Penghuni Gang Peneleh
Seandainya negara ini tidak memiliki Tjokroaminoto, entah bagaimana sejarah akan menulisnya. Sukarno, Musso, Alimin, Semaoen, Tan Malaka, Dharsono dan SM Kartosoewirjo, mungkin tidak pernah ada.
REKAYOREK.ID Menaiki sepeda onthel keliling Surabaya, melewati bangunan-bangunan bersejarah di Surabaya, rasanya tidak lengkap jika tidak mampir ke kampung lawas Jalan Peneleh Gang VII No 29-31 Surabaya, Jawa Timur.
Tampak dari depan, rumah sederhana itu rapi dan bersih. Di depan pagar kanan dan kiri pintu masuk berjajar bunga tertanam di dalam pot. Bendera merah putih berdiri tegak dan berkibar tenang mengikuti hembusan angin sore.
Dinding bangunan yang tebal tampak bersih dengan cat putih di semua bagian, dipadu warna cat hijau untuk daun pintu, kusen, dan semua jendela yang ada.
Di dekat pintu depan sebelah kanan terdapat lempengan tembaga bertuliskan Cagar Budaya, Rumah HOS Tjokroaminoto SK Walikota No 188.45/251/402.1.04/1996 No Urut 55.
Sejuk dan nyaman. Itulah kesan pertama yang kami rasakan saat berada di ruang tamu yang melebar ke samping berukuran sekitar 10 meter kali 3 meter. Pandangan mata pun terhipnotis dengan deretan pigura di seluruh ruangan. Foto dan gambar masa lalu di jaman Tjokroaminoto dengan berbagai kegiatan di Sarikat Islam.
Di sebelah kanan pintu, menghubungkan ruang tamu dan lorong ruang tengah tergantung pigura bergambar wajah HOS Tjokroaminoto dengan latar belakang Sarekat Islam. Sejumlah perabot kuno ikut melengkapi di ruang tamu juga ruangan lain yang dulunya difungsikan menjadi kamar tidur. Di ruang tamu ada satu set meja kursi dari kayu jati, lemari kecil atau orang Surabaya menyebutnya laci.
Di belakang ruang tamu, berhadapan dua ruangan, sebelah kanan atau di sebelah barat dulunya dipakai untuk ruang kerja Tjokro, sedangkan di sebelah timur kamar Sukarno itu setelah menikah dengan anak Tjokro, Oetari.
Saat kos di sini, Sukarno dan rekan-rekannya tinggal dan tidurnya di kamar atas atau ruangan atas di lantai dua. Kalau kamarnya Tjokro dulu ruang tamu sket (dibelah dua), sebelah barat untuk ruang tamu, sebelah timur menjadi kamar Tjokro dan istri.
Di rumah ini kita seolah masuk ke lorong waktu menuju era pergerakan nasional di Surabaya. Terbayang situasi saat itu tentang aktifitas kaum pergerakan di kota ini. Diskusi dan rapat-rapat pergerakan, pendidikan politik dan membuat rancangan publikasi pastilah menjadi aktifitas utama di rumah ini pada masa lalu.
Satu guru beda ilmu
Ya, rumah HOS ini menjadi menjadi satu-satunya paling bersejarah di Surabaya. Bagaimana tidak, dihuni hanya 10 orang termasuk pemilik rumah dan anak kos, justru mereka-mereka inilah yang kelak mewarnai sejarah Republik Indonesia.
Di rumah berpetak itulah Tjokro yang disebut guru bangsa atau ada yang menyabut Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, memberikan ilmu-ilmu kepada penghuni kos.
Tjokro saat itu menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) yang anggotanya mencapai 2,5 juta orang.
Banyak alumni rumah kos tersebut yang menjadi tokoh besar pergerakan sebelum kemerdekaan. Bahkan hingga kini nama-nama mereka kerap disebut. Seperti Sukarno, Semaoen, Alimin, Musso, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan Dharsono.
Karena memang, di rumahnya sederhana itu, selain menerima tokoh-tokoh pergerakan, Tjokro juga menggembleng wawasan berpikir penghuni kos yang berumur belasan tahun itu agar lebih peduli terhadap nasib bangsanya. Marxisme hanya digunakan sebagai pisau analisis dalam menyikapi penghisapan kapitalisme, namun Islam tetap dijadikan dasar dari perjuangan politiknya.
Semangat zaman yang mewarnai gejolak perubahan dunia ketika itu, selain perjuangan melawan kapitalisme yang dilakukan oleh kaum Sosialis/Komunis di Eropa dan berbagai belahan dunia, juga diwarnai bangkitnya gerakan Pan Islamisme yang digelorakan oleh Muhammad Abdul dan Djalaludin Al-Afghani. Selain itu muncul ide civic nationalism dr. Sun Yan Sen di Cina.
Semangat zaman itu terserap dalam diri Tjokroaminoto yang tercermin dalam tulisannya berjudul “Islam dan Sosialisme”. Maka tidak aneh bila beberapa murid Tjokro selain bergabung ke SI juga sekaligus menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang digagas oleh Henk Sneevliet pada 1914.
