Ki Narto Sabdo, Dalang Legendaris Kesayangan Bung Karno
Ki Narto Sabdo merupakan seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa. Karena prestasinya itulah, Ki Narto Sabdo menjadi dalang kesayangan Bung Karno.
REKAYOREK.ID Malam baru saja menjelang. Sayup-sayup, dari arah Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) terdengar tetabuhan kempul dan kenong, yang sesekali ditimpali kendang dan gong. Di telinga siapa pun yang mendengarnya, tetabuhan itu menjelma undangan untuk hadir menonton pertunjukan.
Sekitar limaratus meter dari gedung itu, persisnya di bilangan Depok (kini masuk wilayah Kecamatan Semarang Tengah). Malam itu, persis pada malam Minggu di penghujung 1960-an, Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo akan main. Sudah lama WO menjadi pembicaraan orang itu.
”Waktu itu, pementasan Ngesti Pandowo memang tengah berada pada puncak kejayaannya. Pak Sastro Sabdho masih sugeng, Pak Narto masih segar-bugar, begitu juga para seniman besar Ngesti Pandowo lainnya,” kenang Sutadi, salah seorang penonton pada waktu itu.
Jika Sutadi dulu suka menonton pertunjukan Ngesti Pandowo, kini Drs H Sutadi menjadi ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jateng.
Sutadi pun mengenangkan jaman keemasan Ngesti Pandowo. Sebuah kelompok wayang orang yang eksis dengan pertunjukan yang segar, menarik, dan inovatif. Konon, ketika sampai ada unen-unen (kata-kata, red), belum ke Semarang belum melihat pertunjukan Ngesti Pandowo, maka tidak afdol.
Sutadi menceritakan, generasi pertama Ngesti Pandowo, yang konon memiliki jumlah penggemar yang fanatik itu, awalnya digawangi oleh beberapa budayawan yang top.
Ki Narto Sabdho, maestro gending yang lahir dari rahim Ngesti Pandowo. Di antaranya, Darso Sabdho, Narto Sabdho, Sastro Sabdho, Marno Sabdho, dan Kusni. Mereka-mereka inilah the founding father. Ada di antara mereka seorang dayang yang sangat terkenal. Meski dia telah meninggal, namun namanya tetap indah dikenang bagi masyrakat Jawa. Bahkan baru-baru ini Presiden SBY memberinya gelar sebagai pahlawan nasional dalam kateori Bintang Budaya Parama Dharma. Dia tak lain Narto Sabdo.
Sampai sekarang nama Ki Narto Sabdo sangat dikenal orang, khususnya orang Jawa. Bahkan orang-orang di belahan dunia ada yang mengenalnya, karena Ki Narto Sabdo pernah tampil dan manggung di beberapa negara.
Ki Narto Sabdo merupakan seniman yang multi-talen. Selain mahir memainkan wayang kulit (dalang), dia juga mahir mengarang gendhing-gendhing Jawa. Banyak karya-karya Ki Narto Sabdo yang dibikin kaset dan cd.
Pria asal Desa Krangkungan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten ini, boleh jadi seorang yang sangat mengenal betul falsafah Jawa. Bagaimana dia bisa menguasai hampir semua alat musik gamelan. Tapi yang paling disukai adalah rebab.
Selain itu pula, gaya mendalang Ki Narto Sabdo juga sangat khas. Dia tidak seperti dalang-dalang yang lain. Sewaktu nembang, Ki Narto Sabdo mampu mengeluarkan suara-suara dengan sabetan atau cengkok.
Dulu, hampir tiap minggu, Ki Narto selalu tampil di RRI. Dia seorang yang hebat, mampu memainkan segala jenis wayang dengan karakternya sendiri. Dalam pagelaran wayang yang ditandai dengan kemunculan para punakawan, atau kemunculan ibu dan anak (limbuk-cangik), penonton selalu disuguhi humor yang ger-ger-an.
Ki Narto adalah seorang seniman yang belum ada tandingannya. Ia bukan saja menghibur, tetapi juga selalu memberikan nasihat-nasihat melalui lakon-lakon wayang kulit yang dibawakannya. Lagu-lagu Ki Narto banyak memuat nasihat, filosofi dan pelajaran hidup. Tak heran bila Bung Karno menjadikan Ki Narto Sabdo sebagai dalang kesayangannya. Meski menganut gagrak Surakarta, Ki Narto tidak melulu fanatik dengan gaya tersebut.
Dalam setiap pementasannya, Ki Narto tidak jarang membawakan gagrak Yogyakarta atau Banyumasan. Saat memainkan lakon Kresna Duta di RRI Jakarta, 28 April 1958, Ki Narto mengkombinasikan dua gaya yang “berseteru” itu.
Main 9 Kendang Sekaligus
Ki Narto Sabdo lahir pada 25 Agustus 1925 dengan nama kecil Sunarto. Dia bungsu dari delapan bersaudara pasangan Partotanayo, seorang pengrawit, dan Madiah, seorang mranggi atau pembuat rangka keris.
