Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Membaca Milenial Indonesia Dari Sudut Paling Telanjang

Judul Buku: Identitas dan Kenikmatan • Politik Budaya Layar Indonesia

Penulis: Ariel Heryanto
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan ketiga: Februari 2018

Agak sulit mencari buku, yang mengungkap bagaimana kebudayaan populer dieksploitasi oleh kepentingan politik dalam pergulatan kekuasaan di Indonesia. Watak budaya populer yang mampu membentuk ledakan-ledakan histeria massa, atau sering dianggap sebagai pembentuk gaya hidup nge-pop (padahal populer dan pop adalah dua hal yang berbeda), dianggap “rendahan” atau “kelas kedua” dalam kajian akademis atau etestika.

Sementara, dalam praktik kehidupan politik (yang pragmatis, utamanya), budaya populer justru menjadi target prioritas untuk digunakan menghimpun kekuasaan. Atau, seminim-minimnya untuk menjaga stabilitas kekuasaan pihak yang berkuasa.

Pada era Orde Baru, budaya populer bukan saja dieksploitasi. Tetapi juga dimanipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Ada benang-benang kesejarahan yang diputus.

Rakyat dibentuk dengan narasi tunggal penguasa, termasuk dengan cara paling otoriter. Efeknya, mozaik sejarah membentuk bagian yang tidak utuh. Ada rangkaian sejarah yang terputus. Ada bagian sejarah yang dikuatkan secara sepihak d menopang kekuasaan.

Pada generasi berikutnya, terjadilah pemahaman yang terpotong. Sementara, pihak-pihak yang menjadi bagian sejarah tetap dalam posisi yang tidak pernah ditempatkan pada ruang obyektifitas. Menjadi tertuduh dan tervonis dalam ruang sejarah.

Pada masa berikutnya, ini menjadi bara di dalam sekam. Setiap saat, membayangi dalam situasi yang bisa saja membakar. Ini menyulitkan bagi pemegang kekuasaan yang baru. Elit kekuasaan menjadi gagap menangkap profil generasi baru. Begitu juga elit pemikir dan akademisi, malah menjadi pihak yang menjaga jarak dari realita sosial yang dinamis.

Lompatan budaya yang berkembang dari generasi ke generasi, menjadi sepihak. Membenarkan sejarah yang sepotong. Menjadi tabu, atau juga cemas dan takut pada potongan sejarah yang lain.


Buku ini juga menjadi semacam otokritik pada mereka yang “menggampangkan” atau menganggap fenomena pop dan populer sebagai budaya “kelas kedua.” Buku yang merupakan hasil penelitian penulis dan timnya selama empat tahun di Pulau Jawa ini, justru memotret dari sudut-sudut yang dianggap tabu selama era politik otoritarian.

Bagaimana budaya pop dibentuk dalam suasana yang politik kekuasaan yang mutlak. Tak ada ruang bagi karya-karya pada era Orde Baru untuk menggali lebih dalam terhadap kebenaran-kebenaran,

Penulis terlihat ingin mengkonstruksi analisa dengan fakta-fakta yang utuh. Bukan fakta yang sepihak, atau fakta yang diinginkan.

Buku ini menarik untuk menjadi bahan kajian, terutama bagi pemikir politik, termasuk juga pelaku politik. Juga, pada mereka yang bersentuhan dengan gerakan pengembangan masyarakat, pengorganisasian atau social aktifis.

Fenomena film Ada Apa Dengan Cinta, Laskar Pelangi, Gie dan film lain pada generasinya, menjadi fenomena penting pada kebangkitan kesadaran sejarah. Karya seni dalam ruang populer, menjadi lebih memiliki diksi untuk membangun sejarah yang terpotong.

Eksploitasi politik untuk kepentingan sesaat pada budaya populer dan pop pada masa politik lama, hanya menghasilkan efek semu. Karena, sebagaimana rumusan dasar ilmu sosial, bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang berkembang, berpikir, berhimpun. Selalu ada ruang untuk setiap perubahan; termasuk melawan perubahan itu sendiri.(*)

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...