nabi mereka.
Klenteng menjadi penanda adanya peradaban etnis Pecinan. Di berbagai kawasan Kota tua di kola kota lain, umumnya di setiap kota yang memiliki kawasan Pecinan, dan masing masing hanya memiliki satu klenteng. Seperti di kawasan Kota tua Gresik, ada satu klenteng. Di kota Pasuruan ada satu klenteng. Pun demikian di kota Probolinggo, juga ada satu klenteng.
Berbeda dengan di kota Surabaya. Di sana, di kawasan kota tuanya, ada dua klenteng, ditambah kuil kesusastraan Boen Bio.
Klenteng Hok Tiek Hian, lokasinya di sisi timur dari kawasan legendaris di Surabaya yakni Jembatan Merah.
Tepatnya, Hok Tiek Hian berada di Jalan Dukuh dan masyarakat sering mengatakan Klenteng Dukuh. Ada dua unit bangunan utama. Keberadaannya dipisah oleh gang Dukuh. Bangunan di sisi utara adalah bangunan utama yang menjadi tempat persembahyangan. Sementara bangunan sisi selatan lebih menjadi aktivitas administrasi Klenteng dan menjadi tempat atraksi kebudayaan pergelaran wayang Potehi. Di teras dari bangunan inilah yang terjadi kebakaran.
Menurut cerita cerita yang berkembang selama ini bahwa Klenteng Hok Tiek Hian, yang langsung menghadap Kali Pegirian, sudah berdiri sejak era Majapahit. Peradaban Klenteng yang menjadi bukti suatu masa, kiranya masuk akal bila peradaban pecinan ini sudah ada di era Majapahit.
Dari Klenteng di jalan Dukuh jika berjalan semakin ke utara, maka disana ada kawasan kampung Ampel, dulu Ampel Denta, yang menjadi jujugan Raden Rahmad pada 1440-an di masa kerajaan Majapahit.
Sungai Pegirian sebagai percabangan Sungai Kalimas menjadi jalur penghubung antara kawasan hilir dengan pedalaman. Bahkan Sungai Pegirian ini menjadi sungai yang ramai dengan lalu lintas sungai (perahu).
Di era Sunan Ampel pada abad 15, sungai Pegirian menjadi urat nadi perekonomian dan transportasi. Sampai sampai Ki Ageng Supo, yang dikenal dengan Susuhunan di desa Bungkul (Sunan Bungkul), melarung buah delima dari Kalimas di desa Bungkul, yang kemudian ditemukan di Kali Pegirian di desa Ampel Denta.
Diketahui bahwa di sepanjang tepian sungai sudah menjadi jujugan peradaban manusia. Tidak terkecuali peradaban di sekitar jalan Dukuh dimana disana terdapat Klenteng sebagai peradaban Pecinan dan adanya Masjid di Ampel Denta sebagai peradaban umat Islam, yang kemudian menjadi jujugan etnis Arab ketika mendiami Surabaya.
Atas musibah kebakaran yang terjadi di Klenteng Klenteng, perlu disadari bahwa lilin lilin besar, yang terus menyala sebagai bagian dari ritual sembahyangan, perlu mendapat perhatian oleh semua pihak.@Nanang