Kehidupan masa kecil Sunarto serba kekurangan. Kehidupan ekonomi yang serba sulit membuatnya harus bekerja membantu pendapatan keluarga melalui bakat seni yang ia miliki, menjadi pelukis, juga pemain biola dalam orkes keroncong Sinar Purnama. Bakat seni tersebut semakin tarasah ketika Sunarto melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik.
Yah, pada usia 11 tahun, Sunarto kecil telah mampu memainkan ricikan rebab, kendang, dan gender. Pada 1940 dia bergabung dengan grup ketoprak Budi Langen Wanodya. Dia bertahan dua tahun dalam kelompok itu.
Pada 1945 dia menjadi pemain kendang pada grup Sri Wandawa sebelum bergabung dengan Ngesti Pandawa pimpinan Sastrasabda. Pada tahun itu pula dia menikah dengan Tumini dan memiliki seorang anak bernama Jarot Sabdono.
Sejak remaja sudah menggemari para dalang ternama, seperti Ki Ngabei Wignyosoetarno dari Solo dan Ki Poedjosoemarto dari Klaten. Tahun 1945, berkenalan dengan pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo, bernama Ki Sastrosabdo, yang menjadi gurunya.
Di grup tersebut ia mengadakan beberapa perubahan pada gerak tari para pemainnya serta gending-gendingnya. Lebih dari itu ia selalu menjadi pusat perhatian penonton manakala tampil menabuh sembilan buah kendang, sebuah tambur dan sebuah beduk sekaligus.
Contoh permainan serempak itu diwujudkan dalam lagu Swara Suling. Ki Narto Sabdo mampu memainkan lagu itu dengan sembilan kendang sekaligus dan tiga tambur, sehingga suara kendang mendominasi lagu tersebut.
Cara memukul kendang pun menggunakan ibu jari. Sampai-sampai Swara Suling yang dimainkan oleh dalang siapapun dalam pementasan wayang kulit, tembang itu “persis” mungkin dimainkan seperti aslinya.
Swara Suling (1952) yang diciptakan Ki Narto Sabdi sangat populer saat itu. Dengan Swara Suling ia menciptakan Potpourri 3 babak sepanjang 5 menit berjudul Wandali (singkatan dari: Jawa, Sunda, Bali) yang dalam penampilannya bergaya Jawa, Sunda dan Bali. Selain itu ada pula ciptaannya yang tergolong kelas berat yaitu Sekar Ngenguwung yang melankolik.
Komposisinya yang lain adalah Ketawang Suka-suka, Ketawang Cengkir Wungu, Wira-Wiri, Panon Langking, Pujiku, Jakarta Indah. Ia juga menciptakan satu karya khusus untuk menyambut anjuran hidup sederhana dari Presiden Suharto, yang ia beri nama gending Dara Muluk. Selain itu ada beberapa ciptaannya yang biasa dimainkan secara langgam keroncong seperti Aja Lamis, Setyatuhu, Kadung Trisna dan Rasamadu.
Karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru bagi grup tersebut, Soenarto memperoleh gelar tambahan Sabdo di belakang nama aslinya. Sabdo berarti sabda. Boleh dibilang Narto Sabdo adalah seseorang yang ahli di segala jenis budaya Jawa. Gelar itu diterimanya pada tahun 1948, sehingga sejak saat itu namanya berubah menjadi Narto Sabdo.
Pendidikan formal Sunarto hanya sampai kelas IV Standar School Muhammadiyah di Wedi. Keterampilan sebagai dalang wayang kulit diperoleh secara otodidak dan belajar pada beberapa dalang ternama seperti Ki Gitocarito dari Sukoharjo yang bermukim di Semarang.
Selain itu dia juga belajar mendalang pada Ki Pujosumarto dan Ki Wignyo Sutarno. Dari guru yang disebut terakhir itu, Ki Narto Sabdo belajar banyak mengenai dramatika pewayangan.
Pada era 1950 sampai 1970, jagat karawitan Jawa memiliki tiga komposer yang hebat dan saling mengisi, yakni Tjakrawarsita, RL Martopangrawit dan Ki Narto Sabdo. Sebenarnya ada satu lagi komposer yang segenerasi namun kurang begitu terkenal, RC Hardjo Subroto.
Sementara Ki Narto Sabdo memulai mendalang pertama kali di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK. Pertunjukan tersebut disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958. Lakon yang ia tampilkan saat itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuatnya panik di atas pentas karena pada saat itu pekerjaan yang sesungguhnya ialah penggendang grup Ngesti Pandowo.
Penampilan perdana itu langsung mengangkat nama Ki Narto. Berturut-turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu lebih banyak karena belajar sendiri, tidak seperti para dalang lain pada umumnya yang lahir dari keturunan dalang pula, atau ada pula istilah dalang kewahyon (mendapat wahyu).
Karena sering mementaskan lakon karangan Ki Narto, tidak sedikit orang yang mengkritiknya. Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari pakem karena berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.
