Puri Aksara Rajapatni Usul Penulisan Aksara Bali di Pura Segara Surabaya
REKAYOREK.ID Tim Puri Aksara Rajapatni, komunitas pegiat budaya Surabaya yang fokus pada Aksara Jawa, bertandang ke Pura Segara di komplek AL Kenjeran Surabaya pada Sabtu sore (27/4/24).
Tentunya bukan tanpa alasan. Disana ada sentra kebudayaan Hindu, yang secara historis dan kultural ada kaitannya dengan bumi dan tradisi di Jawa. Letaknya di ujung kompleks perumahan AL, berdekatan dengan laut atau segara.
Kerajaan Majapahit menjadi pangkal mula berkembang agama Hindu, yang selanjutnya merambah hingga pulau Bali. Hindu memang berkembang pesat di sana hingga sekarang. Akhirnya ketika ada sebuah pura di bangun di Surabaya selalu identik dengan Bali. Tak salah, karena mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu.
Ketika tim Rajapatni masuk ke dalam Pura Segara, tim ditemui oleh para pengurus Pura di sebuah gazebo berarsitektur Bali. Mereka adalah Wayan Wijana (Ketua Banjar), Ketut Ariana (Wakil), A.A. Taman (Bendahara) dan Made Yoga (Seksi Pemuda dan Kemahasiswaan). Tim disambut ramah dan disuguhi kopi dan jajanan ringan. Berbincang santai pun menggelinding natural. Dari logat bicara, para pengurus dapat dikenali bahwa mereka berasal dari Bali. Suasana pun terasa bagai di Bali.
Sementara Tim Rajapatni terdiri dari Ita Surojoyo (pendiri Rajapatni), Wiji Utomo (pengajar Aksara Jawa), John Pierce (pembelajar Aksara Jawa) dan penulis (ketua). Dengan ditemani oleh salah satu pengurus, Made Yoga Selaku Seksi Pemuda dan Kemahasiswaan, kami terus gayeng berbincang dengan para pengurus sambil minum kopi dan makan jajanan.
Seiring dengan condongnya matahari ke ufuk barat, diskusi pun menyinggung tentang Aksara Bali. Aksara Bali dan Aksara Jawa memiliki dasar yang sama. Yaitu Hanacaraka.
“Dasarnya sama tapi bentuk lekukannya berbeda. Aksara Bali lebih lebar lekuknya”, jelas Ita Surojoyo sambil menunjukkan beda lekukan antara Aksara Jawa dan Aksara Bali yang tertampilkan pada layar HP nya kepada John Pierce.
Penjelasan Ita ini diiyakan oleh salah satu pengurus yang memang orang Bali tapi sudah tinggal di Surabaya.
Ketika diskusi tentang Aksara Bali, Ita sempat tengok kiri dan kanan di sekelilingnya.
“Kok gak ada Aksara Bali ya?“, tanya Ita Surojoyo.
Berangkat dari pertanyaan spontan inilah kemudian muncul sebuah gagasan mengenai penulisan Aksara Bali di lingkungan Pura. Penggunaan Aksara Bali di lingkungan Pura adalah menyatukan budaya Bali. Pura dan Aksara Bali identik dengan Masyarakat Bali.
Dari tempat ini, kemudian kami menuju ke area persembahyangan. Untuk menuju tempat suci itu, kami harus memakai kain selendang. Setelah itu setiap orang diberi percikan air untuk pencucian diri. Selanjutnya melangkah masuk gapura yang berbentuk bentar.
Setelah melewati gapura, pandangan dalam tampak asri. Perpaduan rumput berwarna hijau dan pohon Kamboja dengan bunga warna putih serasi dengan gapura dan pagar yang berwarna terakota dengan arca arca yang terpasang sebagai bagian dari ritual. Di sana juga tampak umat Hindu yang sedang berdoa.
Setelah dari area itu, lalu masuk ke area lebih dalam lagi dimana pusat persembahyangan berada. Di sana, saat itu memang ada beberapa orang sedang dengan khusuk berdoa. Di sepanjang kaki melangkah, Tim memang mengamati tempat tempat yang layak diberi keterangan dengan menggunakan Aksara Bali. Misalnya pemberitahuan tentang larangan masuk bagi pengunjung yang sedang datang bulan. Pemberitahuan lainnya adalah alas kaki harap dilepas. Masih ada lainnya.
Intinya Aksara Bali layak digunakan di area Pura sehingga kebudayaan yang identik dengan Bali itu bisa bertemu di tempat yang menjadi pusat kebudayaan Bali. Yaitu Pura.
Made Yoga memandu kedatangan kami dan kami pun semakin mengenal keberadaan Pura Segara, termasuk digelarnya tradisi ogoh ogoh setiap tahun. Suasana sore semakin eksotik karena suasana semakin sunyi. Seiring dengan semakin condongnya matahari ke ufuk barat, kamipun unjuk pamit.@nanang