Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Pramoedya Ananta Toer, Menguncang Dunia Melalui Pena dan Kertas

Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.

REKAYOREK.ID Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.

Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.

Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.

Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.

Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.

Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.

Sang Maestro, Pramoedya Ananta Toer. Foto: ist

Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.

Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.

Terinspirasi Sang Ibu

Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.

Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.

Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.

Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.

Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.

Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.

Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.

Karya Monumental

Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.

Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.

Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Dari orde lama hingga orde baru, karya-karyanya dilarang beredar. Foto: ist

 

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.

Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”

Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.

Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.

Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Salah satu karya tetralogi Pramoedya yang fenomenal. Foto: ist

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.

Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.

Daftar Buku Pram yang Dilarang

Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.

Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:

Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)

Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)

Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)

Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)

Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)

Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)

Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)

Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)

Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)

Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)

Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)

Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)

Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)

Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)

Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)

Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)

Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)

Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)

Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)

Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)

Modern Korea (Kim Byong Sik)

Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)

Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)

Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)

Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)

Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)

Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal

The Indonesian Tragedy (Brian May)

Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)

Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)

Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)

Permesta, Kandasnya Cita-Cita

Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda

The Devious Dalang

Heboh Ayat-Ayat Setan

Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno

Pesona Seks Wanita

Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan

Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung

Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)

Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)

Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco

Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)

Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)

Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen

Kristus dalam Injil dan Al Quran

Wajah Dunia Islam Kontemporer

Tanah untuk Rakyat

Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)

Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20

Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang

Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)

Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)

Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)

Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)

Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)

Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)

Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno @

*Diolah dari berbagai sumber

Komentar
Loading...