Melawan Allah Dengan Menutup Masjid
Oleh: M Rizal Fadillah
COVID 19 ini mewabah dengan izin Allah. Allah menurunkan musibah untuk menguji hamba-Nya siapa yang taat dan mendekat. Bukan menjauh lalu merasa diri hebat dan paling tahu untuk mengatur. Ikhtiar bukan pula jalan dalam rangka melanggar. Bacaan iman akan berbeda dengan cara pandang sekuler dan sarwa dunia.
Dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat maka mobilitas dan interaksi masyarakat dibatasi lebih ketat. Mall dan tempat wisata ditutup, ternyata juga masjid dan mushola. Alasannya kondisi darurat dengan tingkat keterpaparan Covid 19 yang semakin meningkat. Hanya ironinya Bandara tetap dibuka.
Lebih ironi lagi proyek nasional dan konstruksi juga seratus persen dibuka. Inilah pandangan materialistik tersebut. Kecurigaan bisa saja karena banyak proyek konstruksi adalah investasi asing khususnya Cina. Luhut koordinator PPKM Jawa Bali tegas menyatakan tempat ibadah tutup sementara.
Assisten Operasional Polri Irjen Pol Imam Sugianto menyatakan akan mengerahkan Densus 88 dan Brimob untuk mendatangi masjid dan mushola untuk menerapkan aturan PPKM Darurat tersebut. Apakah mereka yang tetap melaksanakan sholat di Masjid akan disamakan dengan teroris sehingga perlu ditangani oleh Densus 88?
Darurat itu adalah keadaan yang harus berdasar hukum. Penetapan status darurat semestinya berlandaskan Undang-Undang atau sekurangnya Perppu yang kemudian menjadi Undang-Undang. Sementara PPKM Darurat saat ini dinyatakan hanya berdasarkan Instruksi Mendagri No 15 tahun 2021. Sungguh seenaknya kebijakan yang mempermainkan hukum.
Kacaunya lagi pelanggar PPKM menurut Kepolisian akan dikenakan pidana berdasar UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Lucu sekali melanggar Intruksi Mendagri diberi sanksi pidana atas dasar Undang-Undang padahal PPKM Darurat itu tidak ada dalam nomenklatur Undang-Undang. Bagaimana rumusan deliknya ?
Lagi pula Menteri yang berwenang dalam urusan kedua Undang-Undang tersebut adalah Menteri Kesehatan bukan Menteri Dalam Negeri. Bacalah dengan baik Ketentuan Umum baik UU No. 4 tahun 1984 maupun UU No. 6 tahun 2018. Memang nyata tendensi sikap otoritarian melalui pemaksaan hukum.
Pemerintah dengan PPKM Darurat ini sebenarnya bersiasat licik dengan menghindar dari kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang.
PPKM Darurat substansinya adalah Karantina Wilayah. Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018 menegaskan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar orang dan makanan hewan.
Tanggungjawab ini yang justru ditakuti dan dihindari Pemerintah hingga harus lari-lari atau sembunyi di balik nomenklatur yang diada-adakan sebagaimana PPKM Darurat tersebut. Negara memang pengecut dan bangkrut.
Tempat ibadah ditutup meski dibahasakan sementara. Lupa bahwa pandemi adalah ujian Ilahi. Dengan segala perangkat kekuasaan umat dipersulit datang dan beribadah ke masjid. Ada meme di medsos bahwa “Di Palestina orang berani mati untuk membuka masjid, sementara di Indonesia orang berani menutup masjid karena takut mati”.
Umat tentu akan melawan sebisanya atas kebijakan untuk menutup masjid. Akan tetapi jika kekuasaan memaksakan kehendak dan mengerahkan semua kekuatan pemaksa, maka sebagaimana tak berdayanya umat menjaga Ka’bah dari serangan Abrahah dahulu, maka kini urusan masjid sebagai rumah Allah bukan semata urusan manusia, tetapi otoritas Allah SWT.
Silahkan saja rezim zalim berbuat sesukanya tanpa dasar iman namun sebagaimana sunnah-Nya maka Allah akan berbuat mengejutkan atas gangguan terhadap rumah-Nya tersebut.
Mereka melawan Allah dengan menutup masjid.[]
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan