Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Mahasiswa Jerman Belajar Budaya di Kampung Lawas Maspati

REKAYOREK.ID Kampung Lawas Maspati Surabaya menjadi lembar geografi menarik bagi mahasiswa dari Universitas Phillips-Marburg Jerman. Melalui Kampung Lawas ini mereka bisa belajar potret budaya, sejarah, sosial dan ekonomi serta perubahan dan perkembangan kawasan permukiman (Kampung) di kota Surabaya.

Mereka memang dirancang mengunjungi tempat ini untuk kunjungan budaya oleh Dhahana Adi, staf Kebudayaan Wisma Jerman Surabaya dalam program Surabaya Cultural Odyssey.

“Dari Kampung ini mereka tidak hanya belajar tentang sejarah tetapi ada dinamika sosial dan budaya serta contoh perkembangan urban Surabaya”, jelas Dhahana Adi yang akrab dipanggil Ipung.

Kampung Lawas Maspati, yang disingkat KLM, menjadi brand name sebuah kawasan yang tidak jauh dari pusat Surabaya. Yaitu Tugu Pahlawan dan kantor Gubernur Jatim yang menjadi titik nol Surabaya.

Membaur antara mahasiswa Jerman dengan warga setempat. Foto: nanang

 

Di tengah tengah kota Surabaya yang tengah bertumbuh menjadi kota modern dengan pembangunan fisik yang mencakar langit, Kampung Lawas Maspati sukses mempertahankan wilayah menjadi oase alam, budaya dan sosial. Lorong lorong gang Maspati tumbuh sejuk dengan beragam vegetasi produktif yang ekonomis. Kampung Lawas Maspati menjadi etalase nilai gotong royong dalam berkarya dan menjadi sajian bagi para pengunjung.

Nilai gotong royong yang menjadi value bangsa Indonesia inilah yang tersaji di Kampung Maspati. Karenanya, di era kepemimpinan walikota Tri Rismaharini, Kampung Kampung menjadi perhatian untuk dijaga dan dipertahankan. Dari Kampung kampunglah, Surabaya secara historis menjadi ada.

Pun demikian ketika kepemimpinan kota berestafet ke tangan walikota Eri Cahyadi, Kampung tidak hanya menata fisik belaka, tetapi juga menata masyarakatnya. Menurut walikota Eri Cahyadi, yang sudah sering disampaikannya, bahwa keberhasilan pembangunan kota Surabaya bukan karena walikotanya, tetapi atas karya masyarakatnya yang mau bergotong royong.

Kepotong rotong royongan masyarakat Kampung Maspati ini lah yang pada akhirnya menjadi ikon bagi kota Surabaya sehingga eksistensinya dikenal tidak hanya di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga hingga mancanegara. Kampung Lawas Maspati menjadi buku geografi sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi kota Surabaya.

Sambutan atas kedatangan para wisatawan. Foto: nanang

 

Para mahasiswa Jerman dalam kunjungan budaya ini dilibatkan dalam aktivitas yang tidak hanya melibatkan satu panca indera. Yaitu mata untuk meliha Kampung Lawas Maspati. Tetapi ada panca indra lainnya mulai dari penciuman (hidung), sentuhan/rabaan (tangan), pendengaran (telinga), pengecap (lidah) dan perasaan (hati) serta pikiran (intelektualitas).

Musik akustik selamat datang menyambut kedatangan wisatawan. Foto: nanang

 

Pelibatan semua panca indra dan ditambah perasaan serta intelektualitas ini tersaji dalam kegiatan yang dikemas mulai tamu tamu ini memasuki gang hingga berakhir. Awalnya disambut dengan pengalungan sarung dan udeng. Sambutan musik patrol akustik yang rancak, lalu ada permainan tradisional, praktek membuat cincau, mengunjungi jejak sejarah dan interaksi sosial dengan warga adalah kemasan ilmu bagi mahasiswa Jerman.

Peserta belajar membuat cincau hijau. Foto: nanang

 

Warga langsung berinteraksi dengan para mahasiswa. Luar biasa karena mereka ibu ibu yang semangatnya tidak kalah dari yang muda muda. Menurut seorang ibu, salah seorang aktivis Kampung bahwa untuk hari hari kerja yang melayani adalah kaum ibu ibu. Jika pada hari sabtu dan minggu dihandel oleh para muda mudi. Sebuah tata kelola SDM yang baik.

Yang tidak kalah menariknya adalah para ibu ibu ini menyambut dan berinteraksi dalam bahasa Inggris. Modal mereka adalah berani dan terbuka terhadap wisatawan. Dalam melayani mulai kedatangan hingga selesai menggunakan bahasa Inggris.

Sementara itu bagi mahasiswa Jerman ini, sebagaimana dituturkan oleh Joel bahwa wisata urban ke Kampung Lawas Maspati bagai membaca sebuah buku tentang peradaban urban.@nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...