Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kembalinya Aksara Jawa di Mata Para Tokoh

Bagi penguasa dan masyarakat Belanda saat itu, huruf Latin-Romawi lebih mudah dibaca daripada Hanacaraka dan pencetakannya lebih murah. Saat itu juga pegiat kebudayaan Jawa agaknya ada yang berpendapat bahwa huruf Latin Romawi lebih moderen daripada Hanacaraka. Akhirnya kini timbul rasa sesal.

REKAYOREK.ID Giat penggunaan Aksara Jawa sebagai Signage di kantor pemerintah dan fasilitas umum sudah mulai dibuat dan dapat terlihat mata (Kemata). Kedua tempat itu si atas atap Balai Kota Surabaya dan di Taman Apsari.

Banyak pihak berharap, penggunaan Aksara Jawa itu tidak hanya pada aksesoris atau penanda fisik, tapi lebih jauh dari itu bahwa aksara Jawa secara fisik akan dapat menjadi alat untuk menggali jati diri bangsa dan memupuk kebanggaan sebagai bangsa yang besar.

Jawa adalah bangsa yang besar karana memiliki bahasa, aksara dan nada serta budaya. Jawa adalah sebagian dari Nusantara yang bagian bagian lainnya juga memiliki bahasa, aksara, nada dan budaya. Semua dalam satu ritme Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Apa kata para tokoh berikut tantang Aksara Jawa dalam kota di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Statement mereka ini adalah cuplikan yang akan hadir dalam buku yang berjudul: “Surabhaya Beraksara Nusantara: Kisah Keberanian Kembali Beraksara Jawa, Simbol Jati Diri”

“Aksara adalah Kita” (Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga)

Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga. Foto: ist

 

Ini adalah bentuk literasi dan referensi yang menyentak kesadaran beraksara di ranah khalayak. Alfabetis aksara tidak lahir di ruang hampa melainkan produk asal mula suatu peradaban.

Aksara hadir sebagai substansi sekaligus instrumen kehidupan ini berkelanjutan. Aksara merupakan penanda bahwa manusia dapat menghadirkan dirinya, mengkonstruksi budayanya dan memvibrasi komunikasinya.

Kehadiran kembali Aksara Jawa ini mengingatkan ritme historis yang direkam jejaknya dalam sebuah bingkai kota. Maka ingatan atas aksara Jawa harus dituliskan sebagai wujud terjadinya pemaknaan bahwa yang lampau selalu menjadi pemantik masa depan. Generasi hari ini di Surabaya sesungguhnya adalah pemanen dari racikan kultural leluhurnya.

“Kembalinya Aksara Jawa di Surabaya Simbol Keberanian di Tengah Modernisasi” (Prof. Dr. George Quinn, Pakar sastra dan budaya Jawa, yang berdomisili di Australia)

Prof. Dr. George Quinn, Pakar sastra dan budaya Jawa, yang berdomisili di Australia. Foto: ist

 

Aksara Jawa (Hanacaraka) bersumber pada aksara Pallawa (India Selatan). Sejak tahun 1500, Hanacaraka menjadi wajah tertulis jagad kesusastraan Jawa. Kemudian dalam abad ke 20, aksara Jawa (hanacaraka) lama-kelamaan disingkirkan oleh aksara Latin-Romawi.

Menurut para pakar, hilangnya Hanacaraka karena saat dua faktor utama yang muncul di masa penjajahan Belanda pada paruh pertama abad ke 20.

Pertama, bagi penguasa dan masyarakat Belanda, huruf Latin-Romawi lebih mudah dibaca daripada Hanacaraka dan pencetakannya lebih murah. Kedua, pegiat kebudayaan Jawa agaknya ada yang berpendapat bahwa huruf Latin Romawi lebih moderen daripada Hanacaraka.

Sejalan dengan itu, timbullah rasa sesal. Kemudian timbul pula upaya untuk menjaga agar yang indah dan sarat dengan makna simbolis dalam kebudayaan Indonesia jangan sampai tertelan dan lenyap dalam tsunami perubahan sosial yang sekarang sedang melanda.

Maka saya menyambut sangat gembira kembalinya Aksara Jawa di Surabaya. Dalam bahasa Inggris ada pameo “The Longest journey must start with simple step”. Semoga penggunaan kembali Aksara Jawa di Surabaya menjadi laju tidak terhentikan menuju hidup baru bagi aksara asli Jawa di Surabaya maupun di Nusantara.

“Membangun Dunia Dalam Keberagaman Aksara” (Isaac C. Chiu, Director General, TETO Surabaya)

Isaac C. Chiu, Director General, TETO Surabaya. Foto: ist

 

Sebagai Director General Taipei Economic and Trade Office in Surabaya (TETO Surabaya), saya ingin mengucapkan apresiasi yang mendalam untuk Surabaya yang berani kembali Beraksara Jawa.

Kembalinya Aksara Jawa di Surabaya adalah perlambang harapan akan keberlanjutan budaya dan warisan nenek moyang suku Jawa. Pengembalian aksara Jawa ke Surabaya tidak hanya menghidupkan kembali karakter unik dari kota ini, tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga warisan budaya dan keberagaman bagi generasi masa depan.

