Cinderella Tapi Bukan Upik Abu #5
Cerbung
Oleh: Vyra Fame
“SELAGI om bisa pasti om bantu, biar gimanapun kamu adalah keponakan satu-satunya om. Ayahmu sangat berjasa dalam hidup om, dan sekarang om hanya bisa membalasnya dengan menyayangimu dan menganggapmu seperti anak om sendiri.”
Aku tersenyum lega mendengar penuturan om Wira, merasa beruntung karena masih ada orang yang sayang sama aku dengan tulus.
Setelah urusanku dengan om Wira, aku berpamitan pulang, karena tubuhku terasa sangat lelah dan ingin istirahat. Kulihat juga Bella dan Andre di luar sudah tidak ada. Mungkin mereka sudah pulang atau mungkin melanjutkan ke tempat lain. Ah, aku tidak peduli, karena sekarang aku benar benar ingin istirahat.
***
Ketika sampai rumah saat hendak ke kamar, aku dihadang tante Sindi.
“Huft, mau apa sih dia, ganggu orang aja.” sungutku dalam hati.
“Abis darimana kamu.” ucap tante Sindi.
“Bukan urusan tante.”
“Hei kalau ditanya orangtua itu dijawab, dasar gak punya sopan, apa ibu kamu dulu gak pernah ajarin kamu sopan santun ha!!! Main slonang slonong aja. Kamu kira ini di hutan main asal masuk aja.” aku tersenyum sinis mendengar ucapan tante Sindi.
“Tante gak salah ngomong begitu? Emang tante gak ngaca ini rumah punya siapa? Atau gak punya kaca? Nanti deh aku ambilin kaca yang besar di kamar, tante di sini itu cuma numpang, jadi tau dirilah sedikit.”
“Kalau bukan karena aku masih kasihan sama kalian, udah aku lempar kalian ke jalanan, dan lagi ibuku mengajari aku sopan santun tapi khusus untuk orang yang memang patut untuk dihargai, bukan orang yang seperti tante ini, GILA.” aku mengucapkan kata gila sembari memiringkan jari telunjukku di keningku, dan tentu saja tante Sindi tidak terima mendengar aku mengatainya gila.
“Dasar sialan, kurang ajar.” ketika tangan tante Sindi sudah berada di depan mukaku, dengan sigap kutangkap tangannya lalu kuhempaskan dengan kencang, sehingga membuatnya tersungkur ke lantai.
Ketika aku akan membalas tamparan tante Sindi tiba-tiba ada tangan lain menarik rambutku yang membuat kepalaku mendongak ke atas, kurasakan perih menjalar di kepalaku.
“Dasar lacur, berani kau sakiti ibuku hah!” ucap Bella dengan suara lantang
Kemudian kupegang tangan yang masih menarik rambutku itu, kutarik dan kupelintir tangannya ke belakang, kudorong tubuhnya hingga menepi ke dinding, dan sekarang gantian aku menarik rambut Bella sekuat tenaga sehingga membuat kepalanya mendongak ke atas. Sedangkan tanganku yang satunya masih memegamg tangannya ke belakang badannya.
“Bren*sek, lepasin, aw sakit, dasar p*rek.” keluar semua bahasa-bahasa kasar dari mulut Bella, tapi aku menikmati ekspresi kesakitannya, kusunggingkan sebelah bibirku ke atas.
“Gimana? masih berani sama aku? jangan kalian kira aku diam saja itu tidak berani sama kalian, aku kan sudah bilang, jangan pernah lagi usik aku atau akan kupatahkan tanganmu.” kutekan lagi tangan Bella, dan bertambah histerislah dia.
“Aww sakitttttt lepasin an*ing, ku bunuh kau jal*ng.” teriak Bella.
“Sebelum kau bunuh aku, aku dulu yang akan membunuhmu, sebenarnya bisa saja aku langsung melempar kalian ke jalanan dan kupastikan kalian jadi gembel, tapi aku urungkan karena aku masih ingin bermain-main dulu terutama denganmu, cuhhh.” kuludahi tepat di atas muka Bella.
“Nadia, lepaskan Bella, apa kau ingin membunuhnya.” tante Sindi meneriakiku, karena dia masih pada posisi duduk di lantai karena sudah kupastikan kakinya pasti terkilir sehingga dia tidak bisa bangun.
Kutarik bella mendekati tante Sindi dan kuhempaskan tubuh Bella sehingga menindih badan tante Sindi, sontak saja tante Sindi menjerit kesakitan karena kakinya yang terkilir tertimpa badan Bella. Dan kutajamkan mataku melihat mereka berdua.
“Rasakan, ini belum seberapa, besok besok bukan aku yang mengantarkan kematian itu pada kalian tapi akan kubuat kalian yang menginginkan dan menjemput kematian itu sendiri.”
Kutinggalkan mereka berlalu menuju kamarku dan menguncinya. Di dalam kamar kubuka bajuku kemudian masuk kamar mandi yang ada di dalam kamar dan membasuh tubuhku dengan air dari shower, rasanya sedikit bisa menghilangkan urat-urat yang sempat menegang karena perkelahian tadi.
Selesai mandi dan memakai baju rumahan aku merebahkan diri di kasur.
“Ah, nikmat sekali rasanya, huh… menghadapi mereka benar-benar menguras tenaga, kalau bukan karena aku ingin membalas perbuatan mereka, sudahku usir mereka dari kemaren-kemaren.” gumamku pada diri sendiri.
Kuambil gawaiku dari dalam tas dan menekan nomor telepon toko yang menjual cctv. Nomor itu aku dapatkan atas rekomendasi om Wira. katanya sih barangnya bagus dan berkualitas, soal harga tidak masalah buatku yang terpenting semua masalahku segera teratasi.[Bersambung]