Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kota Brem 1965 #1

Tinggalkan Kampung Halaman

Oleh: Jendra Wiswara

Suasana kota itu nampak sepi dan lengang. Hanya segelintir saja yang lalu lalang. Mereka bersepeda ontel hilir mudik di sepanjang jalan yang nyaris belum beraspal. Tak ketinggalan di belakang sadelnya terdapat dua keranjang berisi dagangan yang siap dibawa ke pasar.

Hari ini, pagi sekali mereka pergi ke pasar. Sebagian terlihat menenteng arit hendak menuju ke persawahan. Semua bertelanjang kaki. Tak ada sepatu. Sepatu hanya dikenakan oleh orang-orang kalangan atas, orang-orang berduit, orang-orang kantoran. Nampak kaki mereka melebar seperti emping yang baru digoreng. Kotor. Berdebu. Hitam. Dan, jelek.

Namun itu sudah menjadi pemandangan biasa. Namanya petani. Namanya pedagang. Wajarlah. Sementara para wanitanya bertugas membawa sepikulan keranjang yang dipanggul di belakang punggung. Tugasnya mengumpulkan damen yang baru dipanen untuk kemudian dibawa pulang dan diberikan ke ternaknya.

Para penjual pecel nampak kerepotan memanggul panganannya. Ia harus berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Dan ketika dagangannya dicegat orang, kerepotannya kian bertambah.

“Tunggu, jangan rebutan. Satu persatu, gantian!” Begitu sapanya kepada pembeli yang sudah tidak sabar.

Anak-anak kecil bertelanjang dada juga tak kalah semarak. Mereka berlarian menggiring kambingnya, menarik ternak-ternak itu dengan tali di lehernya agar mau digiring ke lapangan terbuka. Bila mereka menolak, sang gembala akan memukuli punggungnya atau bahkan menyepaknya.

“Hayo, hayo, haaahh, ayooo…” teriak gembala.

Gembala lain lebih atraktif.

Mereka membawa puluhan bebek menyebrangi jalanan.

“Weeekk….weeekkk….weeekkk…” bunyinya begitu khas di telinga.

Sambil membawa cambuk di tangan, gembala-gembala mulai menggiring mereka ke tengah-tengah sawah. Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di tepi parit-parit, di bawah pohon rindang sambil bermalas-malasan hingga siang.

Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas warga Madiun. Kota yang dikenal dengan sebutan brem penghasil makanan sari ketan hasil fermentasi.

Begitu pula rutinitas seorang perempuan muda yang tinggal di Jalan Candi Sewu, tepatnya depan kuburan Belanda.

Setiap hari Inem–demikian namanya, harus berjalan sepanjang 6 kilometer menyusuri jalanan setapak kota tersebut.

Usianya kala itu baru menginjak 8 tahun tepatnya ketika tahun 1961.

Dari rumahnya ia berjalan menuju Jalan Borobudur, sebuah bangunan kuno peninggalan Belanda di mana banyak dihuni siswa-siswi dari kalangan Tionghoa.

Namanya Sekolah Dasar Santa Melania. Di situlah Inem menghabiskan masa kecilnya bersama teman-teman barunya.

***

Tiga bulan sebelumnya. Inem telah merasakan masa-masa tersulit dalam hidupnya. Untuk bisa bersekolah di Santa Melania, ia terpaksa harus meninggalkan orang-orang yang dicintai, meninggalkan kampung halaman di Klaten, Jawa Tengah.

Sebenarnya sudah lama Inem berangan-angan melanjutkan pendidikan yang sempat terputus. Dan ketika kesempatan itu datang, ia pun mengambil keputusan yang dirasa pahit: berpisah dengan keluarganya, berpisah dengan bapak ibunya, berpisah dengan adik-adiknya.

Di kampung, orang tua Inem termasuk keluarga miskin. Jangankan untuk membiayai sekolah anak-anaknya, untuk makan sehari-hari saja repot. Kadang mesti ngutang di sana-sini. Maklum, orang tua Inem cuma buruh tani biasa.

Saat itu ceritanya Sumirah (buliknya) datang berkunjung dari Madiun ke Klaten. Karena semasa 5 tahun menikah, Sumirah tidak dikaruniai anak. Maka, wanita yang mendekati usia empat puluh tahun itu berencana mengambil Inem sebagai anak angkat. Ia bahkan bersedia membiayai sekolah Inem dengan syarat Inem harus ikut ke Madiun.

Inem menolak. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak dinyana betapa malang nasibnya. Ada kesempatan untuk melanjutkan sekolah, namun kesempatan itu mengharuskannya berpisah dengan orang-orang yang dicintai. Ini sebuah pilihan sulit.

Seharian Inem merengek di kamar. Berharap agar keinginan Sumirah tidak dikabulkan bapaknya. Namun bapak Inem berkata lain. Lelaki yang dikaruniai empat anak itu–yang kesemuanya perempuan–justru merelakan kepergian Inem.

Malahan Wongsorejo, bapak Inem sempat menasehati anaknya begini: koe lunga kana, golek ilmu sing akeh. Melok’o bulikmu. Bapak merestui koe. Tak dongakno koe dadi wong pinter, wong sukses, ojo koyo bapak iki. Cuma buruh. Neng kene koe ora oleh opo-opo. Koe kudu dadi wong sukses nduk. (kamu pergi sana, cari ilmu yang banyak. Ikutlah bulikmu. Bapak merestui kamu. Tak doakan kamu jadi orang pintar, orang sukses, jangan seperti bapak ini. Cuma buruh. Di sini kamu tidak akan mendapat apa-apa. Kamu harus menjadi orang sukses nduk).

Inem belum rela meninggalkan orang-orang yang dikasihi, termasuk kecintaannya terhadap adik yang baru dilahirkan. Namun ia tetap memegang teguh pesan orang tuanya. Dalam perjalanan dari Klaten, Inem tak henti-hentinya menangis.

Bahkan sesampai di Madiun, airmatanya terus mengalir. Setiap malam ia seperti mendengar suara tangis adiknya. Suara itu, walau jauh, terasa sangat dekat. Suaranya memekakkan keheningan kalbu. Kuping penidur serasa terganggu.

Timbul penyesalan dalam diri Inem. Sebuah penyesalan yang satu kemudian membiakkan penyesalan yang lain. Bersumber pada ketakutan lain: sebuah kegagalan. Selama ini jiwanya merana, termenung gelisah.

“Setiap hari aku menangis dan meminta kepada Tuhan agar diberi kekuatan lahir maupun batin. Aku berdoa agar keluarga di Klaten dalam keadaan sehat-sehat, terutama adik. Jujur, sewaktu pergi satu-satunya yang membuatku teringat adalah adikku Sumiyem. Aku tak bisa lagi menimangnya, tak bisa meninabobokannya seperti sebelum-sebelumnya, tak bisa mencandainya. Aku kangen suara tangisnya, kangen mengganti popoknya, kangen dengan senyumannya yang indah itu. Di malam yang buta itu, aku selalu merasa kesepian. Pun dalam keheningan malam, aku terus-terusan menangis hingga suaraku ini terdengar di telinga bulik. Pada saat itulah bulik mewanti-wantiku untuk melupakan orang desa. Aku diancam bila masih terus menangis, maka aku akan dipulangkan ke kampung dan tak bisa sekolah lagi. Sebuah ancaman yang benar-benar membuatku menggigil ketakutan.” [bersambung]

Komentar
Loading...