Saya sangat terinspirasi oleh upaya keras Bapak Nanang Ketua Begandring Soerabaia dan tim nya serta instansi-instansi terkait yang telah bekerja sama untuk mengembalikan keberadaan aksara Jawa di Surabaya. Sama halnya juga di Taiwan kami sangat menjunjung tinggi keberagaman suku dan budaya, dimana bahasa ibu selalu diajarkan kepada murid sekolah dasar di Taiwan sesuai dengan latar belakang ataupun budaya masing-masing anak untuk menjaga kelestarian budaya.

“Aksara Jawa Langka” (Mike, Managing Dicertor, Advisor for the German Economic and Culturel Centre, Surabaya)

Mike, Managing Dicertor, Advisor for the German Economic and Culturel Centre, Surabaya. Foto: ist

 

Saat ini diperkirakan ada 7.100 bahasa di dunia. Akan tetapi setiap dua minggu, sebuah bahasa punah bersama dengan penutur terakhirnya. Menurut perkiraan UNESCO, 230 bahasa telah hilang antara tahun 1950 hingga 2010. Nantinya, Pada tahun 2100, diperkirakan 50-90 % dari semua bahasa di seluruh dunia akan hilang.

Dan dengan itu, harta karun berupa pengetahuan, pencapaian budaya, dan potensi keanekaragaman yang lebih besar dalam seni, musik, sastra, serta tradisi lisan dan tulisan juga akan hilang.

Bahasa Jawa dituturkan oleh sekitar 80 juta orang, menjadikannya salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Di sisi lain, jumlah orang yang dapat membaca dan menulis Aksara Jawa jauh lebih rendah. Mengingat hal ini, ada bahaya bahwa pengetahuan dan penggunaan Aksara Jawa akan hilang di beberapa generasi mendatang jika tidak dilindungi.

Oleh karena itu, dalam pandangan saya, akan sangat baik jika kesadaran akan Aksara Jawa ditingkatkan melalui tindakan publik seperti mengganti nama ruang publik dalam aksara Jawa. Hal ini dapat membangkitkan minat generasi muda untuk mengenal Aksara Jawa dan dengan demikian memberikan kontribusi penting bagi pelestarian jangka panjang bahasa yang merupakan aspek penting dari budaya Jawa.

“Aksara Jawa dan Budaya Mengkota” (Ir. RA. Retno Hastijanti, MT. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya, Kota Surabaya)

Ir. RA. Retno Hastijanti, MT. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya, Kota Surabaya. Foto: ist

 

Aksara Jawa bagi suatu kota, sama fungsinya dengan bangunan. Ia merangkum dan merepresentasikan pengkreasinya. Dalam hal aksara jawa, yang membentuk kata dan kalimat jawa, maka ia merepresentasikan pikiran penulisnya. Sedangkan bangunan merepresentasikan konsep dan ide arsiteknya.

Penulis dan arsitek adalah bagian dari suatu komunitas, yang bila berkolaborasi satu dengan lainnya, membentuk suatu masyarakat heterogen yang menjadikan lokasinya sebagai wadah kegiatan bersama. Waktu demi waktu, saat semuanya berkembang, maka terciptalah suatu wadah yang disebut ruang kota. Menurut Bill Hilier, ruang adalah mesin terciptanya suatu kota. Sedangkan inti ruang adalah masyarakatnya. Masyarakat adalah mesin terciptanya suatu kota. Salah dua dari alat pembentuk kota adalah aksara dan bangunan.

Menjaga Aksara Jawa di Surabaya menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Surabaya agar tidak lupa terhadap tujuan kita untuk bergabung dalam suatu wadah, yaitu Kota Surabaya. Jaga Aksara Jawa, Jaga Kota Surabaya.

“Bangga Beraksara Jawa: Wujud Implementasi Trigatra Bangun Bahasa” (Dr. Umi Kulsum, M.Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur)

Dr. Umi Kulsum, M.Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Foto: ist

 

Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur sangat mengapresiasi hadirnya buku Surabhaya Beraksara Nusantara: Kisah Keberanian Kembali Beraksara Jawa, Simbol Jati Diri, mengingat bahasa Jawa, termasuk di dalamnya aksara Jawa, di era modern ini sudah dianggap tidak membanggakan lagi, terutama di kalangan generasi muda. Tentu buku ini menjadi pelecut yang diharapkan akan dapat membangkitkaan kembali rasa bangga dan rasa ingin terus memiliki budaya kita yang luar biasa.

Penting untuk dipahami bahwa menggaungkan kembali aksara Jawa memerlukan waktu, sumber daya, dan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah, upaya ini memiliki potensi besar untuk melestarikan warisan budaya yang berharga dan melestarikan bahasa untuk generasi mendatang. Dalam hal ini Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur berkomitmen akan terus berupa menjadi bagian dari upaya pelestarian bahasa dan sastra, termasuk upaya untuk membumikan kembali aksara Jawa yang dimulai dari Surabaya.

Agar menjadi sebuah gerakan yang masif dan menuai hasil sesuai dengan harapan, mari kita bekerja sama dan saling mendukung upaya membumikan aksara Jawa serta upaya mempertahankan bahasa, sastra, dan budaya Jawa.@nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...