Lagu Kontroversial
Selain mendalang, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa atau gending yang sangat produktif. Tahun 1969, memimpin grup karawitan Condong Raos yang selalu mengikutinya kemana saja ia bermain, dua tahun sebelumnya (1967) ia membentuk kelompok orkes keroncong. Ia tak bisa menghitung jumlah ciptaannya. Tapi semuanya tersimpan rapi dalam 3 buku tulis tebal dengan tulisan latin atau Jawa yang bagus.
Gendhing-gendhing ciptaan Ki Nartosabdo lainnya yang cukup populer seperti, Praon atau perahu layar yang banyak dinyanyikan artis dangdut, Lumbung Desa, Lesung Jumenglung, Saputangan, Ojo Lamis, Ojo Dipleroki dan masih banyak lagi.
Namun demikian ada satu lagu yang sering dinyanyikan Ki Narto yang menimbulkan kontroversi, yakni Genjer-genjer, ciptaan M. Arif, seorang seniman pemukul alat instrumen.
Di zaman Orde Baru lagu ini menjadi sangat “haram” dinyanyikan. Lagu yang selalu dihubungkan dengan pergerakan partai komunis Indonesia itu sampai kini belum ada kejelasan dimana dari syair lagu yang berlawanan dengan rezim saat itu.
Banyak yang berpendapat, bahwa lagu Genjer-genjer yang dinyanyikan di setiap pementasan oleh Ki Narto adalah upaya untuk membangkitkan semangat PKI yang telah dibubarkan. Selain itu, orang-orang yang tidak menyukai Ki Narto kian membuat suasana semakin runyam. Sebab Ki Narto yang menjadi dalang kesayangan Bung Karno, dan selalu dikait-kaitkan dengan komunis.
Pada saat itu pemimpin revolusi itu baru saja turun dari jabatannya sebagai presiden RI dan diganti Soeharto. Seperti kata sejarah, hubungan antara Bung Karno dan PKI sangat erat. Karena alasan tidak logis itulah kemudian Ki Narto dianggap sebagai kaki tangan Bung Karno.
Padahal, hal tersebut sama sekali tidak benar. Memang benar Ki Narto dalang kesayangan Bung Karno, karena setiap waktu dia kerap diundang manggung di istana dan beberapa daerah yang menjadi jujugan Bung Karno. Namun hal itu tidak ada kaitannya dengan PKI. Ki Narto memang pengagum Bung Karno, tapi bukan paham komunisnya.
Sementara menurut Ki Manteb Sudarsono, lagu Genjer-genjer sama sekali tak memuat syair atau kata-kata yang mengeritik pemerintah, ataupun memuat ajaran komunis di dalamnya.
“Silakan diperiksa lirik lagunya, apakah ada kata-kata yang mengkritik pemerintah, ataupun ada ajaran komunis yang sengaja diselipkan di dalamnya,” kata Ki Manteb Soedarsono, yang pernah belajar kepada Ki Narto Sabdo di Solo.
Ia menjelaskan, lirik lagu Genjer-genjer sebenarnya menggambarkan kerukunan sepasang suami istri yang sedang memetik daun genjer-genjer untuk dijadikan hidangan makan di rumah.
“Jika lagu ini dikaitkan dengan peristiwa G-30-S PKI, itu salah orang itu sendiri. Tetapi yang jelas lirik lagu tersebut hanya menggambarkan kerukunan hidup sepasang suami isteri,” ujar Ki Manteb.
Terlepas dari kontroversi lagu tersebut, Ki Narto Sabdo telah meninggalkan banyak karya-karya dalam seni perkeliran, pedalangan dan karawitan Jawa. Rekan-rekannya pun mengakui bahwa beliau merupakan dalang terbaik yang pernah dilahirkan.
Ki Narto Sabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya.
Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.
Di samping itu Ki Narto juga pernah menciptakan 319 gendhing Jawa yang sangat fenomenal, seperti Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prau Layar, dan Rujak Jeruk. Itulah yang tidak bisa ditiru oleh dalang-dalang lain. Karya-karyanya sampai kini masih mendapat tempat di hati para pencintanya.
“Secara kualitas pun belum ada yang mampu memyamainya. Karena memang karya-karyanya enak didengar,” terang Ki Manteb.
Beberapa saat sebelum Ki Narto Sabdo wafat, dia sempat menciptakan sebuah gendhing yang ia beri judul Lelayu (kematian). Ki Narto Sabdo wafat pada tanggal 7 Oktober 1985 dalam usia 60 tahun. Lelayu pulalah yang mengiringi jenazah SangMmaestro ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Semarang.
Walau jasadnya sudah terkubur tanah, namun karya-karya Ki Narto Sabdo tak lekang dimakan usia. Semua bisa menikmati, bukan saja masyarakat Jawa tapi seluruh masyarakat Indonesia. Karena Ki Narto Sabdo seorang pencipta dan juga pemain. Ia tak hanya mahir mendalang, tapi juga mahir menggubah lagu, menembang, memainkan alat musik sekaligus mencipta lagu. Ki Narto Sabdo seorang penghibur yang lengkap dan mumpuni.[]
Diolah dari berbagai sumber