Persoalan bertambah pelik saat Komunis Internasional (Komintern) tidak menerima Gerakan Pan Islamisme. SI pun terbelah. SI merah yang berkiblat ke komintern dan SI putih yang berkiblat ke Pan Islamisme. Terjadi pula polemik antara Semaoen dari SI merah dan KH Agus Salim dari SI putih. Musso yang berlatar-belakang pesantren meskipun condong ke SI merah namun tetap menghormati Tjokro, gurunya.
Tjokro memang pantas disegani. Di tangannya, SI yang semula mewarisi 85 ribu anggota SDI berkembang menjadi 2,5 juta pada 1919. Maka Tjokro pun sangat dihormati, bukan saja oleh murid-muridnya, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Termasuk dari kalangan Boedi Oetomo dan Indische Partij yang sama-sama berjuang mengangkat harkat-martabat kaum Bumi Putera.
Tak pelak lagi, Raden Soekemi, seorang guru Eerste Inlandse School, Mojokerto, Jawa Timur, menitipkan anaknya, Sukarno yang berusia 15 tahun mondok di kos-kosannya. Kala itu Sukarno yang baru lulus sekolah Europe Lagere School (ELS) diterima sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Keputusan Soekemi ternyata tepat, karena dari rumah kos-kosan di Gang Paneleh VII itu kelak anaknya–bersama Muhammad Hatta tentunya, tercatat sebagai Proklamator Kemerdekaan dan sekaligus Presiden pertama RI. Kemampuan berpidatonya banyak diasah di Gang Paneleh. Kelak Sukarno dikenal sebagai orator ulung yang mampu menggetarkan Sidang Umum PBB.
Sukarno ingat betul kata-kata Tjokro, untuk menjadi orang hebat kuncinya adalah pandai menulis dan cakap berpidato. Sejak itu Sukarno yang masih pelajar setingkat SMA belajar pidato di muka cermin. Kelakuan Sukarno sering kali dianggap mengganggu penghuni kos yang lain, seperti Musso, Semaoen, Dharsono dan SM Kartosoewirjo.
Tapi Sukarno bersikap acuh. Di kamarnya yang gelap dan hanya diterangi lampu minyak, Sukarno tetap belajar pidato. Seorang sahabatnya yang tak pernah lelah mengkritiknya adalah SM Kartosoewirjo. “Kenapa pidato di depan cermin? Seperti orang gila saja,” kecam Kartosoewirjo.
Biasanya setelah usai berlatih pidato barulah dia menanggapi dengan menirukan ucapan gurunya, “kalau mau jadi orang besar harus pandai pidato, dan saya ingin menjadi orang besar. Tidak seperti kamu, jelek, hitam, mana mungkin jadi orang besar?” ejek Sukarno yang justru semakin mempererat persahabatan keduanya.
Kartosoewirjo sendiri yang usianya relative seumuran dengan Sukarno masih keponakan Mas Marco Kartodikromo, tokoh jurnalis kiri yang bersama Tirto Adisoerjo kerap disebut-sebut sebagai perintis pers Indonesia. Kartosoewirjo pun rajin membaca tulisan-tulisan pamannya yang beraliran sosialis. Namun, seperti halnya Sukarno, Kartosoewirjo menganggap Tjokro sebagai panutan.
Sejak di Surabaya, selain bergaul dengan orang-orang SI, Sukarno justru ikut organisasi Tri Koro Dharmo yang dibentuk oleh Boedi Oetomo. Maka tidak mengherankan bila ide-ide nasionalisme lebih mengemuka dalam diri Sukarno. Terlebih setelah dia membaca San Minh Chu I karya Dr. Sun Yat Sen tentang Civic Nationalism, Democracy dan Kesejahteraan Rakyat.
Meski berada dalam satu wadah, satu guru, para penghuni kos melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Dari Semaoen, Alimin, Musso, Dharsono hingga Tan Malaka lahir pemilikiran komunisme. Sementara dari SM Kartosoewirjo lahir pemikiran Islam modern. Dari Sukarno lahir pemikiran nasionalis.
Perbedaan inilah yang kemudian menjadi persimpangan jalan antara Sukarno dan Kartosoewirjo kelak. Meskipun keduanya sama-sama mengakui murid politik Tjokro, namun Sukarno yang juga bergaul dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat yang keduanya adalah tokoh Indische Partij tidak mengikuti jejak politik gurunya. Bahkan pada 4 Juli 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Sebaliknya Kartosoewirjo tetap setia mendampingi gurunya, Tjokro, hingga 1929. Kelak paska kemerdekaan, Kartosoewirjo yang juga turut berjuang dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan kecewa atas hasil perundingan Roem-Royen. Sejak itu Kartosoewirjo mengobarkan pemberontakan melalui Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berhasil ditumpas Sukarno pada 1962.
SM Kartosoewirjo dihukum mati. Kabarnya, Sukarno sempat lebih dari 3 bulan tidak mau menandatangani eksekusi kematiannya. Persahabatannya dengan Kartosoewirjo di usia belasan tahun membuatnya berat hati. Namun desakan penegakan hukum membuat Sukarno sambil menangis terpaksa menandatangani eksekusi kematian sahabatnya. Itulah satu-satunya eksekusi mati yang pernah ditandatanganinya.
Itulah sekelumit murid-murid Tjokro yang pada akhirnya berseberangan. Terlepas dari itu semua, Tjokro telah berhasil mendidik murid-muridnya menjadi pejuang yang sedikit banyak memiliki peran dalam kemerdekaan RI.[]